Raja-raja Medsos Berlomba-lomba Terjun ke Perdagangan Sosial
Pendapatan dari perdagangan sosial diproyeksikan terus meroket, dari 727,6 miliar dollar AS pada 2022 menjadi 6,24 triliun dollar AS pada 2030. Raja-raja media sosial pun berlomba-lomba bermain di peluang bisnis ini.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·4 menit baca
Raja-raja platform media sosial, mulai dari Google, Facebook, Snapchat, X, dan Tiktok, ramai-ramai berinvestasi besar-besaran di fitur perdagangan. Langkah menggarap peluang bisnis dengan memanfaatkan media sosial untuk perdagangan atau disebutsocial commerce itu menjadi aksi korporasi menonjol raja-raja media sosial pada triwulan II-2023.
Social commerce atau perdagangan sosial adalah bagian dari perdagangan elektronik yang melibatkan media sosial untuk berinteraksi dan berdagang jasa serta barang secara daring. Pendapatan globalnya diproyeksikan terus meroket, dari 727,6 miliar dollar AS pada 2022 menjadi 6,24 triliun dollar AS pada 2030 atau pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 31,6 persen.
Salah satu kunci sukses social commerce adalah pada skemanya yang target produk yang mendasarkan pada minat penggunanya. Aktivitas jual-beli ini menghasilkan data-data yang bisa digunakan ke depan bagi iklan dan penempatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
Meneropong peluang tersebut, raja-raja platform media sosial berlomba-lomba menyiapkan diri. Mereka antara lain berinvestasi besar-besaran pada triwulan II-2023. Mereka di antaranya Alphabet (induk perusahaan Google), Meta (induk perusahaan Facebook), Snaps inc (induk perusahaan Snapschat), dan X.
Facebook dianggap sebagai pemimpin pasar social commerce saat ini. Sementara Google melalui skemanya juga mendorong penjualan para pedagang retail meningkatkan penjualannya
Shopify, sebuah perusahaan e-commerce, menyatakan, pertumbuhan penjualan produk-produknya melalui dua platform tersebut mencapai berkali-kali lipat dari penjualan langsung di situs resminya.
CEO Facebook Mark Zuckerberg mengatakan, pihaknya mengupayakan perdagangan dan membuatnya makin mudah bagi dunia usaha berkomunikasi dengan pembeli melalui aplikasi Messenger dan Whatsapp adalah ”taruhan jangka panjang yang tepat”.
Geliat perdagangan elektronik sangat menjanjikan. Para pedagang ritel berharap penjualan terus bergairah. Sementara brand-brand besar mulai dari Burberry hingga H&M telah mengikat kontrak dengan sejumlah pesohor dan pemengaruh (influencer) guna meraup jutaan pengikut untuk membeli produk-produk mereka.
Sementara nilai pasar ini masih relatif kecil sekarang dan akan terus tumbuh, raja-raja media sosial melirik data yang dihasilkan dari pembelian para penggunanya. Raja-raja media sosial itu juga terus menghimpun data yang dihasilkan dari kebiasaan para penggunanya dalam berseluncur di media sosial. Ini semua akan menjadi data bagi target iklan untuk dijual kepada para pemasang iklan.
Burberry hingga H&M telah mengikat kontrak dengan sejumlah pesohor dan pemengaruh guna meraup jutaan pengikut untuk membeli produk-produk mereka.
Rebutan data pengguna menjadi hal yang makin krusial setelah Apple Inc memperketat kebijakan privasi para penggunanya. Langkah ini membatasi kemampuan raja-raja media sosial melacak dan menelusuri para pengguna iPhone. Ujung-ujungnya raja-raja media sosial memiliki keterbatasan dalam memberikan layanan iklan-iklan yang bersifat personal.
Facebook meluncurkan Shops pada Mei 2020 di tengah puncak-puncaknya pandemi. Langkah ini menarik minat brand-brand komersial karena menawarkan cara menjual produk dengan mudah dan langsung kepada konsumen lewat Facebook and Instagram. Apalagi lewat cara ini, brand bisa mengidentifikasi tren pakaian dan barang-barang lainnya yang dibutuhkan konsumen melalui cara-cara yang terkurasi dan personal.
Sementara, Snap Inc juga tengah berinvestasi di teknologi augmented reality yang dirancang untuk membantu pengguna mencoba barang-barang seperti jam tangan, perhiasan, dan pakaian secara virtual. Ini merupakan cara untuk mengurangi pengembalian barang. Selama ini, pengembalian barang menjadi sebuah masalah besar yang dihadapi oleh pedagang ritel daring.
Chief Executive Snap Evan Spiegel saat menggelar konferensi pers tentang pendapatan perusahaan, beberapa waktu lalu, mengatakan, pengguna Snapchat dapat mengambil foto pakaian temannya dengan aplikasi tersebut dan menemukan tampilan atau rekomendasi produk yang serupa.
”Meskipun inisiatif ini masih dalam tahap awal, kami yakin semakin banyak merek yang ingin dikaitkan dengan tujuan perdagangan,” kata Spiegel.
Tak ingin ketinggalan
X tak ingin ketinggalan. Perusahaan milik Elon Musk itu mulai menguji fitur belanja yang memungkinkan pengguna menelusuri barang untuk dijual di bagian atas halaman profil suatu merek.
Chief Business Officer Google Philipp Schindler menyatakan, situs video streaming Youtube, yang terkenal dengan video unboxing, ingin mengintegrasikan belanja langsung ke dalam platform.
Adapun aplikasi video pendek populer Tiktok sedang menguji belanja streaming langsung dengan merek tertentu di Inggris, yang memungkinkan pemirsa membeli pakaian saat influencer memodelkan item tersebut secara real time selama video langsung.
Bagaimana dengan Indonesia?
Merujuk Grand View Research, Asia Pasifik menyumbang 70,3 persen pangsa pasar pada 2022. Angka ini diperkirakan akan terus tumbuh ke depan. Pertumbuhan wilayah ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya investasi pada infrastruktur telekomunikasi, menjamurnya internet dan telepon pintar, serta meluasnya jangkauan situs media sosial.
Pada 2022, ekonomi digital Indonesia berkontribusi sebesar 8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada 2030, sumbangannya diperkirakan melonjak menjadi 18 persen terhadap PDB. Lonjakan ini ditopang oleh konsumsi kelompok usia produktif yang jumlahnya terbesar di piramida populasi Indonesia.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam kunjungannya ke harian Kompas, 29 September 2023, menyebutkan, Indonesia belum memiliki strategi nasional tentang transformasi digital. Jika social commerce dibiarkan sebebas-bebasnya, ekonomi Indonesia akan babak belur. Ini terutama merujuk UKM dan volume impor barang yang akan meroket.
Sebagai respons jangka pendek, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 tahun 2023 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Elektronik (PPMSE).
Tidak boleh ada penyatuan media sosial dan e-dagang dalam satu platform.
Ada empat hal yang pokok sebagaimana dipaparkan Teten dalam artikelnya pada Opini harian Kompas per 29 September. Pertama, tidak boleh ada penyatuan media sosial dan e-dagang dalam satu platform. Kedua, tidak boleh platform menjual produknya sendiri, kecuali melakukan agregasi dengan UMKM dengan tetap mencantumkan produsennya.
Ketiga, semua model bisnis daring dari dalam dan luar harus memenuhi standar barang Indonesia dan negara asal barang. Keempat, crossborder online wajib menerapkan harga barang minimum di atas 100 dollar AS per unit. Kecuali kalau ada produk impor di bawah nilai itu, dan sudah ditetapkan dalam positive list, boleh diperjualbelikan. (REUTERS/AFP)