Perkembangan tren tanaman hias sampai saat ini masih terus berlangung dan seakan tiada matinya. Sebagai komoditas bernilai ekonomi, hukum ekonomi perminataan-penawaran pun berlaku bagi pasar tanaman hias.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
Variegata atau istilah untuk menyebut variasi warna daun tengah menjadi tren yang belakangan menyulut minat para pecinta tanaman hias. Jumlah permintaan-penawaran di pasar tanaman hias pun pada akhirnya akan menentukan harga.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Para pengunjung silih berganti memasuki area pameran Floricultural Indonesia International (FLOII) 2023, di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Jumat (29/9/2023). FLOII 2023 kali ini diikuti oleh 150 peserta pameran dari berbagai negara, seperti Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Dari berbagai jenis tanaman hias, rak-rak di berbagai sudut ruangan pameran dipenuhi oleh tanaman dari keluarga Araceae atau Aroid, seperti Philodendron, Anthurium, dan Alocasia, dengan berbagai varietasnya. Harganya pun beragam, mulai dari Rp 50.000 hingga ratusan juta.
Perbedaan harga antara masing-masing tanaman hias ini salah satunya ditentukan oleh tingkat kelangkaan atau keunikan khas yang dimiliki. Belakangan ini, para pelaku tanaman hias banyak mengembangkan variegata pada berbagai jenis tanaman karena dinilai unik dan langka.
“Umumnya, tanaman itu kan daunnya berwarna hijau. Kalau ada warna kuning atau putih itu disebut variegata. Tadinya itu menjadi kelainan warna atau kecacatan genetik, tapi sekarang itu menjadi suatu kelangkaan dan bernilai lebih,” kata Ketua Program FLOII Expo 2023 Andri Setiawan.
Sembari berkeliling dari satu etalase ke etalasae lainnya, Andri bercerita, variegeta bermula dari ketidaksengajaan dalam upaya budidaya tanaman. Dari sekian banyak bibit yang dihasilkan, kadang terselip satu bibit yang bermutasi dan memiliki warna daun tidak normal.
Selang waktu berlalu, jenis tersebut justru kemudian dirasa memiliki keindahan tersendiri. Semakin lama, orang-orang pun akhirnya banyak yang mengembangkan varian tersebut untuk kemudian dikomersialisasikan hingga nilainya mencapai ratusan juta, bahkan menembus nominal miliar rupiah.
“Dulu, Anthurium dan Gelombang Cinta harganya cepat melambung tinggi, tetapi juga turun dengan cepat karena itu hanya tren di Indonesia saja. Sekarang ini tren tanaman, seperti variegata sudah mengglobal dan Indonesia menjadi salah satu trendsetter (penentu tren),” lanjut Andri sembari menunjukkan tanaman Anthurium Variegata yang tengah naik daun.
Kalau menurut saya tidak aman jika tanaman dijadikan sebagai salah satu instrumen investasi karna harga sangat mudah jatuh jika jumlahnya banyak di pasaran.
Anthurium Variegata tersebut mampu menembus ratusan juta rupiah karena pengembangan Anthurium hanya bisa melalui biji dan memakan waktu setidaknya satu sampai satu setengah tahun. Saat varian baru ditemukan dan terbatas jumlahnya, pemilik atau penjual dapat dengan bebas menentukan harga.
Paul (42), peserta pameran, menjadi salah satu pelaku pasar tanaman hias yang ikut kecipratan tren varigata tersebut. Anthurium Radican atau biasa disebut Anthurium Sirih berjenis Variegata miliknya, dibandrol seharga Rp 750 juta.
“Ada orang luar yang mau datang untuk menawar tanaman itu. Dulu bonggolnya saja sudah pernah laku terjual Rp 250 juta,” ujarnya.
Sebelum ramai dibanjiri Varigata, Anthurium Sirih sempat menjadi incaran, terutama yang berasal dari Amerika Serikat. Tren tersebut berlangsung pada 2007 sampai 2012 bersamaan dengan meledaknya tren tanaman Gelombang Cinta.
“Tekstur daunnya membuat orang tertarik. Tekstur daun yang berotot ini hampir semua dimiliki oleh anthurium. Karakter daun itulah yang akhirnya membuat orang menyukainya,” lanjut Paul.
Kendati memiliki nilai yang fantastis dan menggiurkan, tanaman hias bukanlah instrumen investasi yang akan selalu memberikan imbal hasil bagi siapa pun. Ketua Umum Perhimpunan Florikultura Indonesia Rosy Nur Apriyanti menjelaskan, tanaman hias sama seperti komoditas lain yang tetap tunduk pada hukum ekonomi, yakni saat barang langka atau sedikit dan permintaan tinggi, harga akan terkerek naik.
Setidaknya, sambung Rosy, ada tiga hal yang menentukan harga dari tanaman hias, yakni keunikannya, berjenis baru, dan sedang menjadi tren atau banyak peminatnya. Tak hanya dijadikan hobi, tanaman hias juga menjadi ceruk bagi kolektor yang rela menggelontorkan uang demi mendapatkan barang yang dicarinya.
“Kalau menurut saya tidak aman jika tanaman dijadikan sebagai salah satu instrumen investasi karena harga sangat mudah jatuh jika jumlahnya banyak di pasaran,” tuturnya.
Hal itu tampak pada fenomena melejitnya tanaman hias beberapa waktu lalu, seperti Gelombang Cinta, Janda Bolong, dan Scindapsus Jade Satin Yellow Var. Pada jenis tanaman Scindapsus tersebut misalnya, saat melejit, harganya mampu menyentuh Rp 10 juta per lembar daun. Namun, kini merosot jauh hanya menjadi Rp 250.000 per tanaman.
Contoh lain ada pada tanaman Philodendron Variegata yang pada pandemi Covid-19 harganya mampu menembus Rp 1 miliar di kancah global dan Rp 600 juta di Indonesia. Tren tersebut telah dimulai sejak tahun 2017 dan kini harganya telah terkoreksi.
Andri yang juga terlibat dalam komunitas Aroid Society menjelaskan, tren tanaman hias biasanya dibentuk oleh beberapa komunitas tanaman, baik dari mancanegara maupun Indonesia. Salah satu tren pada tahun ini yang tengah dibuat adalah Anthurium berjenis kuping gajah.
Selalu ada yang baru dari tanaman hias mungkin menjadi istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi pasar dewasa ini. Apalagi, perkembangan teknologi semakin maju dan membuka ruang inovasi bagi pengembangan tanaman hias. Namun, lagi-lagi, semua kembali pada hukum ekonomi, yakni permintaan dan penawaran selalu berkorelasi dalam menentukan harga.