Dukung Investasi Hijau, Perbankan Ramaikan Bursa Karbon Indonesia
Animo institusi keuangan dalam menggerakkan ekonomi berkelanjutan cukup tinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak enam lembaga perbankan dan keuangan menjadi bagian dari 15 pembeli di bursa karbon Indonesia yang diluncurkan perdana, Selasa (26/9/2023). Animo ini menunjukkan peran institusi keuangan dalam menggerakkan ekonomi berkelanjutan.
Bursa Efek Indonesia sebagai penyelenggara Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) melaporkan, 459.953 ton unit karbon atau CO2 senilai Rp 29,2 miliar berhasil diperdagangkan dari satu-satunya penjual, yaitu Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) Proyek Lahendong unit 5 dan 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), di Sulawesi Utara.
PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) tercatat sebagai pembeli pertama unit karbon tersebut. Direktur Compliance, Corporate Affairs & Legal CIMB Niaga Fransiska Oei dalam keterangan pers yang dikutip Rabu (27/9/2023) menyampaikan, ini merupakan strategi mereka untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2050.
”Ini juga dilakukan untuk mendukung pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dan global serta peningkatan kinerja lingkungan bank,” kata Fransiska.
CIMB Niaga diketahui menjadi satu dari lima pelaku industri keuangan lainnya yang ikut serta dalam perdagangan pertama ini, yakni PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank DBS Indonesia, PT BNI Sekuritas, PT BRI Danareksa Sekuritas, dan PT Bank Mandiri Tbk.
Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha dalam keterangan persnya menyampaikan, Bank Mandiri melakukan pembelian sekitar 3.000 ton unit karbon. Perdagangan karbon itu menjadi aksi korporasi mereka dalam memenuhi aspek Environment (lingkungan), Social (sosial), dan Governance (tata kelola usaha baik) atau ESG.
”Sebagai ESG Leader di Indonesia, Bank Mandiri juga menyambut positif seluruh regulasi atau peraturan OJK yang akan diatur terkait skema perdagangan pasar karbon untuk mendukung transisi ekonomi rendah karbon dan mengakselerasi target Indonesia menuju NZE 2060,” katanya.
Baca juga: Bursa Karbon Diluncurkan, Potensinya Capai Rp 3.000 Triliun
Keterlibatan Bank Mandiri dalam perdagangan ini juga bertujuan meningkatkan portofolio berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017. Kemudian, mengembangkan produk keuangan berkelanjutan pada segmen wholesale maupun ritel, seperti obligasi hijau, investasi ESG berupa green mutual funds, serta pembiayaan segmen retail pada kendaraan listrik dan panel surya.
Ramainya industri keuangan dalam transaksi pembelian efek di Bursa Karbon Indonesia ini menarik perhatian. Jumlah mereka lebih besar dibanding sembilan pembeli lainnya yang berasal dari sektor beragam, seperti PT CarbonX Bumi Harmoni, PT MMS Group Indonesia, PT Multi Optimal Riset dan Edukasi, PT Pamapersada Nusantara, PT Pelita Air Service, PT Pertamina Hulu Energi, dan PT Pertamina Patra Niaga.
Institusi keuangan memang menjadi pelaku perdagangan karbon yang didorong masuk ke ekosistem selain korporasi, pelaku usaha, dan pengembang proyek.
Setiap pelaku perdagangan dapat membeli efek dalam bentuk Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) atau Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) yang terdaftar dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI).
Pembelian karbon bisa dilakukan pelaku usaha atau industri yang banyak menghasilkan emisi karbon. Sebaliknya, mereka yang dapat membuat proyek investasi untuk menyerap dan menghasilkan sedikit emisi bisa melakukan penjualan efek.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility PT Bank Central Asia (BCA) Hera F Haryn mengatakan, BCA memahami bahwa kebijakan perdagangan karbon membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk sektor swasta. Partisipasi BCA dalam perdagangan perdana bursa karbon merupakan bentuk komitmen BCA untuk terus berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim saat ini.
”Kami berharap kebijakan perdagangan karbon ini mampu meningkatkan partisipasi aktif dari industri dan pelaku usaha dalam upaya mitigasi risiko perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” tutur Hera saat dihubungi hari ini.
Menanggapi hal ini, pakar hukum investasi dan sustainability, Rio Christiawan, berpendapat, industri keuangan seperti perbankan meminati bursa ini karena efek bursa karbon juga telah menjadi bagian dari portofolio investasi mereka. ”Di beberapa negara memang industri perdagangan karbon dan bursa karbon berkaitan cukup erat dengan institusi keuangan,” ujarnya saat dihubungi hari ini.
Kesiapan industri perbankan untuk terjun langsung dalam perdagangan karbon sayangnya belum dimiliki industri dari sektor lain. Hal ini, menurut Rio, menjadi isu krusial dalam pembentukan bursa karbon nasional sejak keluarnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang ditindaklanjuti dengan beberapa aturan operasional setingkat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hingga dalam Peraturan OJK No 14/2023.
Baca juga: Bursa Karbon Dorong Pendanaan Hijau
Waktu pembentukan yang hanya delapan bulan dinilai membuat volume karbon yang diperdagangkan di bursa saat ini masih terbatas. Menurut data Kementerian LHK sampai akhir September ini, ada 1,7 gigaton unit karbon yang tercatat dari sertifikat pengurangan emisi yang tercatat di SRN-PPI.
”Isu krusial pada pembentukan bursa karbon adalah perdagangan unit karbon pada waktu dan jumlah yang telah diotorisasi oleh masing-masing instansi. Persoalannya, hingga saat ini belum ada kesepahaman perhitungan (mutual recognition) antara KLHK dan lembaga verifikator internasional yang diakui oleh pasar internasional seperti Verra, Plan Vivo, dan Gold Standar. Kondisi tersebut berdampak pada volume perdagangan unit karbon pada bursa karbon nantinya,” katanya.
Keselarasan itu diperlukan agar SPE-GRK yang diterbitkan pemerintah Indonesia dapat diterima oleh pasar internasional. Jelang pembukaan bursa karbon, KLHK melaporkan, mereka baru menyiapkan empat Lembaga Validasi dan/atau Verifikasi (LVV) Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang diakreditasi BSN dan KAN. Lembaga ini bertugas memverifikasi dan memvalidasi aksi mitigasi lingkungan yang dihitung badan usaha pembeli atau penjual efek. Lembaga berstandar internasional itu akan ditambah perlahan (Kompas.id, 18/9/2023).
Dengan belum matangnya alat standardisasi tersebut, Rio memperkirakan, bursa karbon Indonesia perlu waktu setidaknya dua tahun untuk meningkatkan volume transaksi bursa, dengan puncaknya pada 2029 bersamaan dengan tenggat pemenuhan target dokumen kontribusi nasional NDC di 2030. Dalam pembaruan NDC di 2022, Indonesia ditargetkan dapat mengurangi lebih dari 3 gigaton CO2 sampai 2030.
Dalam acara peluncuran bursa, Luhut Binsar Pandjaitan, selaku Ketua Komite Pengarah Penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon, melaporkan ke Presiden Joko Widodo, mereka akan mempercepat pengaturan regulasi bursa agar transaksi internasional bisa terjadi lebih cepat.
”Kita harus jadi market regional hub agar tersedia karbon sesuai dengan standar internasional, dan kita bekerja dengan standar internasional juga, agar proses registrasi lebih cepat perlu percepatan dalam pengaturan,” kata Luhut.