Bisnis Penangkapan dan Injeksi Karbon yang Semakin Dilirik
Bagi sektor hulu migas, CCS/CCUS menjadi alternatif perimbangan karbon. Sebagai energi fosil, bagaimanapun, hulu migas masih menghasilkan emisi karbon, yang mesti terus dikurangi menuju era energi bersih.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Teknologi penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon atau CCS/CCUS semakin dilirik perusahaan-perusahaan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia, di tengah tuntutan transisi energi. Di samping bisa meningkatkan produksi, juga menjadi alternatif bisnis mengingat besarnya potensi kapasitas penyimpanan karbon di Tanah Air.
Carbon capture and storage (CCS) ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tak terlepas ke atmosfer. Karbon dioksida (CO2) dari industri migas atau lainnya ditangkap untuk disuntikkan ke reservoir atau saline aquifer (reservoir air bersalinitas tinggi) sehingga CO2 larut atau tersimpan permanen. Sementara pada carbon capture, utilization, and storage (CCUS), karbon juga dimanfaatkan untuk peningkatan produksi migas.
Berdasarkan data studi kolaboratif Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), potensi kapasitas penyimpanan di Indonesia sekitar 2 gigaton pada sumur migas yang tak lagi berproduksi dan 10 gigaton pada saline aquifer. Potensi tersebut tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia.
Deputi Eksploitasi SKK Migas Wahju Wibowo, pada 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (ICIOG) 2023 yang diselenggarakan SKK Migas di Badung, Bali, Kamis (21/9/2023), menuturkan, di hulu migas, CCS/CCUS menjadi alternatif perimbangan karbon. Sebagai energi fosil, bagaimanapun, hulu migas masih menghasilkan emisi karbon.
infografik Konsep Ekosistem Perdagangan Karbon
Adapun proyek CCS/CCUS terdepan di Indonesia adalah oleh bp, perusahaan multinasional migas yang beroperasi di Teluk Bintuni, Papua Barat, lewat CCUS Tangguh. ”Dari kalkulasi bp, selama 30 tahun injeksi (CO2), yang ditargetkan mulai 2026 atau 2027, hanya butuh 2 persen dari kapasitas penyimpanan yang dimiliki bp. Artinya, 98 persen bisa dimanfaatkan oleh siapa saja,” kata Wahju.
Dengan besarnya potensi yang dimiliki Indonesia, yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana mengoptimalkannya. Meskipun ada tantangan dan kompleksitas, yang juga dalam pelaksanaan operasinya, ada peluang untuk dimanfaatkan dengan optimal. Itu juga akan mendukung pencapaian target emisi nol bersih (NZE) Indonesia pada 2060 atau lebih cepat.
Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladonna Troxylon Maulianda mengatakan, Indonesia memiliki kepercayaan diri tinggi dalam implementasi CCS, termasuk lintas batas. Pihaknya mengundang para calon investor dari negara-negara tetangga untuk berinvestasi dan melakukan CCS lintas batas di Indonesia. Artinya, emisi karbon yang dihasilkan di negara-negara lain diinjeksikan di Indonesia.
”Kita siap menjadi regional CCS hub dan bisa mendapatkan penerimaan, setidaknya dengan dua skema utama. Pertama adalah negara lain ke Indonesia, artinya mereka membayar storage and injection fee ke Indonesia. Kedua, Indonesia ke Indonesia atau untuk industri-industri dalam negeri. Tak hanya migas, tetapi juga lainnya, seperti semen dan pupuk,” ujarnya.
Senior Vice President Business Development ExxonMobil Indonesia Egon van der Hoeven menuturkan, pihaknya bekerja sama dengan PT Pertamina (Persero) untuk melihat potensi proyek CCS di cekungan Sunda Asri di laut Jawa Barat. Jika memang berhasil, proyek CCS nantinya bakal menyerap banyak tenaga kerja.
Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara bp dan PT Kilang Pertamina Internasional terkait dengan CCS dan amonia biru pada 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2023 yang diselenggarakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Kabupaten Badung, Bali, Rabu (20/9/2023). Selain pemerintah, acara itu dihadiri para pelaku usaha industri hulu migas Indonesia.
Potensi risiko
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, dalam sambutan yang dibacakan Staf Ahli Menteri LHK Bidang Energi Haruni Krisnawati, pada hari kedua ICIOG 2023, Kamis (21/9) mengatakan, Indonesia bisa berkontribusi pada penurunan emisi karbon di kawasan. Itu akan menunjukkan komitmen Indonesia dalam memerangi perubahan iklim.
Namun, di sisi lain, masih ada sejumlah tantangan dan risiko yang perlu diatasi. ”Seperti potensi kebocoran selama penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan (CO2). Lalu, potensi dampak dari penyimpanan jangka panjang karbon di bawah tanah serta risiko kesehatan yang mungkin muncul dari kebocoran atau pencemaran air tanah,” ujar Haruni.
Berdasarkan pertimbangan itu, imbuh Haruni, pihaknya merekomendasikan pengembangan CCS dilakukan dengan aman serta tidak mengganggu sumber daya air dan kualitas tanah. Selain itu, proyek CCS dapat diprioritaskan pada wilayah yang telah terdegradasi atau bekas pertambangan, dengan mempertimbangkan dampak pada lingkungan dan kesehatan manusia.
Dalam mendukung implementasi solusi karbon pada industri migas, kolaborasi antarkementerian, beserta para pemangku kepentingan bisa mempermudah upaya tersebut. ”Juga perlu kebijakan yang dapat mendorong teknologi dan praktik yang lebih maju,” kata Haruni.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Akmaluddin Rachim berpendapat, dibutuhkan regulasi setingkat peraturan presiden untuk dapat mengakselerasi implementasi CCS. Apalagi, dengan potensi tempat penyimpanan karbon yang melimpah, ada peluang transaksi dari perdagangan karbon yang bakal menguntungkan negara.
”Termasuk jika akan diatur terkait transaksi CCS lintas batas (cross border). Indonesia memiliki banyak sumur migas tua yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk CCS,” kata Akmaluddin.
Perihal keamanan dan lingkungan, imbuh Akmaluddin, juga tidak boleh dikesampingkan dalam implementasi CCS di Indonesia.