Bagaimana target ambisius 80 persen komponen dalam negeri motor listrik bisa dikejar dalam waktu 7 tahun?
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja mengecek motor listrik Alva yang telah selesai dirakit di Alva Manufacturing Facility, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023).
Pemerintah menargetkan produsen kendaraan listrik berbasis motor meningkatkan komponen dalam negeri minimal 80 persen pada 2030. Sementara target minimal 40 persen saat ini cukup berat karena pengadaan komponen inti masih mengandalkan importasi. Bagaimana target ambisius itu bisa dikejar dalam waktu 7 tahun?
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resminya, dua pekan lalu, menyampaikan, pemerintah mengambil langkah signifikan dengan menerbitkan Peta Jalan Pengembangan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai, dalam rangka mengurangi pemakaian sumber energi konvensional dan mengubah perilaku masyarakat menuju penggunaan sumber-sumber energi terbarukan.
”Salah satu hal yang ingin dicapai pada 2030 adalah kendaraan listrik yang memiliki efisiensi tinggi dan konten lokal sekitar 80 persen,” kata Agus.
Untuk mencapai target ini, pemerintah menetapkan kebijakan progresif, termasuk pemberian stimulus fiskal dan insentif. Salah satunya, memberikan subsidi pembelian motor listrik baru senilai Rp 7 juta kepada masyarakat dengan modal nomor induk kependudukan (NIK) lewat sistem Sisapira.id.
Sistem yang baru diluncurkan pada Selasa (19/9/2023) itu memperluas kesempatan masyarakat yang dapat menikmati subsidi dari yang sebelumnya hanya terbatas pada masyarakat penerima bantuan upah, subsidi listrik, dan kredit usaha menjadi tidak terbatas pada status ekonomi.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Wartawan melakukan test ride motor listrik Alva di Alva Manufacturing Facility, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023). Alva Manufacturing mempunyai kapasitas produksi 100.000 unit per tahun dengan tingkat komponen dalam negeri mencapai 45 persen untuk motor listrik Alva One dan 44 persen untuk Alva Cervo.
Revisi ini pun menggairahkan produsen motor listrik kelas premium dalam negeri, seperti PT Ilectra Motor Group (IMG), anak usaha PT Indika Energy Tbk. Perusahaan itu memiliki dua merek motor jenama Alva, yakni Alva One dan Alva Cevro, yang difabrikasi di kawasan industri di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sesuai levelnya, motor itu dijual Rp 30 juta ke atas.Baca juga: Subsidi Sepeda Motor Listrik Baru Dongkrak Penjualan
Produksi motor premium itu dilakukan dua tahun terakhir sejak perusahaan berdiri. Ini tidak lepas dari dukungan investasi selain Indika Energy, yaitu dari Horizons Ventures dan HH-CTBC Partnership LP (Foxconn CoGP Fund), hingga Brama One Ventures. Mereka mampu membangun pabrik terstandar industri 4.0 dengan kapasitas produksi 100.000 unit motor per tahun.
Bagaimanapun, investasi itu tidak memudahkan mereka untuk memenuhi komponen dalam negeri. Sejauh ini, motor produksi mereka baru memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 43-44 persen. Persentase itu masih memenuhi persyaratan minimal yang diatur pemerintah saat ini terkait dengan akselerasi penggunaan kendaraan listrik.
Chief Operation Officer IMG dan Chief Engineer Alva Septriwan Rahmat mengatakan, komponen penting motor listrik mereka, seperti baterai dan beberapa perangkat teknologi, masih diimpor dari negara lain. ”Tidak dimungkiri beberapa komponen, seperti baterai, masih impor,” katanya saat ditemui pada Rabu (20/9/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Presiden Direktur PT Ilectra Moto Group Purbaja Pantja (kanan) didampingi Kepala Pemasaran Putu Yudha menjelaskan kepada wartawan tentang motor listrik Alva di Alva Manufacturing Facility, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/9/2023).
Kendati demikian, menurut dia, saat ini sudah ada perusahaan produsen komponen kendaraan listrik yang berdiskusi dengan tim mereka untuk bekerja sama. ”Tapi, mungkin akan butuh waktu hingga suatu saat akan bisa diproduksi lokal,” ucapnya.
Humas Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli) Peter Kho menuturkan, 34 agen pemegang merek (APM) yang menjadi anggota Aismoli masih mengandalkan produk inti, misalnya baterai dan dinamo dari luar, seperti China dan Korea. Namun, mereka sudah memikirkan upaya agar semua perusahaan bisa terus meningkatkan TKDN sesuai dengan target pemerintah.
”Kami akan kerja sama dengan perusahaan asing yang mau membuat produk lewat pabrik di dalam negeri. Pertama, tahun depan, dinamo. Baterai dua tahun lagi. Dengan lobi bersama bisa lebih mudah,” ucapnya saat dihubungi Kompas.
Pembangunan beberapa pabrik penghasil komponen tersebut di dalam negeri, salah satunya dengan skema joint venture, diharapkan diikuti perusahan lokal dan asing.
”Nanti kita lihat, lalu bisa ekspor ke luar negeri juga, mungkin ke Thailand atau ke India. Di ASEAN Summit kemarin, Pak Jokowi, kan, bilang Indonesia harus jadi pusat kendaraan listrik ASEAN, bukan hanya pasar,” ujar Peter.
Sementara itu, mereka juga mendukung target pemerintah untuk meningkatkan penjualan motor listrik. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan 200.000 motor listrik mengaspal di jalanan hingga akhir tahun 2023 dan 600.000 unit pada 2024.
Data Kementerian Perindustrian melaporkan, sepanjang Januari-Maret 2023, penjualan motor listrik hanya mencapai 1.678 unit. Setelah beberapa mekanisme insentif berlaku, pada April-Juli 2023, penjualan motor listrik naik 226 persen menjadi total 5.471 unit.
Bagaimanapun, kata Peter, Aismoli optimistis program subsidi Rp 7 juta untuk pembelian motor baru dapat segera memenuhi target 200.000 penjualan hingga akhir tahun ini.
”Kita akan dukung ini sambil terus edukasi masyarakat kalau punya kendaraan listrik tidak perlu punya banyak infrastruktur pengisian baterai karena cukup pakai listrik yang ada saja. Kalau enggak bisa pakai edukasi ini, kami tetap dukung untuk perbanyak charging station,” ucapnya.
Bertahap
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, yang dihubungi terpisah, berpendapat, pemerintah seharusnya tidak mencampurkan kebijakan TKDN dengan percepatan penjualan motor listrik. Artinya, pemerintah perlu memprioritaskan terlebih dahulu kapasitas produksi komponen motor listrik lokal. Jika sudah tercukupi dalam jangka waktu beberapa tahun, baru beralih ke percepatan konversi kendaraan listrik.
”Sekarang, menurut saya, loncat, ketika baterai dan komponen belum sepenuhnya bisa dihasilkan sudah loncat ke kendaraan listrik. Masalahnya, mayoritas komponen kendaraan listrik masih impor, dari China atau Korea. Ini hanya akan kembali menjadikan Indonesia sebagai pasar perusahaan asing. Mengulang industri otomotif sebelumnya yang mana kita hanya jadi pasar dan enggak punya produk merek nasional,” ujarnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Motor listrik jenama Selis dalam ajang Indonesia International Motor Show (IIMS) 2023 di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Kamis (16/2/2023). Motor listrik produksi Tangerang tersebut memilik tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 53,69 persen.
Target pemerintah, untuk menjual kendaraan listrik sebanyak mungkin saat ini, termasuk lewat skema subsidi, dikhawatirkannya hanya akan dinikmati produsen. ”Kebijakan subsidi besar enggak ada gunanya. Saya menduga subsidi ini hanya untuk produsen agar produknya laku, belum lagi ada dugaan konflik kepentingan untuk pejabat yang punya perusahaan pendukung kendaraan listrik,” ucapnya.
Kendati demikian, ia mendukung kebijakan peningkatan TKDN kendaraan listrik untuk terus dilanjutkan. Ia meminta pemerintah memberikan syarat yang ketat, salah satunya perusahan asing yang mau berinvestasi di Indonesia harus berkomitmen melakukan alih teknologi dan pengembangan sumber daya manusia lokal.