Kenaikan Harga Minyak Dunia Berpotensi Tambah Beban APBN
Beban belanja APBN berpotensi bertambah guna mencegah dampak kenaikan harga minyak pada daya beli masyarakat. Namun, ketahanan fiskal negara dinilai masih kuat untuk menanggung risiko tersebut.
Oleh
AGNES THEODORA, ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Menteri BUMN Erick Thohir menyebut harga pertamax berpeluang turun jika harga minyak mentah dunia juga turun. Hal tersebut disampaikan saat meninjau pendistribusian bahan bakar minyak dan upaya antisipasi kebocoran BBM milik Pertamina di Graha Pertamina, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2022) siang.
JAKARTA, KOMPAS — Imbas tren harga minyak dunia yang terus menguat cepat atau lambat akan tertransmisi ke masyarakat. Respons pemerintah mesti cepat dan proporsional untuk mengantisipasi potensi inflasi dan pelemahan daya beli. Pembengkakan belanja subsidi dan kompensasi energi mau tidak mau terjadi, tetapi risiko dinilai masih terkendali.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, anggaran subsidi energi telah ditetapkan sebesar Rp 209,9 triliun, antara lain untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji 3 kilogram senilai Rp 139,4 triliun serta subsidi listrik senilai Rp 70,5 triliun.
Alokasi itu ditetapkan berdasarkan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) di APBN 2023 sebesar 90 dollar AS per barel. Sementara itu, akibat pembatasan produksi minyak oleh negara-negara produsen minyak (OPEC+), harga minyak dunia dalam sebulan terakhir bergerak melampaui asumsi hingga menembus 95 dollar AS per barel.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Rabu, mengatakan, tren penguatan harga minyak dunia membawa konsekuensi harga keekonomian yang naik untuk seluruh jenis BBM.
Agar kenaikan harga minyak dunia itu tidak berdampak lebih lanjut pada pelemahan daya beli masyarakat, pemerintah perlu menambal selisih harga keekonomian melalui APBN. Terlebih, opsi menaikkan harga BBM bersubsidi mustahil dilakukan di tengah dinamika tahun politik.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Tingginya harga minyak mentah dunia kian melebarkan gap antara harga keekonomian dan harga jual pertalite dan solar. Kondisi tersebut mendongkrak kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi energi.
”Konsekuensinya, mau tidak mau akan ada pembengkakan belanja subsidi dan kompensasi energi. Pertengahan tahun ini, Pertamina juga sudah sempat mewanti-wanti akan ada kenaikan volume BBM bersubsidi, ditambah sekarang ini harga minyak terus naik,” kata Tauhid.
Pada penutupan perdagangan, Selasa (19/9/2023), harga minyak dunia telah menyentuh level tertinggi dalam 10 bulan. Minyak mentah Brent mencapai 95,96 dollar AS per barel dan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menyentuh 93,74 dollar AS per barel.
Pada Rabu (20/9/2023), trennya sedikit menurun karena pasar menanti pengumuman kebijakan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed. Namun, harganya tetap terjaga tinggi di kisaran 93 dollar AS per barel.
Konsekuensinya, mau tidak mau akan ada pembengkakan belanja subsidi dan kompensasi energi.
Nasib negara importir
Setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 dollar AS per barel akan menyumbangkan pendapatan negara Rp 3,3 triliun. Namun, beban belanja negara ikut bertambah lebih besar, yaitu Rp 9,2 triliun, seperti lewat belanja subsidi dan kompensasi energi, dana bagi hasil, atau dana perlindungan sosial. Hal itu berpotensi mendorong pelebaran defisit fiskal pada APBN.
”Selama status kita adalah negara importir minyak, akan jauh lebih berat beban belanja yang harus ditanggung negara daripada potensi penerimaan yang bisa didapat dari kenaikan harga minyak,” kata Tauhid.
Ia menilai, melihat kondisi terkini dan potensi pembengkakan anggaran subsidi energi, ada kemungkinan defisit APBN tahun ini bisa melebar melebihi target outlook 2,28 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Untuk mengakali agar defisit tidak melebar melebihi 3 persen, risiko tambahan beban belanja itu bisa dibagi di tahun ini dan tahun depan. ”Misalnya, APBN tahun ini menanggung beban biaya tambahan subsidi, sementara beban kompensasi ’diecer’ di tahun depan biar tidak terlalu berat,” ujarnya.
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, imbas kenaikan harga minyak cepat atau lambat akan tertransmisikan ke sektor hilir dan pengguna akhir, baik konsumen rumah tangga maupun industri. Dengan demikian, respons dan antisipasi kebijakan pemerintah mesti cepat, tepat, dan proporsional.
Namun, agar tidak melulu membebani APBN, ia menyoroti perlunya pembenahan sistem penyaluran subsidi energi ke pengguna akhir. Sistem subsidi tertutup dan tertarget yang diberikan secara langsung kepada masyarakat mesti dimatangkan implementasinya. Demikian pula insentif fiskal yang diberikan secara langsung kepada sektor industri perlu diperluas.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Suasana stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2023). PT Pertamina Patra Niaga resmi memperkenalkan Pertamax Green 95 sebagai produk baru bahan bakar kendaraan.
”Keduanya diperlukan karena sistem subsidi terhadap harga tidak akan bisa terus-menerus kita pertahankan. Semakin besar selisih harga keekonomian dengan harga yang ditetapkan, semakin besar distorsi dan inefisiensi ekonomi yang ditimbulkan,” katanya.
Masih aman
Pemerintah terus mencermati tren pergerakan harga minyak dunia. Menurut Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo, dalam perhitungan pemerintah, risiko rambatan kenaikan harga minyak dunia pada APBN masih dalam batas aman.
Dalam perhitungan pemerintah, risiko rambatan kenaikan harga minyak dunia pada APBN masih dalam batas aman.
Ia tidak menampik bahwa kenaikan harga minyak bisa meningkatkan defisit APBN. Namun, hal itu dinilai masih bisa terkelola baik karena ada potensi tambahan pada penerimaan negara di sektor minyak dan gas, seperti lewat pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
”Harga ICP naik ini jangan langsung diartikan secara matematis kalau defisit melebar. Mungkin memang iya, tetapi intinya pendapatan itu, kan, juga akan naik, selain belanja yang juga naik. Perhitungan kami, ini masih dalam batas aman,” katanya.
PT PERTAMINA (PERSERO)
Tampak nozzle untuk Pertamina Green 95 yang merupakan campuran gasoline (bensin) dengan bioetanol sebesar 5 persen (E5) di salah satu SPBU di Jakarta, Senin (25/7/2023).
Selain ada potensi penerimaan negara, kinerja APBN sampai Agustus 2023 juga masih mencatatkan surplus. Hal ini juga terbantu tren realisasi harga minyak hingga paruh awal tahun ini yang berada di bawah asumsi APBN.
Oleh karena itu, menurut Wahyu, ketahanan fiskal negara masih kuat untuk menanggung kenaikan belanja subsidi dan kompensasi energi. ”Jadi, meski ada risikonya, kita lihat ketahanan fiskal dan skenario mitigasi kita masih kuat,” katanya.
Sementara itu, di sela-sela acara International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas di Bali, Rabu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya akan terus mencermati kondisi ini bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian BUMN.
”Kita terus menghitung bagaimana caranya, seperti stabilisasi harga serta peningkatan produksi (migas) di sisi hulu, atau menargetkan subsidi supaya bisa lebih tepat sasaran di hilirnya. Ini pekerjaan rumah kita,” katanya.