Perusahaan Raksasa Energi Fosil Pun Mulai Bertransisi
Shell dan Scuderia Ferrari kian menguatkan komitmen transisi energi menuju energi bersih di masa depan. Salah satunya, terus berusaha mengurangi komposisi karbon dalam bahan bakar, termasuk untuk balap Formula 1.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·2 menit baca
Didirikan sejak 1907, Shell dikenal sebagai perusahaan eksplorasi dan produksi minyak di daratan Eropa dan Asia, termasuk sebagian di Benua Amerika. Pada tahun-tahun berikutnya, Shell merambah bisnis hilir dengan berjualan bahan bakar minyak. Sejarah panjang bisnis energi fosil perusahaan yang berkantor pusat di London, Inggris, itu diwarnai keputusan untuk merambah sektor energi terbarukan mulai 2016.
Shell, yang juga menjadi pendukung salah satu tim balapan Formula 1, mulai berinovasi dengan mengembangkan bahan bakar rendah karbon bermerek Shell V-Power E10 pada tahun 2022. Bahan bakar itu mengandung 10 persen etanol generasi kedua atau hampir dua kali lipat dari bahan bakar musim balap 2021 yang sebesar 5,75 persen. Shell akan menyediakan 100 persen bahan bakar ramah lingkungan pada 2026. Mereka mendapat pasokan bioetanol tetes tebu dari mitra di Brasil.
Dengan 46.000 titik stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang tersebar di 85 negara, Shell juga mulai merambah stasiun pengisian energi listrik untuk kendaraan listrik berbasis baterai (EV station). China adalah salah satu negara yang menjadi pangsa pasar besar bagi Shell, yakni terdapat 2.000 SPBU dan 800 EV station. Di Indonesia, baru ada empat EV station milik Shell.
”Ini merupakan bagian dari komitmen berkelanjutan kami untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berkembang di China. China adalah salah satu pasar terpenting bagi Shell,” kata Global Executive Vice President for Mobility Shell Istvan Kapitany, Sabtu (16/9/2023), di Marina Bay Sands, Singapura, dalam bincang media, termasuk harian Kompas.
Executive Vice President for Global Lubricants Shell Jason Wong, di acara yang sama, menekankan bahwa hal terpenting dari semua proses dan inovasi Shell adalah kolaborasi, baik dengan pemerintah maupun pelanggan. ”Kami tidak bisa berinovasi dengan teknologi tinggi tanpa melibatkan pelanggan. Pahami kebutuhan konsumen, lalu gunakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan konsumen,” ujarnya.
Jason menambahkan, untuk mencapai target bauran energi terbarukan, tidak semua harus beralih menggunakan kendaraan listrik. Menurut dia, salah satu langkah maju adalah dengan menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Upaya ini juga bagian dari dukungan pada dekarbonisasi.
Masih terkait energi berkelanjutan, Jason meyakini, bekerja sama dengan konsumen menjadi sangat penting. Ia mencontohkan, Shell telah bermitra dengan masyarakat dalam proyek daur ulang kemasan produk Shell di India dan Filipina.
”Kami bekerja sama dengan industri seperti pertambangan dan juga dengan workshop di negara tersebut untuk mengumpulkan kemasan bekas produk Shell agar bisa didaur ulang. Di Indonesia kami masih mencari mitra,” tutur Vice President Lubricants Asia Pacific Mansi Madan Tripathy.
Di Indonesia, pemanfaatan sumber energi terbarukan oleh Shell diterapkan pada proyek perluasan pabrik pelumas yang ada di Bekasi, Jawa Barat, pada November 2022. Di pabrik yang menaikkan kapasitas produksi pelumas menjadi 300 juta liter per tahun itu, Shell mengoperasikan panel tenaga surya dan sistem pemanenan air hujan untuk mengurangi konsumsi air.
Untuk pengembangan energi rendah karbon itu, Shell setidaknya menyisihkan investasi sebesar 10 miliar-15 miliar dollar AS pada 2023-2025. Nilai investasi tersebut termasuk untuk pembiayaan pengembangan bahan bakar nabati (biofuel), bahan bakar hidrogen, stasiun pengisian daya kendaraan listrik, serta teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.