Usulan pemerintah melarang ”social commerce” melawan arah perkembangan teknologi. ”Social commerce” terbukti memiliki sisi positif, seperti membuka lapangan kerja dan memudahkan untuk menjangkau konsumen.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
Andre Oktavianus, pemilik jenama Kiminori Kids, mengaku pendapatan terbesarnya disumbang dari penjualan lewat kanal Tiktok Shop. Padahal, pemakaian kanal digital itu baru dimulai pada September 2022. Usaha penjualan baju anak yang didirikan bersama saudaranya sejak 2007 tersebut baru melirik kanal penjualan daring di periode 2017.
”Tujuh bulan setelah punya akun di Tiktok Shop, ada 250-280 afiliator yang mempromosikan dan menjual barang Kiminori Kids. Sejauh ini, pendapatan terbesar disumbang Tiktok Shop dan saya menduga ini karena pengaruh afiliator,” ujarnya saat dijumpai di Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Tiktok affiliate merupakan program yang dibuat oleh media sosial Tiktok untuk menghubungkan kreator dengan penjual. Penjual dalam konteks ini bisa berlatar belakang produsen yang sekaligus menjual barang atau hanya pedagang. Lalu, kreator yang ikut program itu biasa disebut afiliator. Pekerjaan mereka hanya sebatas mempromosikan barang milik penjual dan mendapat komisi.
Hampir semua afiliator Kiminori Kids adalah ibu rumah tangga berusia 20-40 tahun yang berlatar belakang masyarakat menengah ke bawah di kota-kota kecil di Jawa ataupun luar Jawa. Di antara afiliator tersebut, ada pula yang menjadi orangtua tunggal, tulang punggung keluarga, dan hanya mengandalkan pemasukan sebagai afiliator.
”Bagi mereka yang tinggal di pelosok, komisi (sebagai afiliator) Rp 3 juta sebulan itu besar sekali. Mereka minim (nyaris tak perlu keluar) modal karena contoh produk hingga pelatihan konten pun kami yang menyokong. Jika social commerce (berdagang di media sosial) ditiadakan, dampak paling terasa mungkin ada di afiliator kami,” ucap Andre.
Jika social commerce ditiadakan, dampak paling terasa mungkin ada di afiliator kami.
Wenny Wijaya, warga Kendari, Sulawesi Tenggara, yang setahun terakhir menjadi afiliator produk gawai di Tiktok Shop, juga mencemaskan social commerce jika benar-benar dilarang pemerintah. Wenny sehari-hari sebagai ibu rumah tangga.
”Pendapatan sebagai afiliator cukup membantu saya untuk memiliki tabungan darurat. Saya benar-benar akan mencairkan ketika ada kebutuhan sangat mendesak,” katanya.
Sebelumnya, pada pekan lalu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengusulkan pelarangan Tiktok sebagai tempat berjualan. Dia beralasan, platform ini melakukan monopoli lewat konsep social commerce dengan kemampuannya memengaruhi pengguna untuk berbelanja daring hingga melakukan penjualan dan pembayaran di platform yang sama.
Dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Selasa (12/9), di Jakarta, Teten menilai, pengaturan e-dagang di Indonesia masih lemah karena 56 persen pasar dikuasai produk asing. Menurut dia, banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri mengeluhkan kondisi itu lantaran produk mereka kalah bersaing.
Mengutip Reuters, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, peraturan perdagangan saat ini belum secara khusus mencakup transaksi e-dagang di media sosial. Revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang berjalan akan secara tegas melarang media sosial dan social commerce digabungkan.
Pengaturan e-dagang di Indonesia masih lemah karena 56 persen pasar dikuasai produk asing.
Menanggapi hal itu, Tiktok mengatakan, memisahkan media sosial dan e-dagang ke dalam platform berbeda akan menghambat inovasi. Tiktok berharap Pemerintah Indonesia memberikan kesetaraan bagi perusahaan. Head of Communications Tiktok Indonesia Anggini Setiawan menyebut pemisahan bakal merugikan pedagang dan konsumen.
Peneliti Center of Digital Economy and Small Medium Enterprises di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras Adha, menilai, usulan pemerintah melarang social commerce melawan arah perkembangan teknologi. Social commerce terbukti memiliki sisi positif, seperti membuka lapangan kerja dan memudahkan untuk menjangkau konsumen.
Hal yang perlu diatur pemerintah, yaitu menyangkut transparansi algoritma di media sosial. Sejauh ini, Eropa telah mengatur perubahan penggunaan data pribadi oleh media sosial untuk keperluan social commerce.