Harga Minyak Dunia Menguat, APBN Butuh Skenario Cadangan
Kenaikan harga minyak mentah dunia 1 dollar AS per barel dapat menambah penerimaan negara sebesar Rp 3,6 triliun, tetapi juga bisa mengerek tambahan belanja negara hingga Rp 10,1 triliun dan memperlebar defisit.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren kenaikan harga minyak dunia perlu dimitigasi agar tidak membebani keuangan negara dan menekan daya beli masyarakat. Meski pemerintah dan DPR sudah menyesuaikan asumsi harga minyak mentah dan lifting minyak di Rancangan APBN 2024, perlu ada skenario cadangan jika harga terus bergerak naik melewati perkiraan dan target lifting tidak tercapai.
Berdasarkan data Trading Economics, per Senin (11/9/2023), harga minyak mentah dunia masih terpantau tinggi melampaui 90 dollar AS per barel meski trennya sedikit menurun. Harga minyak mentah Brent mencapai posisi 90,3 dollar AS per barel, sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berada di posisi 87,1 dollar AS per barel.
Harga minyak global telah menguat selama sepekan lalu dan mencapai puncak tertinggi pada 6 September 2023 dengan posisi harga minyak Brent sebesar 90,6 dollar AS per barel dan minyak WTI sebesar 87,54 dollar AS per barel. Kenaikan harga minyak global itu menyusul keputusan Arab Saudi dan Rusia mengurangi produksi minyak hingga 1,3 juta barel sampai Desember 2023.
Menyikapi kondisi itu, pekan lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat merevisi asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) di RAPBN 2024 dari 80 dollar AS per barel menjadi 82 dollar AS per barel. Asumsi produksi siap jual atau lifting minyak bumi juga dinaikkan dari 625.000 barel per hari ke 635.000 barel per hari.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pemerintah perlu mengantisipasi jika harga minyak mentah global terus bergerak naik melewati perkiraan 82 dollar AS per hari dan target lifting minyak tidak tercapai.
”Pemerintah sepertinya masih cukup optimistis dengan asumsi ICP dan target lifting minyak. Perlu ada fleksibilitas dan skenario kebijakan untuk mengantisipasi jika asumsi dan target itu tidak tercapai. Apalagi, tahun depan itu tahun politik, jadi jalan keluarnya tidak bisa dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM),” katanya, Senin.
Apalagi, tahun depan itu tahun politik, jadi jalan keluarnya tidak bisa dengan menaikkan harga bahan bakar minyak. (Josua Pardede)
Menurut dia, kenaikan harga minyak mentah dunia 1 dollar AS per barel dapat berimplikasi pada tambahan penerimaan negara sebesar Rp 3,6 triliun. Namun, setiap kenaikan harga 1 dollar AS per barel itu juga bisa mengerek tambahan belanja negara hingga Rp 10,1 triliun, salah satunya melalui subsidi dan kompensasi energi.
Untuk negara yang masih perlu menggelontorkan subsidi energi guna menjaga daya beli masyarakat, biaya yang harus dikeluarkan akibat kenaikan harga minyak mentah lebih besar ketimbang pemasukan yang bisa didapat melalui Pajak Penghasilan (PPh) Migas atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) SDA migas.
”Artinya, ada potensi tambahan defisit APBN sekitar Rp 6,5 triliun tahun depan jika harga ICP naik lebih tinggi dari asumsi di RAPBN. Ditambah jika lifting minyak tidak tercapai, defisit akan tambah besar karena sudah pasti berdampak pada penerimaan kita yang lebih terbatas,” ujar Josua.
Belanja selektif
Sebagai dampak dari pergerakan harga minyak global, pemerintah dan DPR sepakat menyelaraskan kenaikan target penerimaan dan belanja negara sebesar Rp 21 triliun agar tidak mengusik target defisit fiskal dalam RAPBN sebesar 2,29 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau Rp 522,8 triliun.
Pemanfaatan tambahan pendapatan negara paling besar diarahkan untuk mengerek kompensasi BBM dan listrik sebesar Rp 10,1 triliun, serta menambah subsidi energi Rp 3,2 triliun. Meski asumsi makro dan anggaran belanja dinaikkan, pemerintah tidak menambah volume BBM bersubsidi tahun depan, yakni tetap 19,58 juta kiloliter, dan volume LPG tabung 3 kilogram tetap 8,03 juta metrik ton.
Josua menilai, di tengah dinamika gejolak harga dunia, defisit APBN memang tetap perlu dijaga rendah di bawah 3 persen agar keuangan negara tetap sehat, tetapi jangan sampai itu mencegah terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas karena tertekannya daya beli masyarakat.
Pemerintah harus lebih selektif menyusun alokasi belanja prioritas mengingat belanja subsidi berpotensi membengkak demi menjaga daya beli dan kualitas pertumbuhan di tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo.
”Potensi inflasi tahun depan bisa tinggi, bukan hanya karena harga BBM subsidi yang akan naik, melainkan juga kenaikan harga pangan karena dampak El Nino, jadi ada banyak subsidi lain yang harus diberikan kepada masyarakat,” ujarnya.
Fleksibel
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, pada prinsipnya fiskal tahun depan akan tetap dikelola secara hati-hati tetapi fleksibel untuk merespons dinamika perekonomian global dan domestik yang masih penuh gejolak.
Pemerintah tetap menyiagakan dana cadangan atau fiscal buffer di RAPBN 2024 sebesar Rp 51,4 triliun untuk mengantisipasi ketidakpastian. Misalnya, jika kebutuhan belanja membengkak di luar perkiraan dan target penerimaan negara tidak tercapai sesuai harapan.
”Kita juga akan menguatkan kualitas belanja. Belanja yang sifatnya kebutuhan birokrasi, misalnya, akan kita efisienkan dan kita arahkan ke anggaran yang sifatnya lebih produktif. Sekaligus kita berupaya menyelesaikan masalah reformasi subsidi yang belum efektif dan tepat sasaran,” katanya.
Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan berusaha agar target lifting minyak sebesar 635.000 barel per hari bisa tercapai supaya berdampak pada figur penerimaan negara tahun depan.
Hingga semester I-2023, lifting minyak bumi tercatat baru mencapai 615.000 barel per hari dari target 660.000 barel per hari di APBN 2023. ”Kami dari KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) dan SKK Migas akan terus monitor agar delivery lifting minyak bisa terwujud,” katanya.
Saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, akhir pekan lalu, Sri Mulyani juga sempat mengangkat isu menguatnya harga minyak dunia saat bertemu Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed Al Jadaan.
Sri Mulyani mengatakan, keputusan Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar dunia sangat menentukan pergerakan harga minyak di negara lain, termasuk Indonesia yang APBN-nya sangat bergantung pada dinamika harga minyak. Ikhtiar meningkatkan sumber energi alternatif terbarukan pun bisa menjadi jalan keluar dari ketergantungan tinggi terhadap energi fosil yang terbatas.
”Kita perlu terus meningkatkan ketahanan energi kita dan meningkatkan kewaspadaan terhadap perubahan harga komoditas yang sangat dinamis,” katanya.