Harga Minyak Naik, Pemerintah Kerek Target Penerimaan dan Belanja
Menyusul tren kenaikan harga minyak dunia, pemerintah mengubah asumsi dasar ekonomi makro serta target penerimaan dan belanja negara tahun depan. Meski ada target revisi, defisit APBN tetap bertahan 2,29 persen dari PDB.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat sepakat mengubah asumsi dasar ekonomi makro dan target penerimaan negara dalam Rancangan APBN 2024. Penyesuaian itu dilakukan setelah memantau tren pergerakan harga minyak global yang meningkat mendekati 90 dollar AS per barel.
Keputusan untuk merevisi asumsi dasar ekonomi makro itu diambil dalam rapat kerja antara pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/9/2023). Sebelumnya, usulan untuk merevisi asumsi dasar makro dan target penerimaan negara juga telah diputuskan dalam rapat-rapat komisi bersangkutan dan panitia kerja (panja) penyusunan RAPBN 2024.
Target asumsi dasar ekonomi makro yang diubah, antara lain, penyesuaian asumsi harga minyak mentah (ICP) dari 80 dollar AS per barel dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2024 menjadi 82 dollar AS per barel. Selain itu, asumsi lifting minyak bumi dinaikkan dari 625.000 barel per hari menjadi 635.000 barel per hari.
Asumsi dasar lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, lifting gas, dan tingkat suku bunga surat utang negara (SUN), tidak berubah dari target semula yang diusulkan dalam RUU APBN 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, seiring dengan volatilitas harga komoditas, dinamika perekonomian global, dan perubahan asumsi makro, pemerintah ikut merevisi target penerimaan negara dalam RAPBN 2024. Pendapatan negara tahun depan diproyeksikan naik Rp 21 triliun dari Rp 2.781,3 triliun menjadi Rp 2.802,3 triliun.
Kenaikan itu terdiri dari penerimaan perpajakan yang meningkat Rp 2 triliun dari Rp 2.307,9 triliun menjadi Rp 2.309,9 triliun serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang meningkat Rp 19 triliun dari Rp 473 triliun menjadi Rp 492 triliun.
”Kami identifikasi ada penerimaan perpajakan yang bisa dinaikkan dengan adanya perubahan asumsi makro dan pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, untuk PNBP, terjadi dinamika peningkatan yang lebih besar,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Banggar DPR.
Secara rinci, kenaikan penerimaan pajak akan lebih banyak datang dari pendapatan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) dan Pajak Bumi Bangunan (PBB). Adapun penerimaan kepabeanan dan cukai tidak berubah atau tetap Rp 321 triliun. Untuk PNBP, kenaikan datang dari pendapatan sumber daya alam (SDA) migas yang naik Rp 5,2 triliun dan kenaikan pendapatan nonmigas Rp 13,8 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, kenaikan target PNBP migas disebabkan oleh beberapa perubahan di asumsi dasar ICP dan lifting minyak. Sementara kenaikan PNBP nonmigas dipengaruhi oleh harga komoditas mineral dan batubara, kinerja badan usaha milik negara (BUMN), dan perbaikan layanan kementerian/lembaga.
Porsi kenaikan terbesar pada PNBP nonmigas disumbangkan oleh PNBP dari kekayaan negara yang dipisahkan sebesar Rp 5 triliun yang berasal dari dividen BUMN, serta PNBP SDA pertambangan dan minerba (mineral dan batubara) sebesar Rp 4,3 triliun.
”Tentu kita berharap harga komoditas, terutama minerba, masih akan relatif stabil sesuai asumsi dan permintaan tetap kontinu, meskipun masih dibayangi ketidakpastian dari perekonomian global,” ujar Sri Mulyani.
Revisi belanja
Seiring dengan itu, target belanja negara juga dinaikkan Rp 21 triliun dengan porsi 20 persen atau Rp 3,9 triliun dari kenaikan itu dialokasikan untuk anggaran pendidikan sesuai ketentuan alokasi anggaran wajib (mandatory).
Selain itu, akan ada pula tambahan belanja untuk subsidi energi sebesar Rp 3,2 triliun serta kompensasi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik sebesar Rp 10,1 triliun. Pemerintah juga akan menaikkan target belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 3,8 triliun.
Dengan target kenaikan belanja negara yang selaras dengan target kenaikan pendapatan negara itu, defisit fiskal dalam RAPBN 2024 pun tidak berubah, yakni 2,29 persen dari produk domestik bruto (PDB). ”Artinya, kenaikan target-target ini tidak mengurangi defisit. Defisit fiskal tetap kita jaga," katanya.
Ketua Banggar DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan Said Abdullah mengatakan, perubahan asumsi makro dan target penerimaan negara itu akan dibahas lebih detail dalam pembahasan di panja-panja, untuk disesuaikan dalam postur RAPBN 2024. Menurut dia, revisi tersebut masuk akal sesuai dengan dinamika perekonomian global terkini.
”Usulan agar lifting minyak bumi lebih besar didasari agar pemerintah bisa mendorong keran investasi lebih besar pada sektor hulu. Dengan produksi minyak bumi lebih besar, pemerintah memiliki dompet APBN lebih tebal dan devisa lebih kuat,” kata Said.