Luhut Janji Dekarbonisasi Indonesia Tak Hanya di Tahap Diskusi
Krisis iklim telah menjadi tantangan bagi seluruh pihak di dunia. Pasalnya, perubahan iklim menciptakan risiko pada stabilitas makroekonomi dan finansial yang bakal berdampak secara global.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dengan sumber daya melimpah dalam upaya dekarbonisasi, Pemerintah Indonesia berjanji akan melakukan langkah aksi dan tidak berhenti di tahap diskusi. Dalam menghadapi tantangan keberlanjutan di tingkat global, Indonesia terus membuka peluang kolaborasi inklusif dengan berbagai pihak.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam pembukaan Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2023, di Jakarta, Kamis (7/9/2023) mengatakan, perjalanan dekarbonisasi setiap negara berbeda. Baik dari starting point (titik mula), kapasitas, hingga kapabilitas.
Akan tetapi, krisis iklim menjadi masalah bersama. "Kegagalan satu bangsa dalam mengatasi itu menjadi kegagalan dunia. Oleh karena itu, dengan Indonesia Sustainability Forum kita bersama untuk mengejar pertumbuhan yang sustainable (berkelanjutan) dan inklusif. Indonesia memiliki peran penting dalam dekarbonisasi global," ujar Luhut.
Dalam mendukung upaya tersebut, Indonesia memiliki potensi yang melimpah, yakni sekitar 95 juta hektar hutan hujan (rainforest) dan potensi energi terbarukan yang mencapai 3.600 gigawatt (GW). Di samping itu, cadangan sejumlah "critical minerals" dengan jumlah besar seperti nikel, timah, bauksit, dan tembaga.
Luhut menekankan, segala upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif tak akan berakhir di tahap diskusi dalam forum. "Selama ini kita sudah banyak forum tetapi selalu hanya sampai diskusi. Namun, kali ini saya janji Indonesia bisa memberi bukti ke dunia bahwa Indonesia benar-benar peduli akan ini," katanya.
Selain Luhut, hadir dalam pembukaan ISF 2023 di antaranya Perdana Menteri Papua Niugini James Marape, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid.
Arsjad menuturkan, baru-baru ini, sejumlah pemberitaan menyebutkan Jakarta menjadi kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia. Hal tersebut harus menjadi alarm bagi Indonesia. Bukan hanya tentang keputusan ekonomi, tetapi juga moral. Dalam menghadapi itu, termasuk bagi dunia usaha/bisnis, ada tantangan maupun peluang.
"Yang pasti, kita tidak bisa menghadapi tantangan kompleks ini sendirian, tetapi perlu ada kolaborasi dari semua sektor. Pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil, komunitas, dan lainnya. Kita bisa mengimplementasikan solusi yang efektif dan adil tentang bagaimana mencapai keberlanjutan," ucapnya.
Kadin, imbuh Arsjad, memiliki program Kadin Net Zero Hub, yang kemudian diadopsi hingga ke tingkat ASEAN melalui ASEAN Net Zero Hub. Apabila semua pihak berkolabrasi bersama, keberlanjutan untuk masa depan tak hanya untuk Bumi, tetapi juga industri hijau Indonesia yang berperan di tingkat global.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa26-11-2021
Stabilitas ekonomi
Sementara itu, menurut Georgieva, krisis iklim juga menjadi tantangan bagi IMF. Pasalnya, perubahan iklim menciptakan risiko pada stabilitas makroekonomi dan finansial. Namun, di sisi lain, aksi iklim juga menciptakan peluang untuk pertumbuhan ekonomi yang hijau dan juga menciptakan lapangan pekerjaan hijau (green jobs).
Ia menambahkan, ada empat negara di Asia tenggara yang masuk ke dalam 10 besar indeks risiko global terkait iklim, yakni Myanmar, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Namun, itu bukan berarti Indonesia aman karena ada risiko dari ancaman peningkatan permukaan laut serta kebakaran hutan.
Selain dampak fisik, krisis iklim juga menyebabkan kerugian ekonomi di ASEAN. Dari perhitungan IMF, ada kerugian sekitar 100 miliar dollar AS per tahun. "Lebih signifikan lagi, di masa depan, di negara-negara ASEAN, akan ada 190 juta jiwa yang tinggal di bawah air laut pasang (high-tide). Kalau saya bandingkan dengan Eropa, itu sama dengan jumlah populasi Jerman, Italia, dan Spanyol (diabungkan). Bayangkan!" katanya.
Namun, di balik ancaman itu, ia menilai positif komitmen negara-negara ASEAN untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk dalam mengidentifikasi risiko yang ada. Begitu juga langkah aksi dari negara-negara dalam adaptasi risiko, seperti Singapura dan Thailand yang dinilainya baik. Juga komitmen yang telah ditunjukkan oleh Indonesia.
Sementara itu, Marape mengemukakan, seperti Indonesia, Papua Niugini juga merupakan negara yang kaya akan hutan. Apabila hutan, mangrove dan keanekaragaman hayati Papua Niugini dan Indonesia dikombinasikan, maka menjadi kekuatan penting dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. "Jadi, kita harus think globally and act locally (berpikir global dan beraksi di tingkat lokal)," katanya.