Target Produksi Garam 2 Juta Ton Diyakini Tercapai
Kendati belum memenuhi kebutuhan garam nasional, pemerintah dan petambak optimistis produksi garam nasional bisa mencapai 2 juta ton tahun ini. Petambak garam menantikan penerapan Perpres No 126/2022.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah dan petani garam optimistis dapat memenuhi target produksi nasional hingga 2 juta ton pada tahun 2023. Target itu dapat tercapai karena fenomena El Nino dinilai mendorong terjadinya kemarau panjang sehingga produksi garam bisa maksimal. Para petambak garam berharap kebijakan tentang percepatan pembangunan pergaraman nasional bisa terwujud.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi tahunan garam nasional pada 2023 dan 2024 bisa mencapai 2 juta ton. Fenomena El Nino yang memicu kemarau menjadi lebih kering menambah optimisme Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono bahwa target tersebut akan tercapai.
“Insyaallah (bisa), ini, kan, musimnya cukup. Kami akan usahakan bisa. Hanya dulu (daerah) yang paling bagus di daerah Nusa Tenggara Timur terkena badai Seroja yang menyebabkan infrastruktur agak terganggu, rusak, tetapi sekarang sudah mulai lagi (produksi), harusnya bisa,” kata Sakti di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Kebutuhan garam di dalam negeri mencapai 4,5 juta ton per tahun, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun industri. Guna memenuhi kekurangannya, pemerintah masih memberlakukan impor garam (Kompas.id, 13/6/2023).
Saat ini, tantangan produksi garam ada pada kelengkapan infrastruktur, kata Sakti, antara lain soal pembuatan tambak. Oleh karena itu, KKP akan mengupayakan agar infrastruktur pendukung dapat disediakan negara. Kemudian, para petani garam melanjutkan pengembangannya. Dalam tahap ini, upaya masyarakat dibutuhkan karena sulit mencari investor besar untuk menanamkan modalnya dalam pembangunan infrastruktur karena margin yang sangat tipis.
Menanggapi hal ini, Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin meyakini target produksi garam nasional dapat terpenuhi. Apalagi ia memprediksi dalam 1,5-2 bulan lagi masih akan ada produksi komoditas tersebut. “Sekarang memang lagi puncak-puncaknya. Itu (target) 2 juta ton optimistis, kami bisa capai,” ujarnya.
Ia sepakat bahwa infrastruktur yang kurang memadai menghambat produksi para petani garam. Salah satunya adalah kincir angin yang tak berfungsi saat angin tak berembus kencang. Akibatnya, pompa mati, kemudian gagal mengalirkan air.
Untuk pertanian konvensional, mayoritas para petani garam mengandalkan energi matahari. Alhasil, energi itu menjadi sumber yang tak tergantikan energi lainnya. Saat ini, banyak dari mereka yang juga memanfaatkan plastik high density polyethylene (HDPE) yang sejauh ini juga dinilai cukup efektif.
Hal itu berbeda dengan penggunaan sistem terowongan (tunnel) dan rumah prisma. Produksi garam dalam sistem tunnel artinya memanfaatkan lahan yang tersedia, kemudian geoisolator dirangkai dengan wadah tampungan seperti lorong. Rumah prisma berupa lahan tambak dengan atap berbentuk prisma dari plastik.
Saat hujan, para petani yang memanfaatkan kedua metode itu masih bisa memproduksi garam. Namun, pengguna sistem tunnel dan rumah prisma jumlahnya masih rendah lantaran biaya produksinya relatif lebih mahal.
Sementara itu, infrastruktur yang sudah terbangun terkadang kurang terurus dan menghambat produksi garam. Menurut Anggota Komisi IV DPR Muhammad Syafrudin dari Fraksi Partai Amanat Nasional, masyarakat meminta pembangunan gudang dan infrastruktur lain, tetapi perawatannya tidak maksimal. Alhasil, evaluasi perlu dilakukan agar jangan sampai meminta tanpa diikuti perawatan yang memadai.
Efek kenaikan harga
Saat ini, harga garam sedang terkerek naik, yakni berkisar Rp 1.700 per kilogram (kg) hingga Rp 1.800 per kg. Angka tersebut dinilai menguntungkan petani dan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2020-2021 yang sebesar Rp 500 per kg.
Menurut Jakfar, pendapatan petani dari tiap hektar tambak meningkat karena imbas kenaikan harga garam. Dari hanya sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per ha pada 2020-2022, kini petambak garam bisa meraup Rp 15 juta per ha hingga pertengahan tahun 2023. Nominalnya dapat meningkat lebih dari dua kali lipat menjelang akhir tahun ini.
Kenaikan harga garam dipengaruhi oleh stok barang yang menipis pada awal tahun. Tren harganya masih terjaga hingga sekarang. Musim hujan lalu berimbas pada produksi garam yang tak maksimal. Idealnya, tiap 1 ha lahan mampu menghasilkan 1 ton, realitasnya, angka itu tak tercapai.
Faktor lainnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional menimbulkan ketakutan bagi para pengusaha. Alasannya, pemerintah menargetkan stop impor garam pada tahun 2024 sehingga terjadi penimbunan di gudang pengusaha.
“Jadi pengusaha ini sekarang pembeliannya sangat banyak. Mereka buka gudang, membeli sebanyak-banyaknya yang mengakibatkan (harga) garam agak mahal,” kata Jakfar.
Ia menantikan praktik penerapan kebijakan Perpres No 126/2022 yang dianggap memberi angin segar bagi banyak petambak dan petani garam. Hal itu memotivasi mereka untuk memperbaiki lahannya. “Jadi tambak yang terbengkalai dan diperbaiki itu berbeda, bisa hampir 70 persen (perbedaan) produksinya,” ujarnya.
Penerapan kebijakan Perpres No 126/2022 dinantikan karena dianggap memberi angin segar bagi banyak petambak dan petani garam.
Selain itu, Jakfar berharap beragam teknologi yang mendongkrak produktivitas diperkenalkan kepada petambak garam. Bagian yang tak kalah pentingnya, pemerintah dapat menjamin harga garam, misalnya dengan menggolongkan garam menjadi barang penting,sehingga ada aturan yang mengontrol agar harganya jangan sampai di bawah Rp 1.000 per kg.
Perpres tersebut diharapkan jadi landasan para petani untuk berinvestasi guna meningkatkan produktivitas tambaknya. “Kami berharap pada pemerintah, ada kebijakan yang jelas yang mengatur harga garam agar supply dan demand seimbang,” kata Jakfar.