Bagi pelaku bisnis ASEAN, yang paling penting dalam pembangunan ekonomi bukan ‘hijau’ saja, tetapi tidak boleh meninggalkan siapa pun. Pebisnis ASEAN juga perlu memastikan masyarakat dapat keluar dari kemiskinan
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan prinsip-prinsip ekonomi hijau akan memperkuat daya saing sebuah negara, bahkan kawasan. Namun, kalangan pebisnis ASEAN menilai, ekonomi hijau perlu didorong secara inklusif untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dan tidak memperbesar kemiskinan.
Dalam sesi yang dipandu Menteri Perdagangan 2011-2014 Gita Wirjawan, Pendiri Forum Ekonomi Dunia (WEF) Klaus Martin Schwab menyoroti penerapan ekonomi hijau yang dianggap hanya sebagai kewajiban demi menjaga stabilitas negara dalam menghadapi perubahan iklim.
”Padahal, di masa depan, hal itu (penerapan ekonomi hijau) dapat menjadi faktor daya saing yang kuat,” ujarnya dalam diskusi panel pada ASEAN Business and Investment Summit 2023 yang diadakan di Jakarta, Senin (4/9/2023).
Klaus memaparkan, ekonomi yang memperhatikan kelestarian lingkungan tecermin dari pemanfaatan energi hijau. Semakin cepat suatu negara menciptakan inovasi-inovasi yang menyertai energi hijau tersebut, keunggulan kompetitif pun akan makin cepat diraih.
Selain berinovasi dalam energi hijau, lanjut Klaus, kemitraan antara pebisnis dan pemerintah juga penting dalam menopang ekonomi lestari. Pemerintah dan pebisnis kini sama-sama perlu memperhatikan masyarakat sosial, lingkungan, dan kesejahteraan. Dengan tujuan yang sama tersebut, pemerintah dan pebisnis perlu berjalan bersama.
Penguatan daya saing itu relevan dengan revisi angka proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di kawasan ASEAN yang dimutakhirkan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD, Minggu (3/9/2023). Pada edisi September 2023, OECD memproyeksikan, pertumbuhan PDB di ASEAN sepanjang 2023 dan 2024 masing-masing sebesar 4,2 persen dan 4,7 persen.
Angka pertumbuhan itu lebih rendah dibandingkan proyeksi yang dipublikasikan pada Maret 2023 masing-masing senilai 4,6 persen (2023) dan 4,8 persen (2024). Artinya, daya saing dapat menjadi modal pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat negara maupun kawasan.
Meskipun OECD merevisi angka pertumbuhan PDB ASEAN, proyeksi terhadap Indonesia tidak berubah. Baik pada publikasi Maret maupun September 2023, pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan 4,7 persen pada 2023 dan 5,1 persen pada 2024.
Semakin cepat suatu negara menciptakan inovasi-inovasi yang menyertai energi hijau tersebut, keunggulan kompetitif pun akan makin cepat diraih.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus Ketua ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) Arsjad Rasjid menyatakan, komitmen penerapan prinsip-prinsip ekonomi hijau di tingkat ASEAN sudah sangat jelas.
”Namun, yang paling penting bukan hijau saja, tetapi kita tidak boleh meninggalkan siapa pun. Kita juga masih (harus) memastikan dapat keluar dari kemiskinan,” kata Arsjad saat ditemui di sela ASEAN Business Investment and Summit 2023.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, proporsi masyarakat miskin di Indonesia pada Maret 2023 sebanyak 9,36 persen atau setara dengan 25,9 juta orang. Angka ini lebih rendah dibandingkan posisi pada Maret 2022 yang rasionya senilai 9,54 persen atau setara dengan 26,16 juta penduduk. Meskipun demikian, rasio gini yang menjadi indikator ketimpangan naik dari 0,384 (Maret 2022) menjadi 0,388 (Maret 2023). Apabila angka rasio gini mendekati 1, ketimpangan makin tinggi.
Arsjad juga menggarisbawahi, negara-negara maju perlu memperhatikan prioritas negara berkembang, bahkan negara yang masih tergolong miskin. Dalam tataran nilai-nilai yang tengah diusung Indonesia sebagai ketua ASEAN, negara belum dapat memikirkan kelestarian planet Bumi jika kedamaian yang menjadi stabilitas penyokong pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat belum tercapai. Oleh sebab itu, penerapan ekonomi hijau di ASEAN mesti sesuai dengan situasi cara-cara yang khas dari negara-negara anggota.
Negara belum dapat memikirkan kelestarian planet Bumi jika kedamaian yang menjadi stabilitas penyokong pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat belum tercapai.
Aliansi karbon
Pembangunan ekonomi hijau sarat dengan upaya-upaya dekarbonisasi atau pengurangan emisi karbon. Uni Eropa (UE), salah satu mitra ASEAN, akan menerapkan mekanisme penyesuaian batas karbon (carbon border adjustment mechanism/CBAM) yang akan mengenakan tarif pada komoditas yang masuk ke pasar kawasan UE berdasarkan angka emisinya. Menghadapi kebijakan UE tersebut, ASEAN-BAC meluncurkan ASEAN Alliance of Carbon Market atau Aliansi Pasar Karbon ASEAN.
”Kami membentuk ASEAN Alliance of Carbon Market untuk mengantisipasi CBAM dari UE. Kami melihat, mereka membuat standar karbon versi barat sehingga kami ingin membuat standar dengan framework ASEAN. Dalam hal ini, kami sudah melibatkan panel ahli internasional untuk menjadi penasihat. Hal ini (aliansi pasar karbon ASEAN) juga menekankan pada keadilan,” tutur Pejabat Sementara Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kadin Indonesia sekaligus Legacy Lead of ASEAN Net Zero Hub and Carbon Centre of Excellence Dharsono Hartono.
Dharsono memaparkan, aliansi pasar karbon ASEAN akan berbeda dengan African Carbon Market Initiative. Negara-negara di Afrika umumnya pemasok karbon. Adapun di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara pembeli karbon.
Artinya, apabila kerangka kerja mengenai pasar karbon disetujui di tingkat ASEAN, kawasan Asia tenggara dapat menjadi percontohan perdagangan karbon dunia, termasuk memperoleh pengakuan dari UE. Apalagi, ASEAN berkontribusi sebesar 30 persen dalam kredit karbon dunia dengan 60 persen di antaranya berasal dari sektor kehutanan Indonesia.