Destinasi Internasional Masih Lebih Diminati Wisatawan Indonesia
Pilihan utama berlibur masyarakat Indonesia masih didominasi wisata internasional. Mereka rela merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah untuk bepergian ke negara lain karena kurangnya konektivitas wisata dalam negeri.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Destinasi internasional masih menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia. Mereka rela merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah per kepala untuk berlibur. Di dalam negeri, kawasan Indonesia timur masih menjadi tujuan umum bepergian untuk liburan.
Manajer PT Dwidaya World Wide Cabang AEON BSD, Dini (34), mengatakan, wisata internasional, baik Eropa maupun Asia (Jepang, Taiwan), lebih dominan diminati dibandingkan dengan wisata domestik. Pihaknya pun mengakomodasi hal itu dengan membuka sejumlah rute baru serta mengaktifkan kembali rute yang sempat ditutup.
”Kami masih tetap menguasai rute internasional. Kalau keseluruhan, (proporsinya) sekitar 60 persen dan 40 persen (antara internasional dan domestik),” ujarnya di tengah partisipasi dalam Kompas Travel Fair 2023 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Sabtu (2/9/2023).
Turki merupakan salah satu negara yang tergolong awal membuka perbatasannya kala pandemi Covid-19. Alhasil, banyak masyarakat Indonesia telah menginjakkan kakinya di negara Eurasia itu. Untuk memberi opsi lain, agen perjalanan Dwidaya menyediakan rute baru ke wilayah Asia Tengah, yakni Kazakhstan dan Uzbekistan. Negara-negara tersebut memberlakukan visa on arrival atau visa saat kedatangan bagi pelaku perjalanan asing sehingga lebih mudah daripada jenis visa lainnya.
Meski demikian, Dwidaya pun mulai menggalakkan wisata dalam negeri. Beberapa di antaranya dengan menyediakan paket tur ke Mandalika, Nusa Tenggara Barat, serta Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Agen tur Dwidaya berupaya menekankan pengalaman bagi wisatawan. Sebagai contoh, mereka dapat menikmati aktivitas berlayar dengan pinisi sekaligus melihat hewan komodo. Saat ini, permintaan wisata domestik ke kawasan timur Indonesia memang lebih tinggi ketimbang daerah lain.
Hal serupa diutarakan agen perjalanan lain, Manajer Perjalanan Panorama JTB Dewi Karim (43). Sejumlah negara Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan China menjadi pilihan favorit masyarakat.
Untuk destinasi domestik, Panorama JTB menawarkan paket perjalanan ke daerah tengah dan timur Indonesia. Serupa dengan Dwidaya, pilihan masih mengacu ke Bali dan Nusa Tenggara.
Sementara beberapa orang menjadwalkan berlibur tiap tahunnya, baik sendiri maupun bersama keluarga. Ketika ditanya destinasi domestik, rata-rata menjawab Bali.
”Saya biasanya (berlibur) saat low season (di luar musim libur). Perginya jauh, seperti kemarin sempat ke Korea Selatan dan Australia,” ujar Dona (42).
Untuk Australia, ia merogoh kocek sekitar Rp 40 juta, terlebih harga tiket cukup tinggi. Adapun perjalanannya ke Korea Selatan menghabiskan sekitar Rp 30 juta. Durasi bepergian ke tiap negara itu berkisar 10-12 hari.
Tak berbeda dengan Dona, Grace (54) tengah mempersiapkan berlibur bersama keluarga pada akhir tahun 2023 ke Eropa. Biayanya berkisar Rp 30 juta-Rp 40 juta per orang. Wisata internasional menjadi opsi utamanya karena destinasi dalam negeri, menurut Grace, tak didukung dengan akomodasi yang memadai serta terintegrasi.
Butuh konektivitas
Keindahan alam Indonesia tak kalah menarik dari berbagai tempat wisata internasional. Namun, kurangnya kolaborasi antara pemerintah daerah dan pihak swasta menghambat perkembangan potensi wisata.
Menurut Ketua Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI) Hans Manansang, antartempat wisata di Indonesia tak terkoneksi sehingga tiap orang perlu memikirkan sendiri akses ke tiap tujuan. Kondisi itu yang menghambat destinasi dalam negeri kurang dilirik wisatawan.
”Karena orang kalau mau berwisata, kan, maunya yang mudah. Orang enggak repot cari transportasi. Kalaupun ada, harga mahal, makanan tidak sesuai dan tidak ada alternatif lainnya,” kata Hans.
Ketua Umum Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI) Hans Manansang saat berpartisipasi dalam Kompas Travel Fair 2023 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Sabtu (2/9/2023).
Menghadapi hal ini, pihak swasta butuh kerja sama dengan pemerintah setempat yang lebih aktif berinisiatif. Standardisasi mutu tiap daerah perlu ditetapkan guna memastikan kenyamanan para pelancong.
”Kalau mau kompetitif, enggak bisa lagi dipisah-pisah (perannya). Wisata itu salah satu industri yang enggak bisa mengotak-ngotakkan. Kami (swasta dan pemerintah) sudah harus menyatu, benar-benar kayak perusahaan, ya,” ujar Hans.
Masyarakat masih menomorduakan destinasi domestik karena sistem yang tak terintegrasi. Secara pribadi, Grace, misalnya, berkeinginan berkunjung ke destinasi-destinasi baru di Indonesia. Namun, ia mengeluhkan sistem wisata yang belum terintegrasi, baik dari sisi transportasi, hotel, maupun rumah makan.
”Berbeda dengan tur luar negeri yang bisa efektif dan efisien. Sangat disayangkan sebenarnya, orang Indonesia enggak mengerti daerah Indonesia, tapi justru mengerti daerah di luar negeri,” kata Grace.