Kebijakan Pengembangan Ekonomi Digital Belum Sinergis
Terkait pengembangan ekonomi digital, kementerian/lembaga masih terlihat jalan sendiri-sendiri sehingga belum optimal bagi perekonomian nasional. Saat ini disusun Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital 2023-2030.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pengembangan ekonomi digital di Indonesia dinilai belum sinergis antarkementerian dan lembaga. Tiap-tiap pihak masih jalan sendiri-sendiri sehingga belum berjalan menuju pengembangan yang optimal bagi perekonomian nasional.
Ekonom yang juga pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Ibrahim Kholilul Rohman, mengatakan, saat ini langkah yang diambil tiap-tiap kementerian dan lembaga negara terlihat belum sinergis dalam mengembangkan ekonomi digital.
Ia menggambarkan, Bank Indonesia (BI) fokus pada sistem pembayaran digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) fokus pada pengawasan dan pengembangan industri layanan jasa keuangan digital, Kementerian Koperasi dan UKM fokus mendorong masuknya UKM ke ekosistem digital, dan berbagai kebijakan kementerian dan lembaga lainnya. Namun, implementasi tugas masing-masing itu dinilai belum menuju ke satu titik tujuan bersama.
”Kebijakan yang tersinkronisasi ini jadi kunci isu,” ujar Ibrahim dalam diskusi berjudul ”Menerka Arah Pengembangan Ekonomi Digital ke Depan” yang diselenggarakan Lembaga Forum Diskusi Salemba Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) secara daring, Sabtu (2/9/2023).
Sebagai contoh, kebijakan kewajiban televisi digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kendati sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaannya, kesediaan pasokan setup box belum terpenuhi. Akhirnya kebutuhan itu harus dipenuhi dengan impor.
Ia berpendapat, seharusnya Kementerian Komunikasi dan Informatika bisa berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kementerian Perindustrian agar industri elektronika dalam negeri bisa mempersiapkan diri memenuhi kebutuhan itu. Dengan demikian, tidak perlu ada pemborosan uang untuk impor setup box. Secara makro, lanjut Ibrahim, sinergi itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih optimal.
Ibrahim yang pernah bekerja sebagai peneliti ekonomi digital di Komisi Uni Eropa mengatakan, Indonesia bisa mencoba belajar dari kebijakan pengembangan ekonomi digital di kawasan Uni Eropa. Di sana, terdapat berbagai regulasi, seperti eIDAS (Electronic Identification, Authentication, and Trust Services), EGDPR (European General Data Protection Regulation), dan Horizon 2020. Namun, semua regulasi itu mengarah pada satu tujuan, yakni Digital Single Market.
Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna menegaskan, dalam menyusun kebijakan, pihaknya telah berkoordinasi lintas kementerian dan lembaga. Menurut dia, tiap kementerian dan lembaga memang mempunyai prioritas tersendiri dalam kebijakannya. Ia mencontohkan, pihaknya berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian soal upaya mendorong digitalisasi pertanian. Hanya saja, Kementerian Pertanian memprioritaskan persoalan yang dirasa lebih mendesak, seperti produksi padi dan gabah.
Disampaikan oleh Asisten Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinasi bidang Perekonomian Bayu Anggara Silvatika, saat ini tengah disusun Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital 2023-2030. Di dalamnya, lanjut Bayu, memang dibutuhkan orkestrasi banyak kementerian dan lembaga mencapai tujuan pengembangan ekonomi digital yang optimal.
”Semangatnya ingin memetakan dan menyinkronkan upaya-upaya pengembangan potensi ekonomi digital,” ujar Bayu.
Potensi besar
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengoptimalkan potensi besar ekonomi digital Indonesia. Mengutip data McKinsey dan Bain (2021), seperti diolah Kementerian Perdagangan, pada tahun 2022 nilai transaksi e-dagang mencapai Rp 526 triliun. Pada 2030 nilai transaksi e-dagang diperkirakan mencapai Rp 1.908 triliun.
Sementara itu, data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan, pada tahun 2020 kontribusi ekonomi digital terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 4,9 persen. Pada 2030 diperkirakan mencapai 18,8 persen.
Wakil Direktur Eksekutif Indonesia Fintech Society (Ifsoc) Mekhdi Ibrahim Johan mengatakan, potensi besar ekonomi digital Indonesia ini juga harus ditopang tak hanya regulasi pengembangannya yang sinergis, tetapi juga kesiapan sumber daya manusia.