Transformasi Ekonomi di Daerah Penghasil Batubara Perlu Disiapkan
IESR mendorong agar diversifikasi dan transformasi ekonomi segera direncanakan guna mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara. Hal ini seiring dengan komitmen transisi energi yang menguat
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
RHAMA PURNA JATI
Rangkaian kereta batubara di Kawasan Tambang PT Bukit Asam yang ada di Kawasan Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Selasa (16/11/2021)
JAKARTA, KOMPAS - Komoditas batubara hingga kini masih menjadi penopang, baik untuk pembangkit listrik tenaga uap maupun sumber penerimaan nasional dan daerah. Namun, seiring komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca, permintaan batubara diyakini bakal turun. Segala potensi dampaknya mesti dipikirkan dan dimitigasi sejak sekarang.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran hasil penelitian terkait transisi berkeadilan di daerah penghasil batubara di Indonesia oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), di Jakarta, Jumat (1/9/2023). Penelitian itu dilakukan selama dua tahun di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan.
Dari laporan penelitian, diketahui bahwa dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royalti pertambangan batubara berkontribusi signifikan pada pendapatan pemerintah daerah. Di Muara Enim, DBH berkontribusi hingga 20 persen dari pendapatan daerah, sedangkan di Paser sekitar 27 persen. Penurunan DBH akan berdampak besar pada operasional mengingat belanja pemerintah daerah sebagian besar untuk operasional.
Perkiraan penurunan itu tak terlepas dari rencana pengakhiran operasi PLTU dan komitmen transisi energi dari negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara. IESR mendorong agar diversifikasi dan transformasi ekonomi segera direncanakan guna mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara.
Analis Kebijakan Lingkungan IESR Ilham Surya mengatakan, pihaknya merekomendasikan DBH dapat lebih dioptimalkan untuk kebutuhan-kebutuhan dalam transisi. "Selain itu, dana-dana CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) juga diarahkan untuk kegiatan-kegiatan berkaitan dengan transisi, bukan yang sifatnya santunan," katanya.
Rekomendasi lainnya terkait penyiapan sumber daya manusia (SDM). Untuk jangka pendek, diperlukan adanya peningkatan literasi keuangan masyarakat, khususnya saat diarahkan untuk beralih ke sektor baru. Sementara untuk jangka panjang, hal-hal terkait pekerjaan yang akan dibutuhkan, perlu ditambahkan ke dalam kurikulum.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, menuturkan, saat ini, dari total batubara yang diproduksi di dalam negeri, sebanyak 30 persen digunakan untuk kebutuhan domestik. Selebihnya, 70 persen diekspor untuk memenuhi kebutuhan negara-negara seperti China, India, dan negara-negara di Asia Tenggara.
Fabby mengatakan, perlu dicermati hal-hal apa saja yang direncanakan oleh negara-negara itu terkait pemanfaatan batubara dan transisi energi. China misalnya, meski masih menggunakan batubara dalam jumlah besar, tetapi sudah dicanangkan untuk mencapai puncak emisi pada 2030 dan phase out (penghapusan bertahap) batubara pada 2060.
Sebanyak 30 persen digunakan untuk kebutuhan domestik. Selebihnya, 70 persen diekspor untuk memenuhi kebutuhan negara-negara seperti China, India, dan negara-negara di Asia Tenggara
Hal-hal seperti itu dapat berdampak pada sektor perekonomian yang lain. "Ini hal serius yang perlu segera disikapi oleh perencana pembangunan dan pembuat kebijakan di Indonesia. Sebab, sedemikian besar kontribusi industri ekstraktif pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di kabupaten (penghasil batubara)," ujar Fabby.
Ia pun berharap semua instansi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan perencanaan pembangunan mulai melihat aspek tersebut. Transformasi ekonomi mesti dipikirkan segera, karena setiap daerah penghasil batubara memiliki karakter berbeda sehingga solusinya pun harus dirancang dengan baik.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Antrean panjang angkutan batubara menuju stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) memenuhi bahu jalan di Kabupaten Sarolangun, Jambi, Jumat (3/6/2022).
Perlu terobosan
Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nizhar Marizi menuturkan, Indonesia pernah bertransisi dari minyak bumi ke batubara. Hal itu kemudian menjadikan batubara menjadi andalan sejak 2000-an dan puncaknya pada 2011.
Saat itu transisi lebih disebabkan faktor harga dan produktivitas. "Namun, untuk transisi dari batubara ke energi terbarukan, jika faktor pendorongnya tidak sekuat itu, maka diperlukan kebijakan yang berpihdak dan bersifat terobosan (agar transisi ke energi terbarukan optimal). Tidak business as usual," kata Nizhar.
Ia menambahkan, dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2022, potensi dan sumber daya batubara Indonesia mencapai 39 miliar ton. Itu baru akan habis dalam 50 tahun ke depan dengan catatan tingkat pemanfaatan seperti yang terjadi saat ini.
Pemerintah pun, kata Nizhar, tengah mengkaji sejumlah perangkat kebijakan dan strategi untuk mengantisipasi dampak transisi energi pemanfaatan batubara. Hal itu penting mengingat International Energy Agency memperkirakan permintaan global batubara global menurun 20 persen pada 2030 dan lebih dari 70 persen pada 2030, seiring komitmen emisi nol bersih (NZE) dari berbagai negara.
"Ini akan memberi dampak signifikan terhadap perekonomian nasional dan regional. Terutama bagi daerah-daerah penghasil batubara," ucap Nizhar. Ia juga menyebut rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, termasuk di dalamnya sektor energi, telah selesai dan tengah dibahas bersama DPR RI.