Transisi Energi Jangan Sekadar Meminjam Jargon Berkeadilan
Banyak negara yang melupakan aspek keberlanjutan dan inklusivitas dalam proses transisi energi karena terlalu terjebak dalam kompleksitas urusan hitung-hitungan ekonomi.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi kerap hanya fokus pada isu ekonomi semata, tetapi melupakan dampak samping lingkungan dan sosial dari proses tersebut. Transisi energi yang sekadar meminjam jargon inklusivitas dan keberlanjutan akan membawa masalah yang lebih berat di kemudian hari.
Akhir-akhir ini kesadaran negara-negara berkembang untuk melakukan transisi energi sudah semakin tinggi, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Hal itu merupakan keniscayaan di tengah rantai pasok dunia yang semakin peka terhadap ekonomi keberlanjutan, membuat suatu negara mau tidak mau harus beralih ke energi bersih.
Kendati demikian, Koordinator Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Indonesia Valerie Julliand mengatakan, banyak negara yang melupakan aspek keberlanjutan dan inklusivitas dalam proses transisi energi karena terlalu terjebak dalam kompleksitas urusan hitung-hitungan ekonomi, tak terkecuali Indonesia.
Ia pun menyoroti proyek hilirisasi nikel untuk memproduksi baterai kendaraan listrik yang pada akhirnya tetap membawa masalah lingkungan dan konflik sosial. Tanpa perhatian yang cukup pada lingkungan dan masyarakat, hilirisasi nikel akan tetap berkontribusi pada degradasi lahan, deforestasi, dan konflik antarmanusia.
”Kita bisa saja memproduksi energi yang minim emisi, tetapi dengan masalah baru. Bahkan, mungkin kalau seperti ini terus, pada satu titik nanti kita juga akan memproduksi karbon yang sama banyaknya,” katanya dalam seminar yang digelar saat Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) Ke-2, di Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Valerie mengingatkan, ekonomi bukan segalanya. Banyak negara yang terjebak dalam aspek produksi, strategi menarik investasi sebanyak-banyaknya, sehingga mempertaruhkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola pemerintahan yang baik (environmental, social, and governance/ESG).
”Apa pun sumber energinya, akan tetap destruktif jika prosesnya memakai cara-cara eksploitatif yang sama dengan energi fosil selama ini. Ini memang bukan pandangan mainstream, tetapi ekonomi bukan Tuhan, ekonomi bukan segalanya,” katanya.
Hal ini yang diharapkan tidak terlupakan dalam proses transisi energi melalui berbagai skema pendanaan yang kini sedang digodok oleh pemerintah dengan sejumlah donatur dan peminjam.
Salah satunya skema pembiayaan lewat Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (JETP) senilai 20 miliar dollar AS yang kini sedang dinegosiasikan ulang. Beberapa poin dalam dokumen perencanaan investasi yang dibahas ulang itu termasuk mitigasi dampak kepada warga dan pekerja yang bisa kehilangan lapangan kerja akibat proses transisi energi tersebut.
”Kata just atau adil itu tidak bisa hanya jadi dekorasi atau retorika yang manis. Ini harus menjadi perhatian utama,” kata Valerie.
Wakil Ketua Sekretariat JETP Paul Butar-butar mengatakan, salah satu aspek yang membuat pemerintah menunda peluncuran dokumen rencana investasi JETP (CIPP) adalah kebutuhan untuk menegosiasikan ulang isi dokumen tersebut, termasuk aspek transisi energi yang berkeadilan dalam skema pembiayaan oleh negara-negara maju tersebut.
Selain komposisi pendanaan yang lebih ”adil” melalui porsi dana hibah yang lebih besar, pemerintah juga tidak ingin mengulangi masalah yang sama dengan rencana investasi JETP Afrika Selatan, yang dinilai kurang memperhatikan pekerja dan warga terdampak. ”Transisi yang just itu nanti akan diatur di salah satu chapter di dokumen rencana investasi,” kata Paul.
Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Kiki Verico mengatakan, pemerintah tidak bisa lagi mengabaikan aspek keberlanjutan dan dampak lingkungan dalam proses transisi energi. Negara yang tidak memenuhi standar keberlanjutan dan ESG akan sulit menembus rantai pasok global dan mengekspor beragam produknya.
Menurut dia, isu ekonomi, lingkungan, dan sosial saling berkaitan. Ada hitung-hitungan keuntungan ekonomi yang bisa didapat di balik komitmen suatu negara untuk mengembangkan transisi energi yang kredibel dan tidak sebatas green washing.
”Ini juga ujung-ujungnya berkaitan dengan revenue karena sia-sia kalau kita produksi, tetapi mengabaikan lingkungan. Kita jadi sulit mau mengekspor produk ke luar karena negara-negara maju akan menetapkan standar ESG sebagai syarat untuk masuk ke pasar mereka,” kata Kiki.
Kajian Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan, jika negara-negara ASEAN tidak berkomitmen mengatasi perubahan iklim, akan terjadi penurunan produk domestik bruto (PDB) hingga 30 persen pada 2050. Menurut Kiki, ini pesan kuat yang mulai menyadarkan negara-negara berkembang untuk menyesuaikan standarnya dengan dunia.
Itu bukan hanya tanggung jawab dari negara-negara berkembang yang menjadi destinasi investasi, tetapi juga negara-negara maju selaku investor yang menanamkan modalnya di ASEAN. ”Intervensi pemerintah, baik secara lokal maupun inter-regional, memainkan peran penting dan kita saat ini sudah di jalur yang tepat,” katanya.