Standar Perhitungan Elektrifikasi Dinilai Tak Lagi Relevan
Rasio elektrifikasi telah menembus angka 99 persen. Meski terus meningkat, standar pengukuran tersebut dinilai belum menggambarkan kualitas listrik yang diterima oleh masyarakat luas.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Standar penyaluran tenaga listrik atau elektrifikasi ke sejumlah wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah perlu ditinjau ulang. Sebab, perhitungan rasio elektrifikasi dinilai tidak menggambarkan kualitas listrik yang dapat menunjang produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, rasio elektrifikasi merupakan perbandingan jumlah rumah tangga berlistrik dengan jumlah rumah tangga secara keseluruhan. Jumlah rumah tangga berlistrik ini mencakup elektrifikasi, baik oleh Perusahaan Listrik Negara atau PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN maupun oleh pihak non-PLN.
Manajer Program Akses Energi Berkualitas Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum, Selasa (22/8/2023), menjelaskan, definisi berlistrik dalam rasio elektrifikasi secara spesifik hanya merujuk pada sumber penerangan. Artinya, rumah tangga berlistrik ini hanya menerima akses listrik selama empat jam dan sebatas untuk penerangan.
"Jadi, definisi ini (elektrifikasi) perlu diperbarui karena hanya mencakup sumber penerangan saja itu sudah dianggap berlistrik. Padahal, berlistrik ini menjadi sebuah layanan dasar yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan juga akses-akses terhadap layanan dasar lain, seperti kesehatan, pendidikan, dan informasi," katanya dalam webinar bertajuk Road to Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023: Transisi Energi dalam Pemerataan Elektrifikasi.
Lebih lanjut, rasio elektrifikasi dinilai tidak menggambarkan spektrum kualitas layanan listrik yang diterima oleh masyarakat, terutama terkait aksesibilitas, keandalan atau durasi listrik, dan kapasitas listrik. Sebagai perbandingan, Bank Dunia dan Energy Sector Management Assistance Program (ESMAP) pada Juni 2015 mengeluarkan multi-tier framework (MTF) sebagai standar pengukuran akses energi.
MTF tersebut memiliki parameter multidimensi yang mengedepankan aspek kualitas layanan dari sudut pengguna (end user). Terdapat tujuh aspek penilaian dasar yang menjadi parameter kualitas, yakni kapasitas, durasi, keandalan, kualitas listrik, keterjangkauan, legalitas, dan keamanan. Dari parameter ini, elektrifikasi diklasifikasikan ke dalam lima tingkat (tier) untuk menggambarkan kualitas elektrifikasi.
Pada tahun 2019, IESR melakukan asesmen atas kualitas elektrifikasi di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan pendekatan MTF. Hasilnya, kualitas elektrifikasi di NTB dan NTT berada rata-rata pada tingkat I dan II. Artinya, sekalipun telah terelektrifikasi, listrik di wilayah tersebut tidak tersedia selama 24 jam dan terbatas untuk alat elektronik berdaya rendah.
Daerah-daerah yang terisolir ini sangat sulit untuk dijangkau. Tantangan yang kami hadapi terutama dalam hal akses, seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan atau dermaga. Maka dari itu, kami turut bersinergi dengan pemerintah daerah dalam pengembangan infrastruktur untuk mempermudah akses.
"Oleh sebab itu, perlu didorong penggunaan metode evaluasi yang turut mengintegrasikan pengalaman dan sudut pandang pengguna mengenai layanan listrik. Hal ini membutuhkan kerja sama antara kementerian/lembaga, termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah," imbuh analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR Alvin Putra Sisdwinugraha.
Dalam tujuh tahun terakhir, rasio elektrifikasi nasional terus meningkat dari 88,3 persen pada 2015 menjadi 99,63 persen pada 2022 atau bertumbuh 11,33 persen. Berdasarkan data PLN, rasio elektrifikasi per Juni 2023 tercatat menjadi 99,72 persen atau tumbuh 0,09 persen dibandingkan tahun 2022.
Lebih lanjut, sejumlah 0,28 persen wilayah yang belum terlektrifikasi ini mayoritas berada di Indonesia bagian timur, terutama wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Oleh sebab itu, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2023, PLN memasukkan 232 daerah sebagai lokasi prioritas dan pusat kawasan strategis nasional, serta sejumlah 42 pulau-pulau kecil terluar dalam perencanaan listrik perdesaan.
Vice President Pengembangan Listrik Pedesaan (Lisdes) dan Sistem Isolated PLN Lambas Richard Pasaribu menambahkan, elektrifikasi terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pihaknya tidak memungkiri jika masih perlu dilakukan berbagai upaya agar akses listrik dapat merata, termasuk ke wilayah terisolir dan terpencil.
"Daerah-daerah yang terisolir ini sangat sulit untuk dijangkau. Tantangan yang kami hadapi terutama dalam hal akses, seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan atau dermaga. Maka dari itu, kami turut bersinergi dengan pemerintah daerah dalam pengembangan infrastruktur untuk mempermudah akses," ujarnya.
Terkait dengan pendekatan MTF sebagai metode untuk mengukur elektrifikasi, Lambas menyampaikan, pihaknya baru mengetahui informasi tersebut dan akan mempelajarinya lebih lanjut. Adapun perhitungan rasio elektrifikasi oleh PLN dan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama ini mengacu pada PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Walakin, Lambas menambahkan, PLN tetap melakukan pengawasan wilayah-wilayah yang kelistrikannya belum beroperasi selama 24 jam. Wilayah tersebut terutama meliputi pulau-pulau terpencil dan wilayah pegunungan yang tidak terhubung dengan jaringan PLN (off grid).
"Memang butuh waktu (untuk bisa membuat listrik beroperasi selama 24 jam). Kami sudah siapkan peta jalannya dan tentunya butuh penganggaran untuk biaya operasi dan investasinya," ucap Lambas.
Sementara itu, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Mardiana menilai, terdapat empat indikator yang perlu diperhatikan dalam program elektrifikasi. Indikator tersebut tampak dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 terkait Capaian Kinerja Indikator Prioritas Nasional Ketenagalistrikan.
"Tingkat konsumsi listrik per kapita nasional, rasio elektrifikasi, jumlah produksi tenaga listrik, dan kapasitas terpasang energi terbarukan kumulatif masih jauh di bawah target yang telah ditetapkan. Padahal, listrik ini berpengaruh terhadap perekonomian dan pembangunan," tuturnya.
Transisi energi
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Subbidang Energi Baru memberikan peluang bagi pemerintah daerah dalam mengelola energi terbarukan. Hal ini juga menjadi landasan hukum bagi pemerintah daerah untuk mengelola listrik dan energi di masing-masing daerah.
Marlistya memaparkan, pengembangan energi terbarukan dapat menjadi alternatif untuk wilayah-wilayah yang selama ini sulit terjangkau akses listrik. Sebab, energi terbarukan memilki bersifat terdesentralisasi atau tersebar berdasarkan potensi yang ada di masing-masing wilayah.
"Energi terbarukan dalam proses transisi energi memungkinkan kita untuk mengupayakan sendiri sumber energi yang hendak dipakai. Kalau sekarang dominan sumbernya berasal dari PLN, energi terbarukan dan teknologi energi bersih berkelanjutan memungkinan kita bisa membangkitkan sendiri energi yang akan dipakai," katanya.