Tenaga Kerja Transisi Energi di Indonesia Menantang
Sejalan dengan tekanan transisi energi, di Indonesia pun mulai bermunculan lowongan pekerjaan hijau ataupun lowongan pekerjaan yang mensyaratkan pekerja punya keterampilan hijau.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program transisi energi Indonesia, yakni mengurangi pemakaian energi fosil dan memperbanyak penggunaan energi bersih, membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten. Di Indonesia, pemenuhan kebutuhan sumber daya tersebut masih menantang dan membutuhkan rencana program yang jelas ke depan.
Direktur Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Mahatmi Parwitasari, Jumat (11/8/2023), di Jakarta mengatakan, pihaknya sedang menyusun Peta Jalan Pengembangan Lapangan Kerja Hijau. Tiga faktor melatarbelakangi penyusunan peta jalan ini. Pertama adalah ekonomi hijau yang menjadi salah satu komponen pengungkit transformasi ekonomi sehingga diperkirakan lapangan kerja hijau (green jobs) akan meningkat. Kedua, lapangan kerja hijau selama ini masih belum banyak diterjemahkan ke dalam kebijakan.
”Apa saja yang harus disiapkan untuk mengisinya (green jobs) dan bagaimana ekosistem pengembangan keterampilan hijau bisa disiapkan, itu yang harus diterjemahkan dalam kebijakan,” ujar Mahatmi.
Adapun faktor ketiga yang mendorong penyusunan peta jalan, lanjut Mahatmi, adalah seluruh pemangku kepentingan, termasuk kementerian/lembaga, harus berjalan sinergis untuk menciptakan sumber daya manusia yang kompeten mengisi lapangan kerja hijau tersebut.
”Kami sedang berupaya untuk memperkuatnya (dengan penyusunan Peta Jalan Pengembangan Lapangan Kerja Hijau) melalui regulasi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini bisa diputuskan,” kata Mahatmi.
LinkedIn melalui laporan risetnya yang bertajuk ”Global Green Skills Report 2023” menyebutkan, sejak Maret 2020, pekerja dengan keterampilan hijau telah dipekerjakan untuk pekerjaan baru di tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki keterampilan hijau di setiap negara yang diteliti. Kemudian, antara 2018 dan 2023, talenta yang memiliki green skills tumbuh 5,4 persen per tahun dan pekerjaan yang membutuhkan setidaknya satu green skills tumbuh 9,2 persen per tahun.
Di negara-negara Eropa seperti Islandia, Denmark, Prancis, dan Spanyol, lebih dari 2 persen anggota LinkedIn di sana bekerja di energi terbarukan dan sekitar 1 persen atau kurang bekerja di industri terkait bahan bakar fosil. Di Arab Saudi dan Indonesia, sebaliknya, lebih dari 5 persen anggota LinkedIn bekerja di industri terkait bahan bakar fosil dan kurang dari 1 persen bekerja di energi terbarukan.
Dalam ”Global Green Skills Report 2023”, LinkedIn turut menemukan bahwa keterampilan STEM (science, technology, engineering, and math) berada di urutan teratas persyaratan green jobs. Sebab, pekerjaan ramah lingkungan membutuhkan dasar-dasar sains dan matematika.
Dari sisi perekrutan di Indonesia, LinkedIn dalam laporan yang sama mencontohkan kondisi pekerjaan analis energi, agronomi, dan manajer berkelanjutan pada tahun 2022. Persentase perekrutan analis energi tanpa pengalaman hijau mencapai 40 persen pada 2022 atau tumbuh 24,6 persen dibandingkan 2021. Kemudian, persentase perekrutan agronomi tanpa pengalaman hijau mencapai 35,1 persen atau tumbuh 37,3 persen secara tahunan. Adapun persentase perekrutan manajer berkelanjutan mencapai 21,6 persen atau tumbuh 19 persen dibandingkan 2021.
Menurut Country Marketing Manager JobStreet by Seek untuk Indonesia Sawitri Hertoto, saat ini terdapat lebih dari 3.500 lowongan pekerjaan bidang lingkungan. Hanya 1 persen di antaranya menyebutkan adanya kebutuhan pekerjaan untuk industri berkelanjutan. Ia mengatakan, realitas ini mengindikasikan bahwa green jobs sudah berkembang, tetapi belum diimbangi dengan permintaan green skills secara khusus.
Sawitri menambahkan, di Indonesia, tren green skills dan green jobs berjalan mirip dengan tren global. Dengan meningkatnya kesadaran tentang perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ekonomi berkelanjutan, perusahaan-perusahaan membutuhkan karyawan yang memiliki pemahaman tentang praktik industri berkelanjutan.
”Kami memandang adanya potensi kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki oleh calon tenaga kerja dan permintaan pasar tenaga kerja. Ini dapat terjadi karena kurangnya pelatihan dan pendidikan formal yang mencakup aspek-aspek berkelanjutan untuk mendukung green skills, serta karena perubahan cepat dalam teknologi dan praktik industri berkelanjutan,” katanya.
Masalah keterampilan
Sementara itu, Head of People Development Xurya Adriani Fabiola mengakui adanya tantangan mengisi suplai green skills. Untuk mengatasi tantangan ini, internal Xurya mengembangkan pelatihan green skills. Perusahaan juga mengimplementasikan budaya berpikir ramah lingkungan (green mind) bagi semua karyawan. Dalam lima tahun terakhir, perusahaan bahkan memberikan penghargaan bagi karyawan yang aktif berpartisipasi dalam budaya tersebut.
“Untuk engineering, 86 persen karyawan kami di bidang itu merupakan lulusan dalam negeri dan sisanya dari luar negeri. Kami sadar bahwa green skills itu masih sedikit di Indonesia sehingga kami yang akhirnya membangun keterampilan itu secara internal,” kata Adriani.
Pada saat proses perekrutan karyawan, imbuh Adriani, apabila calon karyawan mempunyai hasrat dan ketertarikan tinggi di bidang energi terbarukan, perusahaan akan memprioritaskan mereka kendati yang bersangkutan belum banyak memiliki green skills. Pada bulan-bulan awal setelah bergabung, perusahaan akan memberikan pelatihan sesuai kurikulum yang sudah disusun oleh perusahaan.
Direktur Program Khakis Indonesia Verena Puspawardani menambahkan, pembicaraan green skills dan green jobs mulai naik karena ada program transisi energi. Diskusi semakin santer selama pandemi Covid-19 dan tren global yang semakin mengarah ke ekonomi hijau untuk pemulihan pascapandemi. Pada saat bersamaan, Indonesia juga masih memiliki bonus demografi.
Menurutnya, pemerintah memang harus menyiapkan kebijakan terkait green skills supaya suplai dan permintaan tenaga kerja dari industri yang semakin mengarah ke lingkungan berkelanjutan bisa berjalan seimbang. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bisa berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Bappenas untuk menyiapkan kebijakan tersebut.
“Green skills bersifat multilayer. Sebagai gambaran, di sektor energi, layer green skills mencakup mulai teknisi, peneliti, tenaga ahli, hingga penyusun kebijakan. Bahkan, teknisi sampai ke tingkat daerah juga sebenarnya butuh green skills,” ujar Verena.
Verena juga berpendapat, untuk mengatasi masih adanya kesenjangan suplai dan permintaan green skills, sejumlah perusahaan perlu ambil bagian. Misalnya, dalam bentuk reskilling (pelatihan kemampuan baru bagi karyawan sebagai bekal mereka untuk posisi berbeda dalam organisasi) dan upskilling (pelatihan untuk meningkatkan kemampuan yang sudah dimiliki karyawan untuk perubahan besar dalam posisi mereka saat ini).