Tantangan Rumit Mengerek Penerimaan Pajak
Upaya mencapai target penerimaan perpajakan tahun 2024 diperkirakan tidak mudah di tengah berbagai tantangan. Untuk mengejar target pertumbuhan penerimaan sebesar 8,9 persen itu, dibutuhkan upaya ekstra dari pemerintah.
Aktivitas pelayanan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru, Selasa (9/3/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Pencapaian target penerimaan perpajakan pada tahun 2024 diperkirakan bakal menghadapi tantangan rumit secara domestik dan global. Di tengah dinamika tahun politik, upaya mendongkrak pendapatan lewat terobosan kebijakan yang reformatif juga lebih kompleks karena perlu dinavigasi secara berhati-hati.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah memasang target penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.307,8 triliun atau tumbuh 8,9 persen dibandingkan proyeksi (outlook) di APBN 2023 yang sebesar Rp 2.118,3 triliun.
Hal itu terdiri dari target penerimaan pajak sebesar Rp 1.986,8 triliun (tumbuh 9,3 persen dari tahun 2023) dan penerimaan kepabeanan dan cukai pada RAPBN 2024 yang diproyeksikan Rp 320,9 triliun (tumbuh 7,0 persen dari tahun 2023).
Baca juga: Target Ekonomi Berat di Tahun Terakhir Menjabat
Meski demikian, upaya untuk mencapai target penerimaan perpajakan tahun 2024 itu tidak akan mudah. Dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2024, pemerintah memetakan sejumlah tantangan yang berpotensi menahan capaian pendapatan perpajakan.
Pertama, ketidakpastian kondisi ekonomi global akibat konflik geopolitik dan berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter. Volatilitas harga komoditas yang muncul di tengah ketidakpastian itu berpotensi menekan pendapatan negara, seperti yang saat ini sudah mulai terjadi dengan tren melambatnya laju penerimaan pajak.
Kedua, meningkatnya informalitas ekonomi domestik dan ekonomi bayangan (shadow economy) yang berpotensi mempersempit basis perpajakan, mengurangi kepatuhan, dan menekan potensi penerimaan. Ini karena sektor informal belum sepenuhnya teridentifikasi dan terdata dalam sistem perpajakan.
Ketiga, efek samping dari pemberian insentif perpajakan yang cukup masif digelontorkan pemerintah sejak pandemi juga bisa mengurangi penerimaan perpajakan. Dampak berbagai insentif fiskal itu umumnya baru terlihat dalam jangka menengah-panjang, tetapi akan menekan penerimaan negara dalam jangka pendek.
Upaya untuk mencapai target penerimaan perpajakan tahun 2024 itu tidak akan mudah.
Berhati-hati
Menurut peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fairy Akbar, target penerimaan pajak yang dipasang pemerintah tahun depan sebenarnya masih masuk akal. Namun, untuk mengejarnya, dibutuhkan upaya ekstra dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
”Penerimaan perpajakan tahun depan bukan tanpa tantangan. Di sisi makro, kita dihadapkan pada ekonomi dunia yang terfragmentasi dengan adu kebijakan Amerika Serikat dan China. Itu akan berdampak pada ekonomi kita yang sangat bergantung pada China dalam hal perdagangan internasional,” kata Fajry saat dihubungi, Jumat (18/8/2023).
Upaya mengerek penerimaan perpajakan lewat terobosan kebijakan reformasi perpajakan dan optimalisasi penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga dinilainya akan lebih sulit pada tahun depan.
Sebab, di tengah momen pemilihan umum, langkah terobosan seperti ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan akan lebih berhati-hati dilakukan pemerintah agar tidak membebani masyarakat dan sektor usaha selaku wajib pajak.
Di sisi lain, melihat data historis, konsumsi masyarakat yang tergerak pada masa pemilu juga tidak selalu mendukung peningkatan penerimaan pajak yang konsisten di tahun yang bersangkutan.
Baca juga: Penerimaan Negara Melambat, Saatnya Pajak Ekspor Turunan Nikel Diterapkan
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah tidak punya banyak pilihan untuk mengerek penerimaan perpajakan tahun depan sesuai target, selain memaksimalkan upaya ekstra dari otoritas pajak.
”Mempertimbangkan tahun pemilu, akan sulit melakukan terobosan. Melihat kinerja penerimaan pajak yang beberapa bulan terakhir ini terus menurun, tampaknya extra effort otoritas pajak akan menjadi kunci untuk meraih target penerimaan,” ujar Fajry.
Mengejar kepatuhan
Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, salah satu upaya ekstra yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengejar target penerimaan pajak di tengah berbagai keterbatasan itu adalah melakukan pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan penyidikan, untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
”Ketika wajib pajak memiliki kesadaran pajak, mereka secara umum akan lebih patuh membayar pajak secara sukarela. Namun, untuk mengejar kepatuhan itu, pemerintah melalui DJP harus punya strategi berjenjang untuk menegakkan aturan dengan pendekatan enforced tax compliance,” kata Prianto.
Strategi berjenjang itu harus disesuaikan dengan status kepatuhan wajib pajak. Untuk wajib pajak yang belum bisa patuh, tetapi sudah ada keinginan untuk patuh, perlu diberikan konseling lebih masif. Bagi wajib pajak yang menunjukkan indikasi tidak patuh, diberikan surat teguran atau surat permintaan penjelasan atas data/keterangan (SP2DK).
Di tengah momen pemilihan umum, langkah terobosan seperti ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan akan lebih berhati-hati dilakukan.
Sementara bagi wajib pajak yang memutuskan untuk tidak patuh, perlu ditindak lewat penegakan hukum yang lebih tegas. Menurut dia, upaya penindakan ini akan lebih mudah dilakukan dengan adanya Core Tax Administration System atau sistem data terpadu informasi perpajakan yang sedang dikembangkan pemerintah.
”Tetapi, untuk kesiapan sistem ini sepertinya juga molor dari target karena seharusnya diterapkan Oktober tahun ini, tetapi pemerintah menyebut bahwa sistem itu baru akan berjalan tahun depan,” katanya.
Sebelumnya, dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2024 di Jakarta, Rabu (16/8/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, target pertumbuhan penerimaan perpajakan yang lebih tinggi dari target pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa membesarkan rasio pajak (tax ratio). Rasio pajak adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap nominal produk domestik bruto.
Untuk itu, berbagai langkah reformasi sesuai UU HPP akan tetap dilanjutkan, seperti penerapan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP), ekstensifikasi wajib pajak bagi masyarakat super kaya, implementasi sistem core tax, dan pemanfaatan forensik digital perpajakan.
Insentif fiskal juga akan dilakukan secara lebih terarah dan terukur agar tidak menggerus potensi pendapatan. ”Pemerintah akan terus melakukan monitoring dan evaluasi dampak pemberian insentif perpajakan terhadap berbagai sektor usaha,” katanya.