Presiden: Hilirisasi Mungkin Pahit, tetapi Akhirnya Berbuah Manis
Pemerintah akan melanjutkan kebijakan hilirisasi ke komoditas nonmineral, seperti sawit, rumput laut, dan kelapa. Lewat hilirisasi, pendapatan per kapita RI diperkirakan bisa melompat dua kali lipat dalam 10 tahun.
Presiden Joko Widodo menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam rangka Peringatan HUT Ke-78 RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (16/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya melanjutkan kebijakan hilirisasi sumber daya alam, yang ke depan akan diperluas hingga komoditas nonmineral. Meskipun mengakui hilirisasi terasa ”pahit” untuk jangka pendek, pada akhirnya kebijakan itu akan berbuah manis bagi perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Presiden menyampaikan hal tersebut dalam Pidato Kenegaraan dalam rangka Peringatan HUT Ke-78 RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (16/8/2023). Turut hadir pada kesempatan itu semua pimpinan lembaga legislatif, pimpinan kementerian/lembaga negara, pimpinan partai politik, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Di tengah kritik dan perdebatan hangat mengenai kebijakan hilirisasi mineral yang akhir-akhir ini mengemuka, Presiden mengatakan, berkah kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia saja tidak cukup sebagai modal membangun perekonomian nasional yang bernilai tambah.
”Jadi, pemilik saja tidak cukup karena itu akan membuat kita menjadi bangsa pemalas yang hanya menjual bahan mentah kekayaannya, tanpa nilai tambah, tanpa keberlanjutan,” katanya.
Oleh karena itu, pemerintah akan memastikan kebijakan hilirisasi SDA terus dilanjutkan. Tidak hanya untuk komoditas mineral dan tambang seperti sekarang, tetapi diperluas hingga komoditas nonmineral, seperti sawit, rumput laut, kelapa, dan komoditas potensial lainnya.
Presiden mengakui, hilirisasi pada awalnya mungkin akan ”pahit” bagi eksportir bahan mentah. Hilirisasi juga mungkin akan pahit bagi pendapatan negara dalam jangka pendek. Namun, ia menjanjikan hilirisasi akan membawa manfaat yang besar bagi perekonomian nasional. Hilirisasi juga akan mendorong produktivitas nasional dan membuka lapangan kerja yang luas.
”Jika ekosistem besarnya sudah terbentuk, jika pabrik pengolahan sudah beroperasi, saya pastikan ini akan berbuah manis pada akhirnya, terutama bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia,” kata Presiden.
Tumbuh pesat
Ia mencontohkan, setelah pemerintah menghentikan ekspor nikel ore pada tahun 2020, investasi hilirisasi nikel tumbuh pesat hingga kini terdapat 43 pabrik pengolahan nikel. Sementara jika pemerintah melanjutkan hilirisasi untuk nikel, tembaga, bauksit, CPO, dan rumput laut, dalam 10 tahun, pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan akan naik dari Rp 71 juta pada tahun 2022 menjadi Rp 153 juta.
Sementara, dalam 15 tahun, pendapatan per kapita akan mencapai Rp 217 juta, dan dalam 22 tahun mencapai Rp 331 juta. ”Artinya, dalam 10 tahun, lompatannya bisa dua kali lipat lebih, di mana fondasi untuk menggapai itu semua sudah kita mulai dengan pembangunan infrastruktur dan konektivitas yang pada akhirnya menaikkan daya saing kita,” kata Presiden.
Ke depan, untuk memastikan hilirisasi memiliki dampak domino (multiplier) yang besar bagi masyarakat, hilirisasi akan diarahkan pada komoditas yang mengoptimalkan kandungan lokal serta bermitra dengan usaha mikro kecil menengah (UMKM) petani dan nelayan. ”Supaya manfaatnya bisa terasa langsung bagi rakyat kecil,” ujarnya.
Akhir-akhir ini, kebijakan hilirisasi memang tengah menjadi sorotan. Kritik disampaikan oleh beberapa pihak, salah satunya ekonom senior Faisal Basri yang menyebut hilirisasi nikel lebih banyak menguntungkan negara lain, seperti China, sementara Indonesia hanya mendapat manfaat sekitar 10 persen.
Mengubah ”mindset”
Pada kesempatan yang sama, Ketua MPR Bambang Soesatyo juga menyoroti tentang pentingnya kebijakan hilirisasi untuk memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Bambang mengatakan, belajar dari sejarah, pembangunan nasional Indonesia masih bergantung pada komoditas sumber daya alam mentah, seperti minyak, gas alam, dan batubara.
Namun, ketika krisis melanda, kekayaan alam yang besar itu tetap tidak berdaya untuk mengerek perekonomian Indonesia. Ia pun mengapresiasi kebijakan hilirisasi mineral yang telah digencarkan pemerintah, khususnya sejak tahun 2020 yang ditandai dengan pelarangan ekspor bijih nikel atau nikel ore.
Meski demikian, untuk memastikan kebijakan itu berjalan efektif, diperlukan perubahan sudut pandang pembangunan oleh setiap sektor dan pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku bisnis, maupun masyarakat.
Paradigma membangun nilai tambah perekonomian itu juga harus diiringi dengan peningkatan kualitas industri nasional untuk melakukan pengolahan SDA dari hulu ke hilir, sebagaimana yang saat ini sudah diawali dengan hilirisasi mineral, seperti emas, bauksit, nikel, tembaga, dan bijih besi. ”Kebijakan ini menunjukkan konsistensi pemerintah terhadap upaya meningkatkan kualitas industri nasional,” katanya.
Pembangunan ekonomi saat ini juga dinilainya masih menghadapi problem pemerataan. Ia menyoroti posisi Indonesia sebagai pemilik SDA terbesar dunia, seperti nikel, batubara, emas, tembaga, dan gas alam. Namun, belum semua menikmati kekayaan itu.
”Masih ada warga negara yang belum sepenuhnya menikmati kekayaan alam tersebut. Kita berterima kasih kepada pemerintah yang telah bekerja keras mengurangi angka kemiskinan, tetapi upaya ini perlu terus-menerus ditingkatkan dengan memastikan penguasaan negara atas kekayaan alam,” ujar Bambang.