Besi baja dan produk turunan nikel mampu menopang kinerja ekspor Juli 2023 di tengah penurunan harga komoditas ekspor global. Di sisi lain, surplus neraca dagang semakin menyempit dan akan memengaruhi transaksi berjalan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produk hilirisasi, seperti besi baja dan produk turunan nikel, mampu menopang kinerja positif ekspor di tengah penurunan harga komoditas ekspor unggulan Indonesia. Meskipun demikian, tren penurunan surplus neraca perdagangan tetap tidak bisa dihindari.
Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (15/8/2023), merilis, total ekspor migas dan nonmigas pada Juli 2023 senilai 20,88 miliar dollar AS. Nilai ekspor itu tumbuh tipis 1,36 persen secara bulan dan terkontraksi atau tumbuh minus 18,03 persen secara tahunan.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, kinerja ekspor secara bulanan meningkat terutama didorong kenaikan nilai ekspor besi baja dan produk turunan nikel. Nilai ekspor besi baja dan produk turunan nikel masing-masing naik sebesar 47,33 persen dan 43,29 persen.
Khusus nikel, yang merupakan salah satu komoditas program hilirisasi pemerintah, nilai ekspornya meningkat tajam. Nilai ekspor komoditas berkode klasifikasi barang (HS) 75 tersebut pada Januari-Juli 2023 mencapai 4,03 miliar dollar AS atau tumbuh 35,49 persen.
”Jika dibandingkan dengan 2015, nilai ekspor nikel dan produk turunannya itu naik sekitar 4 miliar dollar AS atau lima kali lipatnya,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Jika dibandingkan dengan 2015, nilai ekspor nikel dan produk turunannya itu naik sekitar 4 miliar dollar AS atau lima kali lipatnya.
Meskipun demikian, lanjut Amalia, nilai ekspor secara tahunan justru turun cukup dalam. Hal itu seiring dengan penurunan harga komoditas ekspor unggulan Indonesia, seperti minyak sawit (CPO) dan batubara.
BPS mencatat, batubara yang berkontribusi sebesar 12,98 persen terhadap total ekspor Juli 2023 nilai ekspornya turun 4,36 persen secara bulanan dan 46,12 persen secara tahunan. CPO yang kontribusinya sebesar 11,59 persen, nilai ekspornya juga turun 1,51 persen secara bulanan dan 19,25 persen secara tahunan.
Per Juli 2023, nilai impor migas dan nonmigas meningkat cukup signifikan sebesar 14,10 persen secara bulanan menjadi 19,57 miliar dollar AS. Hal itu membuat neraca perdagangan pada bulan tersebut hanya surplus 1,31 miliar dollar AS.
Meskipun telah mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 39 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, surplus tersebut kian mengecil. Per Juli 2023, surplus tersebut turun 2,24 persen secara bulanan dan 2,82 persen secara tahunan.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Irman Faiz mengatakan, kontraksi ekspor masih berlanjut sebagai dampak dari penurunan harga komoditas. Sebaliknya, impor justru naik bertahap seiring dengan peningkatan aktivitas industri di dalam negeri.
Tren penurunan ekspor dan kenaikan impor tersebut akan membuat surplus neraca perdagangan semakin menyempit. Hal itu bakal memengaruhi penurunan neraca transaksi berjalan hingga akhir tahun ini.
”Kami memperkirakan neraca transaksi berjalan pada 2023 akan defisit sebesar 0,4 persen dari produk domestik bruto (PDB),” ujarnya.
Tren penurunan ekspor dan kenaikan impor tersebut akan membuat surplus neraca perdagangan semakin menyempit. Hal itu bakal memengaruhi penurunan neraca transaksi berjalan hingga akhir tahun ini.
Bank Indonesia mencatat, pada triwulan I-2023, neraca transaksi berjalan Indonesia surplus sebesar 3,0 miliar dollar AS atau 0,9 persen dari PDB. Surplus tersebut melanjutkan capaian neraca transaksi berjalan pada triwulan IV-2022 yang surplus sebesar 4,2 miliar dollar AS atau 1,3 persen dari PDB.
Irman menambahkan, dalam waktu dekat, pelemahan neraca berjalan diperkirakan akan memberikan tekanan pada rupiah mengingat ketidakpastian keuangan global semakin menguat. Pada triwulan III-2023, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dollar AS diperkirakan sebesar Rp 15.352. Hal itu mencerminkan kemungkinan depresiasi lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang.
RI dan Peru
Untuk menumbuhkan pasar ekspor ke depan, Indonesia memperkuat kemitraan dengan sejumlah negara pasar ekspor tradisional. Salah satunya dengan membuat perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Peru (IP CEPA). IP CEPA diluncurkan Menteri Perdagangan RI Zulkifli Hasan dan Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Pariwisata Peru Juan Carlos Mathews Salazar secara virtual pada Selasa (15/8/2023).
Zulkifli menuturkan, IP CEPA merupakan salah satu upaya pemerintah meningkatkan ekspor ke pasar ekspor nontradisional. IP CEPA diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi Indonesia dan Peru, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di kawasan Asia dan Amerika Selatan.
”Kami sepakat menargetkan perundingan IP CEPA putaran pertama pada akhir tahun ini. Indonesia berharap perundingan perdagangan barang dalam IP CEPA dapat kelar dalam setahun,” tuturnya melalui siaran pers.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada Januari-Mei 2023, nilai ekspor nonmigas RI ke Peru sebesar 158,4 juta dollar AS, sedangkan nilai impor RI dari Peru 33,3 juta dollar AS. Dalam lima tahun terakhir (2018-2022), RI selalu membukukan surplus perdagangan dengan Peru dengan tren surplus sebesar 21,8 persen.
Pada 2022, ekspor RI ke Peru mencapai 442,7 juta dollar AS dan impor RI dari Peru 11,8 juta dollar AS. Produk ekspor utama Indonesia ke Peru, antara lain, kendaraan bermotor, alas kaki, pupuk mineral, biodiesel, dan tisu. Adapun komoditas impor utama RI dari Peru adalah biji cokelat, pupuk mineral, batubara, anggur, dan ekstrak sayuran.