ASEAN Diharapkan Jadi Hub Industri Manufaktur Panel Surya
ASEAN dinilai berpotensi menjadi ”solar manufacturing hub” karena sejumlah negara di ASEAN mengembangkan hal itu meski masih terbatas di ”cell” dan modulnya. Adapun Indonesia memiliki pasir silika sebagai bahan bakunya.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Besarnya potensi energi surya di Indonesia dan negara-negara lain di ASEAN diharapkan bisa memicu pertumbuhan industri manufaktur panel surya terintegrasi di kawasan itu. Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia didorong untuk mencetuskan inisiasi tersebut dalam pertemuan-pertemuan baik di tingkat menteri maupun pemimpin negara.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengemukakan usul tersebut dalam diskusi ”Menakar Ambisi Iklim Asia Tenggara di bawah Keketuaan Indonesia pada ASEAN 2023” yang diselenggarakan oleh IESR di Jakarta, Selasa (15/8/2023). ASEAN diharapkan jadi hub produsen teknologi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang terintegrasi.
Menurut Fabby, hal itu penting karena dalam berbagai skenario jangka panjang transisi energi di ASEAN, PLTS diproyeksikan berkontribusi secara signifikan. ”Apabila panas bumi hanya ada di Indonesia dan Filipina (di ASEAN), energi surya ada di seluruh kawasan ASEAN,” katanya.
ASEAN berpotensi menjadi solar manufacturing hub karena sejumlah negara di Asia Tenggara telah mengembangkan hal itu kendati masih terbatas di cell dan modulnya, seperti di Vietnam dan Malaysia. Sementara Indonesia memiliki bahan baku untuk produksi sel surya, yakni hasil tambang berupa pasir silika.
”Di sinilah Indonesia bisa merekomendasikan hal tersebut menjadi kesepakatan bersama dan membangun rantai pasoknya. Dengan adanya kerja sama strategis dalam transisi energi, kami melihat ini sebagai mesin pertumbuhan untuk ASEAN. Tak hanya membangun energi terbarukan, tetapi juga industri energi terbarukan,” ujar Fabby.
Fabby mengusulkan agar inisiasi tersebut dibahas dalam Pertemuan Menteri-menteri Energi ASEAN (ASEAN Ministers on Energy Meeting) pekan depan. Apabila terlaksana, isu tersebut nantinya juga diharapkan dibawa ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-43 ASEAN yang akan berlangsung di Jakarta, 5-7 September 2023.
Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Kementerian Luar Negeri Berlianto Pandapotan Hasudungan menuturkan, saat ini memang masih ada keterbatasan dalam produksi panel surya di dalam negeri. Ia berharap hal itu dibahas di ASEAN Ministers on Energy Meeting dan nantinya rantai pasok dapat dikelola secara mandiri.
Sebelumnya, enam perusahaan hilir panel surya sudah mulai membangun pabrik di Kawasan Industri Wiraraja, Batam, Kepulauan Riau, dengan investasi Rp 12 triliun. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah sedang membangun rantai pasok industri itu, mulai dari pasir silika, membuat photovoltaic (panel surya), hingga membangun pembangkit listrik tenaga surya (Kompas.id 6/6/2023).
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga akhir 2022, realisasi kapasitas terpasang PLTS baru mencapai 271,6 megawatt (MW) atau di bawah rencana yang 893,3 MW. Adapun rencana kapasitas terpasang PLTS pada 2023 yaitu 432,6 MW.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Solar Summit 2023 di Jakarta, Rabu (26/7/2023), menyebut, Indonesia memiliki potensi sumber daya energi terbarukan lebih dari 3.600 gigawatt (GW). Lebih rinci, potensi energi surya mencapai lebih dari 3.200 GW, tetapi pemanfaatannya baru sekitar 200 MW.
”Oleh karena itu, langkah-langkah percepatan dibutuhkan Indonesia. ”Perlu percepatan untuk pemanfaatannya guna mencapai target bauran energi yang sudah ditetapkan,” kata Arifin dalam keterangannya.
Berlianto mengemukakan, inisiatif Indonesia terkait transisi energi dalam ASEAN adalah deklarasi pada pengembangan kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Hal tersebut telah diadopsi oleh sejumlah pemimpin negara di ASEAN pada KTT Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Mei 2023.
”Memang belum semua negara anggota ASEAN mengadopsi standar-standar, regulasi, serta pengembangan infrastruktur EV secara merata. Karena itu, kami meminta kepada ASEAN plus 3 negara (China, Jepang, dan Korea Selatan) untuk membantu pengembangannya. Diharapkan awal tahun (2024) bisa berlari kencang dalam rangka transisi energi serta menekan laju perubahan iklim,” tutur Berlianto.
Fabby menambahkan, Indonesia juga perlu memobilisasi dukungan negara-negara ASEAN terkait pengakhiran operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara. ”Kalau mau kompatibel dengan target (menahan kenaikan rata-rata suhu global) 1,5 derajat celsius, sebagian besar negara ASEAN harus phase out (penghapusan secara bertahap) PLTU sebelum tahun 2050, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Manajer Program Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia Agus Tampubolon menyatakan, kerja sama antarnegara anggota ASEAN penting dalam akselerasi transisi energi. Indonesia bisa memimpin transisi energi di ASEAN dengan leading by example.
”Negara-negara anggota ASEAN memiliki potensi besar dan kita bisa bekerja sama untuk rantai pasok PLTS, misalnya. Kita juga perlu memikirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan serta untuk meningkatkan target iklimnya,” kata Agus.