Peringkat Puncak Bukan Jaminan Geliat Aktivitas Industri
Proporsi responden pelaku industri yang menyatakan kegiatan usahanya meningkat malah melorot. Sebaliknya, responden yang menganggap kegiatan usahanya menurun justru naik.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kendaraan yang dipamerkan dalam pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2023 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (10/8/2023).
Di antara tujuh negara di kawasan Asia Tenggara, indeks yang menunjukkan tingkat ekspansi atau kontraksi aktivitas industri Indonesia berada di posisi teratas. Sayangnya, hal itu belum menjamin prospek geliat aktivitas perindustrian, khususnya dalam menghadapi lesunya permintaan global.
Pada awal Agustus, S&P Global merilis, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) manufaktur Indonesia per Juli 2023 adalah 53,3 poin, meningkat 0,94 persen dibandingkan posisi Juni. Angka itu diolah dari survei kepada 400 pelaku industri manufaktur di Tanah Air. Di sisi lain, PMI ASEAN pada Juli 2023 melandai 0,39 persen dari bulan sebelumnya menjadi 51,8 poin. Angka PMI di atas 50 poin menandakan industri manufaktur di negara atau kawasan yang ditinjau sedang ekspansif, sedangkan jika di bawah 50 poin berarti tengah mengalami kontraksi.
Dibandingkan dengan enam negara lain yang membentuk PMI ASEAN, Indonesia duduk di ranking pertama pada Juli 2023. Angka PMI Filipina sebesar 51,9 poin, disusul oleh Myanmar (51,1 poin), Thailand (50,7 poin), Vietnam (48,7 poin), Singapura (48,5 poin), dan Malaysia (47,8 poin).
Pemerintah pun menganggap pencapaian angka PMI pada Juli 2023 merupakan prestasi bagi Indonesia. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu berpendapat, kenaikan PMI Indonesia pada Juli 2023 menandakan optimisme pelaku usaha manufaktur. Kenaikan PMI pun diharapkan sejalan dengan pemulihan permintaan ekspor sehingga menopang kinerja perekonomian nasional.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melihat mobil yang dipamerkan dalam pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2023 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (10/8/2023).
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga menggarisbawahi, PMI Indonesia berada di atas Taiwan (44,1 poin), China (49,2 poin), Jepang (49,6 poin), Korea Selatan (49,4 poin), Amerika Serikat (49 poin), dan Jerman (38,8 poin). Artinya, pelaku industri manufaktur Tanah Air masih optimistis dan bergeliat di tengah ketidakstabilan perekonomian global dan melemahnya pasar dunia.
Dia menambahkan, menguatnya permintaan domestik turut mendorong aktivitas produksi manufaktur nasional. Dampaknya, sejumlah perusahaan merekrut tenaga kerja baru. Kenaikan penjualan yang didorong oleh permintaan dalam negeri juga menjadi sentimen utama terhadap prospek perekonomian ke depan.
Kinerja melemah
Meskipun PMI Indonesia meningkat, Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang diluncurkan Kementerian Perindustrian dan menyurvei lebih dari 1.000 pelaku industri Tanah Air justru menurun. IKI Indonesia pada Juli 2023 berada di angka 53,31 poin, turun 1,14 persen dibandingkan Juni. Penurunan IKI disebabkan kinerja produksi yang melemah 0,56 persen dan merosotnya jumlah pesanan baru 2 persen.
Proporsi responden pelaku industri yang menyatakan kegiatan usahanya meningkat melorot dari 33,6 persen menjadi 32 persen. Sayangnya, proporsi responden yang menganggap kegiatan usahanya melemah justru naik dari 21,3 persen jadi 22,6 persen.
Pekerja menaikkan mobil baru ke atas kapal barang untuk dikirim ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Sabtu (5/8/2023). Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil retail pada semester pertama tahun ini mencapai 502.536 unit.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sekaligus dosen Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Esther Sri Astuti, menilai, Indonesia belum bisa bernapas lega dengan angka PMI pada Juli 2023. ”Indonesia masih perlu mewaspadai dampak situasi geopolitik dan El Nino pada perekonomian dunia. Misalnya, potensi terjadinya supply shock yang dapat mengakibatkan meningkatnya harga bahan baku impor yang berimbas pada kenaikan biaya produksi di Indonesia,” tuturnya, Jumat (11/8/2023).
Selain itu, dia berpendapat, indikator-indikator IKI pada Juli 2023 justru menunjukkan industri manufaktur belum pulih sepenuhnya. Menguatnya industri manufaktur semestinya tecermin lewat kenaikan ekspor dan menurunnya impor bahan baku. Kenaikan ekspor menandakan adanya proses pengolahan oleh industri manufaktur Tanah Air yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah produk yang dapat dijual di pasar global.
Menguatnya industri manufaktur semestinya tecermin lewat kenaikan ekspor dan menurunnya impor bahan baku.
Namun, hingga Juni 2023, nilai ekspor industri pengolahan Indonesia justru anjlok. Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor industri pengolahan sepanjang Januari-Juni 2023 sebesar 91,47 miliar dollar AS atau melorot 10,19 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Bak penampungan getah karet yang masuk dalam proses pembekuan di pabrik pengolahan karet PT Perkebunan Nusantara IX, Kebun Ngobo, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (26/7/2023). Pabrik ini memproses getah karet dengan kapasitas produksi 4,5 ton per hari hingga menjadi komoditas setengah jadi. Hasil pengolahan karet dari pabrik ini sebagian besar untuk pasar ekspor dan industri manufaktur.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia sekaligus Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani menilai, PMI Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya memiliki karakter berbeda. PMI Indonesia dipengaruhi oleh situasi permintaan pasar domestik dan iklim usaha dalam negeri. Karena inflasi dalam negeri cenderung melandai, proyeksi kenaikan beban usaha dari faktor non-impor pun relatif rendah.
Sebaliknya, permintaan manufaktur negara-negara ASEAN, selain Indonesia, lebih didominasi oleh permintaan ekspor dibandingkan pasar domestik. ”Negara-negara ini lebih sensitif terhadap kondisi global dan isu-isu mengenai perdagangan internasional,” katanya saat dihubungi.
Pasar ekspor belum menjadi andalan manufaktur Tanah Air. Imbasnya, kinerja industri pengolahan dan andilnya terhadap perekonomian nasional masih jalan di tempat. Tanpa penguatan produksi berorientasi ekspor, industri yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya jago kandang.