Penerimaan Pajak yang Melambat Jadi Alarm Kewaspadaan
Realisasi APBN hingga Juli 2023 masih tercatat surplus. Namun, hal ini tetap patut diwaspadai, terutama di tengah penurunan kinerja penerimaan pajak dan realisasi belanja yang belum optimal.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga komoditas yang melemah dan kinerja ekspor-impor yang menurun mengakibatkan penerimaan perpajakan dalam realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara periode Januari-Juli 2023 melambat. Situasi tersebut menjadi alarm kewaspadaan bagi kinerja APBN.
Penerimaan perpajakan pada periode Januari-Juli 2023 terealisasi Rp 1.258,9 triliun atau tumbuh 3,7 persen secara tahunan. Nilai tersebut diperoleh dari penerimaan pajak sebesar Rp 1.109,1 triliun atau tumbuh 7,8 persen secara tahunan serta penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 149,8 triliun atau tumbuh 19,1 persen secara tahunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jumat (11/8/2023), mengatakan, penerimaan pajak tetap tumbuh positif karena kinerja kegiatan ekonomi yang baik pada semester I-2023. Namun, pertumbuhan penerimaan pajak pada periode Januari-Juli 2023 tidak setinggi periode yang sama tahun 2022 yang mampu menembus 58,8 persen.
”Kita tetap harus waspada karena kalau kita lihat pertumbuhan bulanan penerimaan pajak, terutama pada bulan Juni dan Juli mengalami pertumbuhan bulanan negatif. Ini adalah koreksi untuk menuju normalisasi,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita.
Sementara itu, pertumbuhan penerimaan pajak secara kumulatif juga terus melemah. Pada Januari 2023, pertumbuhan tercatat 48,6 persen terus menurun hingga menjadi 7,8 persen pada Juli 2023.
Tren perlambatan penerimaan pajak itu terjadi akibat penurunan harga komoditas yang signifikan, penurunan nilai impor, dan tidak berulangnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Sri Mulyani memproyeksikan, penerimaan pajak akan termoderasi mengikuti fluktuasi variabel ekonomi makro, seperti harga komoditas, konsumsi dalam negeri, dan belanja pemerintah.
Di satu sisi komoditas menurun, nilai impor turun, di sisi lain, untuk barang konsumsi dan modal naik. Kontraksinya memang mengalami negatif tetapi tidak sedalam yang kita perkirakan.
”Di satu sisi komoditas menurun, nilai impor turun, di sisi lain, untuk barang konsumsi dan modal naik. Kontraksinya memang mengalami negatif tetapi tidak sedalam yang kita perkirakan,” ujar Sri Mulyani.
Mulai berakhirnya tren lonjakan harga komoditas turut berdampak terhadap penerimaan kepabeanan dan cukai, terutama bea keluar. Pada periode Januari-Juli 2023, penerimaan bea keluar tercatat Rp 5,86 triliun atau turun 81,34 persen secara tahunan.
Bea keluar produk sawit dan bea keluar tembaga menjadi kontributor utama penurunan bea keluar, yakni 81,67 persen dan 81,43 persen secara tahunan. Penurunan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan penurunan volume ekspor tembaga mengakibatkan penerimaan bea keluar kedua komoditas tersebut anjlok.
Realisasi APBN per Juli 2023 masih mencatatkan surplus senilai Rp 153,5 triliun atau sebesar 0,72 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Surplus ini didapat dari realisasi pendapatan negara sebesar Rp 1.614,8 triliun dan realisasi belanja sebesar Rp 1.461,2 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, surplus APBN tersebut menjadi alarm yang harus diwaspadai. Ini karena belanja pemerintah masih belum optimal di tengah kondisi perlambatan penerimaan perpajakan akibat turunnya kinerja ekspor impor.
”Surplus menjadi pertanyaan di tengah situasi pelemahan dan tentu tidak baik bagi perekonomian. Ketika ekonomi lemah, butuh suntikan karena konsumsi masyarakat mulai melandai sehingga butuh belanja pemerintah yang berkualitas untuk memberikan stimulus perekonomian, mengingat ekspor impor juga mengalami pelemahan,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Lebih lanjut, situasi tersebut berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi nasional dapat mengalami penurunan atau di bawah 5 persen pada kuartal-kuartal selanjutnya. Ini terjadi karena realisasi penerimaan pajak kemungkinan akan meleset dari target.
Per Juli 2023, realisasi perpajakan baru mencapai 64,56 persen dari yang ditargetkan dalam APBN 2023. Selain itu, realisasi belanja pemerintah per Juli 2023 baru mencapai 47,7 persen atau tumbuh 1,2 persen secara tahunan.
Menurut Tauhid, pertumbuhan positif realisasi belanja pemerintah terjadi lantaran tahun lalu mengalami pertumbuhan negatif. Lebih lanjut, tren tersebut diproyeksikan akan menurun karena angka baseline tahun lalu mulai meningkat.
Di sisi lain, penerimaan pajak juga melambat dibandingkan periode yang sama tahun 2022. Hal ini terutama disebabkan oleh Pajak Penghasilan (PPh) Minyak dan Gas Bumi tercatat Rp 45,31 triliun atau terkontraksi sebesar 7,99 persen.
”Untuk mencapai target realisasi APBN ini berat karena dua hal, yakni lonjakan harga komoditas mulai mereda dan tidak terulang lagi kebijakan PPS. Semua menuju normalisasi sehingga perusahaan atau industri akan membayar pajak dengan normal,” kata Tauhid.
Tauhid menambahkan, perlambatan penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh volatilitas harga terutama, komoditas. Apalagi, pada triwulan II-2023, surplus perdagangan tercatat 7,8 miliar dollar AS atau sekitar 50 persen dari surplus pada periode yang sama tahun 2022, yakni 15,6 miliar dollar AS.
Meski indeks pembelian manajer pada sektor manufaktur (PMI) Indonesia pada Juli 2023 berada pada level 53,3 poin atau tetap ekspansif, kata Tauhid, hal ini tidak mencerminkan kontribusi terhadap penerimaan negara. Sebab, lonjakan harga komoditas telah berakhir dan permintaan global juga anjlok.
”Inilah risiko dari boom komoditas. Kita pernah mengalami situasi yang meningkat tajam, tetapi itu tidak terjadi setiap tahun. Saat kondisi mulai normal, kita tidak bisa andalkan lagi itu karena dinamika harga mulai mendekati harga keseimbangan atau kembali seperti sebelum pandemi Covid-19,” tutur Tauhid.