Semester I-2023, Citi Indonesia Bukukan Laba Rp 1,2 Triliun
Citibank Indonesia membukukan laba bersih Rp 1,2 triliun pada semester I-2023, naik 54 persen dibanding periode sama tahun lalu.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Citibank N A, Indonesia atau Citi Indonesia melaporkan laba bersih Rp 1,2 triliun pada semester I-2023. Nominal itu naik 54 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, didorong oleh pendapatan bunga bersih.
Portofolio pinjaman atau kredit Citi Indonesia tumbuh 10,4 persen menjadi Rp 43,2 triliun. Hal itu disokong pertumbuhan kredit dari bisnis perbankan institusi, khususnya sektor manufaktur, perantara keuangan, dan asuransi.
Menurut CEO Citi Indonesia Batara Sianturi, pertumbuhan ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang naik 5,17 persen pada kuartal II-2023 dibanding tahun sebelumnya pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan ketahanan perekonomian negara di tengah melemahnya kondisi global.
”Pencapaian ini juga kami alami di Citi Indonesia, yang menunjukkan kinerja keuangan yang baik pada semester I tahun ini,” kata Batara di Hotel Fairmont, Jakarta, Kamis (10/8/2023).
Rasio kecukupan likuiditas (LCR) dan rasio pendanaan stabil bersih (NSFR) berada di atas ketentuan minimum, yakni 297 persen dan 136 persen. Sementara rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) 28,7 persen. Rasio kredit macet atau NPL kotor berada di level 2,9 persen.
Sepanjang semester I-2023, Citi andil dalam Joint Global Coordinator serta Joint Lead Manager dalam penerbitan obligasi hijau atau green bond perdana. Perusahaan yang terlibat dalam kerja sama ini adalah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk senilai 400 juta dollar AS, setara Rp 6,1 triliun dengan kurs Rp 15.204 per dollar AS.
Batara menambahkan, Citi juga turut menyediakan kredit hijau (green loan) perdana 750 juta dollar AS atau Rp 11,4 triliun untuk PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Kredit ini memiliki tenor lima tahun yang disepakati pada April 2023.
Dari sisi digitalisasi, transaksi perbankan juga meningkat. Akuisisi nasabah baru kartu kredit dengan saluran digital naik 86 persen pada kuartal II-2023 dibanding kuartal II-2022.
”Hal ini menjadikan kanal digital sebagai salah satu penunjang pertumbuhan bisnis,” kata Batara.
Dari cakupan makro, Kepala Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman menilai, kinerja perekonomian Indonesia pada kuartal ini lebih kuat dari perkiraan. Namun, sejumlah tantangan global masih dihadapi.
Tren belanja konsumen setelah pandemi Covid-19 cenderung diarahkan pada sektor jasa ketimbang barang. Selain itu, realisasi pemulihan perekonomian China juga ternyata lebih lemah dari perkiraan awal karena momentum pemulihan yang didukung sektor properti hanya bertahan beberapa bulan.
Ekspor turun
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia sebesar 20,6 miliar dollar AS pada Juni 2023 turun 5,08 persen dibanding bulan sebelumnya. Hal ini berdampak pada lesunya sejumlah sektor yang berorientasi ekspor.
Helmi mengatakan, dari kondisi global saat ini, volume ekspor Indonesia ikut turun meski tak terlalu dalam. Sejumlah sektor yang bergantung pada ekspor, seperti tekstil, sepatu, dan mebel tumbuh negatif secara tahunan (YoY).
Meski demikian, eskpor Indonesia untuk nikel, terutama jenis kelas satu yang dimanfaatkan sebagai baterai mobil listrik, masih meningkat. Hal ini sejalan dengan kenaikan kapasitas produksi.
Di samping itu, ekspor otomotif Indonesia meningkat ditopang peningkatan kapasitas pelabuhan ekspor otomotif. Kemudian, ekspor hasil industri kertas juga naik karena turunnya produksi kertas di Eropa akibat ketersediaan gas terbatas.
Dari sisi permintaan domestik, sektor konsumsi memiliki momentum disokong konstruksi infrastruktur pemerintah, termasuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Bukan hanya itu, konsumsi masyarakat Indonesia pada kuartal II-2023 terus pulih sehingga trennya sudah kembali seperti saat sebelum pandemi Covid-19. Belanja sebelum pemilihan umum 2024 digadang-gadang dapat menopang konsumsi masyarakat.
”Ini tentunya ditopang pemulihan mobilitas masyarakat pascapemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Saya rasa inflasi turun juga ikut membantu memulihkan ekonomi masyarakat,” ujar Helmi.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, perekonomian saat ini belum sepenuhnya pulih. Dilihat secara global dan domestik, perekonomian masih mengalami guncangan penawaran atau supply shock. Sejumlah faktor mempengaruhi fenomena itu, yakni perang Rusia-Ukraina, pandemi Covid-19, kondisi geopolitik, dan dampak El-Nino.
”Sehingga saat ini, menurut saya, ya, kalau dari sisi kredit kecil, kemudian kredit menengah memang masih melambat semua,” ujar Esther.
Selain itu, pada tahun politik, para investor cenderung masih memantau kondisi (wait and see). Sebab, ada kemungkinan kebijakan berganti ketika pimpinan berubah.
Esther menilai, kondisi perekonomian masih relatif serupa hingga Pemilihan Umum 2024. Ada pengecualian ketika pemerintah mengeluarkan gebrakan kebijakan dalam penyaluran kredit. Namun, selama kebijakan yang akan datang tak signifikan, kondisi perekonomian akan relatif sama. Alhasil, ia mendukung keputusan bank yang lebih berhati-hati menyalurkan kreditnya.