Pasar beras dunia merupakan pasar yang ”kurus” karena hanya 5-7 persen dari seluruh produksi padi dunia yang diperdagangkan lintas negara. Akumulasi sederet gangguan belakangan ini berpotensi mengganggu ketahanan pangan.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Indeks harga beras global Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada Juli 2023 mencapai 129,7 poin. Angka itu naik 2,8 persen secara bulanan dan naik 19,7 persen dari level tahun lalu. Angka indeks itu juga tercatat sebagai yang tertinggi sejak September 2011. Kekhawatiran atas potensi dampak El Nino pada produksi beras di beberapa negara produsen dan larangan ekspor beras putih indica oleh India turut mendorong kenaikan indeks tersebut.
Kekhawatiran itu tergambar di bursa berjangka. Pada awal Agustus 2023, harga beras di bursa Chicago Board of Trade naik menuju 16 dollar AS per hitungan berat (CWT) atau mendekat level tertinggi dua bulan di 16,2 dollar AS per CWT pada 24 Juli di tengah permintaan yang kuat dan meningkatnya kekhawatiran atas pasokan global. Kombinasi penurunan produksi di Thailand (pengekspor beras terbesar kedua di dunia), larangan ekspor beras putih non-basmati oleh India, dan kemunduran kesepakatan Butir Laut Hitam menumpuk kekhawatiran pelaku pasar.
Situasi itu juga berpotensi memicu fluktuasi harga di pasar beras global. Gejolak harga dan gangguan pasokan akan memengaruhi ketahanan pangan, khususnya di negara-negara termiskin yang sangat bergantung pada beras impor. FAO menyebut, kendati hanya mempengaruhi sebagian dari pengiriman beras India, larangan ekspor terbaru menimbulkan kekhawatiran ketahanan pangan yang substansial bagi mayoritas populasi dunia, terutama mereka yang paling miskin dan yang mendedikasikan sebagian besar pendapatannya untuk membeli makanan.
Potensi gejolak di pasar internasional sangat mungkin berimbas ke Indonesia. Rencana pemerintah melalui Perum Bulog mengimpor 2 juta ton beras guna memperkuat cadangan pangan tahun ini bisa terganggu oleh kenaikan harga di pasar internasional. Mau tak mau, Indonesia mesti berebut dengan negara-negara pengimpor lain. Persaingan akan makin sengit karena kredo ”biarkan tetanggamu kelaparan” bisa terjadi dalam situasi krisis. Negara-negara produsen akan lebih dulu mengutamakan kepentingan di dalam negerinya.
Padahal, pasar beras merupakan pasar yang ”kurus”. Sejumlah lembaga memperkirakan hanya 5-7 persen dari seluruh produksi padi dunia yang diperdagangkan lintas negara. Ironisnya, hanya hanya beberapa negara saja yang menguasai 80 persen ekspor beras dunia, yakni Thailand, Vietnam, India, Pakistan, dan Amerika Serikat.
Waspada
Pemerintah boleh saja optimistis bahwa stok beras nasional aman dan mencukupi kebutuhan tahun ini. Namun, sederet pertanda tidak bisa diabaikan. Indonesia mesti mewaspadai dampak buruknya sekaligus memastikan masyarakat yang paling membutuhkannya tetap bisa mengakses sumber pangan pokoknya.
Apalagi, selain gangguan di pasar global, ada beberapa penanda di dalam negeri yang mengirimkan sinyal waspada. Penanda itu, pertama, produksi beras nasional diproyeksikan turun tahun ini. Produksi pada sembilan bulan pertama, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), diproyeksikan 25,64 juta ton. Kendati data produksi Juli-September 2023 masih proyeksi, yakni berdasarkan luas tanam, angka itu turun dibandingkan sembilan bulan pertama 2022 yang tercatat 26,17 juta ton.
Fenomena El Nino dinilai berkontribusi pada penurunan tersebut. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut, pada akhir Juli 2023, 63 persen dari 699 zona musim di Indonesia telah memasuki musim kemarau. Fenomena El Nino menyebabkan kemarau tahun ini lebih kering dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Fenomena lebih kering diprediksi melanda hampir seluruh wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Di sisi lain, penanda kedua, konsumsi beras nasional sepanjang Januari-September 2023 diproyeksikan meningkat, yakni mencapai 22,89 juta ton. Menurut data BPS, angka itu lebih tinggi dibandingkan konsumsi beras selama sembilan bulan pertama tahun 2022 yang mencapai 22,62 juta ton (Kompas.id, 3/8/2023). Potensi turunnya produksi di tengah konsumsi yang cenderung naik dan gejolak di pasar global menambah tantangan bagi pemerintah dalam mengelola pangan.
Oleh karena itu, selain mengoptimalkan pengadaan untuk memperkokoh cadangan pangan pemerintah, baik melalui impor maupun produksi dalam negeri, hal lain yang tak kalah penting adalah membantu petani mengatasi problem-problem yang mereka hadapi di hulu. Kendala pupuk, benih, dan pengairan mesti diatasi bersama guna mengoptimalkan produksi.
Program bantuan sosial bagi masyarakat miskin juga urgen di tengah situasi harga seperti saat ini. Apalagi separuh lebih pendapatan mereka mesti dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Sedikit saja harga pangan naik, daya beli masyarakat bawah akan tergerus.