Pembatasan Nominal Harga Barang Dinilai Kurang Efektif
Praktik e-dagang lintas negara memudahkan penjual dari luar negeri menjangkau pembeli di dalam negeri. Pemerintah mewacanakan pembatasan nilai barang impor yang boleh diperdagangkan lintas negara guna melindungi UMKM.
Oleh
MEDIANA, Agustinus Yoga
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemerintah membatasi nilai nominal barang impor yang boleh diperdagangkan secara elektronik lintas batas negara atau cross border e-commerce dinilai kurang efektif. Apalagi jika ketentuan itu hanya akan diberlakukan untuk lokapasar. Sebab, penjual barang di luar negeri tetap bisa menawarkan ke pembeli di Indonesia melalui media sosial yang susah diawasi.
Peneliti Center of Digital Economy and Small Medium Enterprises di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (9/8/2023), berpendapat, jika tujuannya ingin membendung derasnya praktik e-dagang lintas batas (cross border e-commerce)dari luar negeri ke pembeli Indonesia karena dinilai mengurangi daya saing produk lokal, pendekatan de minimis (batasan minimal) seperti apa pun akan kurang efektif.
”Maka, pendekatan pelarangan sebenarnya cukup tegas. Apabila ada perdagangan melalui sistem elektronik yang melanggar alias memfasilitasi praktik cross border e-commerce dari luar negeri ke pembeli di Indonesia, pemerintah bisa mencabut izinnya,” ujar Nailul.
Lebih jauh, belum semua produsen yang berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di dalam negeri memiliki daya saing yang kuat. Oleh karena itu, pekerjaan rumah pemerintah seharusnya ikut meningkatkan daya saing UMKM.
”Tak salah kalau pemerintah ingin melindungi UMKM produsen dalam negeri dari fenomena gempuran praktik cross border e-commerce dari luar negeri ke pembeli di Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, saat ditemui di acara Alibaba Cloud Data Management Summit di Jakarta, Selasa (25/7/2023), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik kini berada pada harmonisasi dengan peraturan lain yang dijadwalkan selesai pada 1 Agustus 2023.
”Apabila harmonisasi bisa selesai pada 1 Agustus 2023, dalam kurun waktu satu bulan setelah itu revisi Permendag No 50/2020 bisa diimplementasikan bagi seluruh jenis platform digital yang memfasilitasi e-dagang di Indonesia,” katanya (Kompas, 26/7/2023).
Dalam revisi itu, Kementerian Perdagangan mengusulkan substansi harga barang impor yang boleh diperjualbelikan di platform digital e-dagang, yaitu minimal 100 dollar AS. Produk yang diperjualbelikan harus mengikuti standar Indonesia, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Standar seperti ini sama dengan standar barang yang beredar di pasar luring.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim, saat dihubungi, Rabu (9/8/2023), menyampaikan, proses harmonisasi revisi Permendag No 50/2020 belum selesai. Pembahasan harmonisasi tanggal 1 Agustus 2023 masih berlanjut sampai sekarang.
Sementara itu, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki di sela-sela acara KUR Award 2023, di Jakarta, Rabu, menyebutkan, revisi Permendag No 50/2020 yang tengah diharmonisasi mengatur pemisahan antara media sosial dan lokapasar yang tidak diperbolehkan dalam satu tempat. Selain itu, lokapasar juga tidak diperkenankan menjual barang hasil produksinya sendiri atau produk dari perusahaan afiliasinya.
Dalam kesempatan yang sama, Teten turut menyentil perihal cross border e-commerce. Menurut dia, barang yang diperdagangkan dengan mekanisme cross border e-commerce semestinya masuk terlebih dahulu ke Indonesia untuk kemudian diperdagangkan secara daring.
Lokapasar juga tidak diperkenankan menjual barang hasil produksinya sendiri atau produk dari perusahaan afiliasinya.
”Memang, tidak menutup kemungkinan bagi pedagang lokal untuk tetap menjual produk impor selama barang tersebut masuk melalui mekanisme impor yang berlaku, antara lain proses izin edar melalui BPOM, izin Standar Nasional Indonesia (SNI), dan sertifikasi halal melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI),” imbuhnya.
Dari sisi pelaku e-dagang, penyedia platform lokapasar Tokopedia, misalnya, menyatakan masih menunggu kelanjutan proses revisi Permendag No 50/2020. Direktur Corporate Affairs Tokopedia Nuraini Razak mengatakan bahwa apa pun hasil revisi nanti, Tokopedia akan patuh dengan apa yang diminta pemerintah.
”Kami tunggu ketentuan detailnya (pembatasan kriteria barang impor). Apakah pembatasan hanya diminta di platform daring, luring, atau daring dan luring sekaligus? Atau wacana pembatasan yang dimaksud hanya menyangkut model perdagangan langsung dari pedagang di luar negeri ke pembeli yang berdomisili di Indonesia?” ujarnya.
Nuraini memastikan bahwa semua mitra penjual yang bergabung di platform Tokopedia berasal dari dalam negeri. Jumlah mitra penjual Tokopedia saat ini lebih dari 14 juta mitra dan hampir seluruhnya berlatar belakang UMKM.
“Jika ditanya apakah ada jenis barang impor atau tidak, pasti kami tidak tahu. Kami (cuma) pastikan penjualnya pasti di dalam negeri dan barangnya sudah berada di dalam negeri. Sama seperti jika kita pergi ke mal atau warung ritel luring, pasti ada penjual yang menjual barang impor,” ujarnya. Menurut dia, hal seperti itulah yang harus diatur pemerintah supaya ada kesetaraan antarpelaku perdagangan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, pihaknya sepakat dengan gagasan bahwa produk buatan dalam negeri harus dilindungi. Daya saingnya pun perlu perlu diperkuat oleh pemerintah.
Akan tetapi, pemerintah disarankan selektif. Berdasarkan pengamatannya, dalam konteks perdagangan luring sekalipun, produk impor cenderung lebih banyak menggempur pasar kelas menengah bawah.