Pendanaan ”Start Up” Teknologi Energi Bersih Masih Terbatas
New Energy Nexus Indonesia melakukan survei terhadap 50 ”cleantech start up” yang didirikan dalam lima tahun terakhir. Diketahui bahwa 86 persen ”cleantech start up” masih mengandalkan dana pribadi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan usaha rintisan teknologi energi bersih atau cleantech start up dinilai belum optimal karena masih terkendala regulasi dan pendanaan. Dukungan pendanaan dari multipihak didorong untuk usaha rintisan dalam mendukung riset dan pengembangan atau R&D, terutama pada start up di tahap awal.
New Energy Nexus Indonesia, akselerator ekosistem dan pendanaan global usaha teknologi energi bersih, melakukan survei terhadap 50 cleantech start up yang didirikan dalam lima tahun terakhir. Diketahui bahwa 86 persen di antaranya masih mengandalkan tabungan pribadi para pendiri (founder) dan kesulitan mendapat pendanaan eksternal.
Kendala lainnya terkait dengan regulasi yang mendukung pertumbuhan cleantech start up. Usaha rintisan di bidang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, misalnya, terkendala dengan regulasi yang berlaku. Pengembangannya tidak optimal karena PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) masih menghadapi persoalan kelebihan pasokan listrik.
Selain tingkat efektivitas yang bergantung pada PLN, kendala regulasi juga ada pada sektor transportasi berkaitan dengan kendaraan listrik. Penerima insentif masih terbatas dan minat masyarakat belum tumbuh. Terkait dukungan modal ventura, juga terkendala oleh adanya persyaratan struktur dan dana modal yang berat.
Usaha rintisan di bidang pembangkit listrik tenaga surya atap, misalnya, terkendala dengan regulasi yang berlaku.
Policy and Advocacy Manager New Energy Nexus Indonesia Pamela Simamora, di Jakarta, Selasa (8/8/2023), mengatakan, berdasarkan survei, regulasi, termasuk di sektor energi, menjadi hal krusial yang perlu dibenahi. ”Itu sangat berpengaruh. Kalaupun tak dapat dukungan dana, mereka (cleantech start up) berharap setidaknya ada perbaikan regulasi,” ujarnya.
Di sisi lain, dukungan pendanaan yang sesuai dengan kebutuhan juga penting. Selama ini, dukungan pendanaan untuk R&D lebih banyak pada cleantech start up di tahap lanjut. Padahal, yang paling membutuhkan adalah start up yang ada di tahap awal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya missmatch atau ketidakcocokan.
Dari hasil survei, kata Pamela, ditemukan bahwa dukungan yang paling diharapkan cleantech start up berupa dana untuk R&D, disusul dana hibah, pinjaman lunak, insentif pajak, ekuitas, dan jaminan kredit. Sementara terkait nonfinansial, selain regulasi yang mendukung juga dibutuhkan jejaring (networking), infrastruktur riset, kolaborasi dengan kementerian/lembaga, serta proses perizinan yang mudah.
Forum rutin
New Energy Nexus Indonesia pun merekomendasikan pemerintah agar menyiapkan sistem pemantauan dan evaluasi untuk semua program pemerintah terkait start up. ”Juga menjalin komunikasi rutin melalui forum publik atau pertemuan rutin antarpemangku kepentingan dalam ekosistem cleantech start up,” kata Pamela.
Sejak 2019, New Energy Nexus Indonesia telah mendukung 85 start up dalam inkubator dan 1.893 wirausaha. Pendanaan telah diberikan kepada terhadap cleantech start up pada tahap awal dengan jumlah pendanaan masing-masing maksimal 250.000 dollar AS.
Salah satu cleantech start up yang didukung New Energy Nexus Indonesia ialah Leastric, yang merupakan start up terkait manajemen kelistrikan berbasis komputasi awan (cloud). Saat ini, Leastric fokus kepada pola B2B dengan pelaku bisnis yang memerlukan solusi manajemen penggunaan listrik. Namun, ke depan terbuka juga pengembangan B2C yang berbasis pelanggan konsumen rumah tangga.
Pendiri sekaligus CEO Leastric Marilyn Parhusip menuturkan, regulasi dan pendanaan memang menjadi tantangan. ”Sebagai start up, tentu kami ingin berkolaborasi dengan PLN serta pihak lain yang bisa membantu kami melakukan penetrasi pasar,” ujarnya.
Keterbatasan pendanaan juga menjadi tantangan. Pihak yang akan menggunakan solusi yang ditawarkan Leastric umumnya ingin mencoba sesuatu yang baru. Oleh karena itu, kata Marilyn, dukungan pendanaan dibutuhkan untuk pengembangan yang lebih kuat, termasuk kolaborasi dengan pihak pemerintah dan swasta terkait dengan inovasi.
Sebelumnya, dalam beberapa kesempatan, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menyebutkan, saat ini Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum tengah direvisi dan dilakukan harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.