Deindustrialisasi Dini Tak Cukup Diatasi dengan Hilirisasi
Untuk membangkitkan industri pengolahan, Indonesia butuh kebijakan industrialisasi komprehensif dengan pemetaan potensi sektoral yang jelas. Hilirisasi dinilai belum cukup untuk menahan laju deindustrialisasi dini.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Gejala deindustrialisasi dini semakin nyata dihadapi Indonesia. Namun, strategi hilirisasi yang digencarkan pemerintah saat ini dinilai masih jauh panggang dari api. Manfaat hilirisasi pun lebih banyak dinikmati negara lain seperti China. Indonesia butuh kebijakan industrialisasi yang komprehensif, bukan sekadar hilirisasi yang tanggung.
Gejala deindustrialisasi prematur, atau penurunan kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mulai terlihat sejak tahun 2002. Namun, laju penurunan itu semakin cepat terjadi sejak tahun 2009.
Sebagai perbandingan, pada 2008, porsi industri manufaktur terhadap PDB nasional masih 27,8 persen. Pada 2010, kontribusinya mulai turun ke 22 persen. Saat pandemi Covid-19, peran sektor pengolahan semakin mengecil ke 19,8 persen pada 2020, turun lagi menjadi 19,25 persen pada 2021, 18,34 persen pada 2022, dan terakhir 18,25 persen pada triwulan II tahun 2023.
Gejala deindustrialisasi juga tampak dari pertumbuhan industri pengolahan yang kerap berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Idealnya, sektor manufaktur tumbuh di atas perekonomian nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan II-2023, industri pengolahan tumbuh 4,88 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi yang menyentuh 5,17 persen.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya, Selasa (8/8/2023) menilai, pelemahan industri pengolahan yang konsisten itu menjadi anomali ketika konsumsi rumah tangga masih tumbuh stabil di atas 5 persen, tetapi pertumbuhan sektor manufaktur tidak ikut terungkit.
Pada triwulan II-2023, konsumsi rumah tangga masih tumbuh 5,23 persen secara tahunan karena terungkit Ramadhan dan Lebaran. Namun, industri unggulan seperti makanan dan minuman tumbuh melambat dibandingkan triwulan I-2023, yakni 4,62 persen. Industri tekstil dan pakaian, sektor unggulan lain, juga terkontraksi lebih dalam menjadi minus 1,7 persen.
“Padahal, sektor manufaktur sangat penting untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas, menambah nilai tambah ekonomi, meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi kesenjangan. Kalau industri kita terus seperti ini, akan semakin sulit kita keluar dari middle income trap,” kata Berly dalam diskusi Kajian Tengah Tahun Indef di Jakarta.
Ekonom Senior Indef Faisal Basri mengatakan, untuk membangkitkan kembali industri pengolahan, Indonesia butuh kebijakan industrialisasi yang komprehensif dengan pemetaan potensi sektoral yang jelas. Sayangnya, ia menilai, Indonesia belum memiliki strategi industrialisasi yang jelas, melainkan kebijakan hilirisasi yang cenderung tabrak lari.
Industrialisasi seharusnya dapat memperkuat struktur perekonomian, kedalaman struktur industri, serta memberi nilai tambah. Sementara, hilirisasi tambang yang saat ini dilakukan pemerintah masih tanggung, bahkan lebih banyak menguntungkan negara lain seperti China yang memiliki smelter nikel di Indonesia.
Ia mencontohkan, hilirisasi nikel saat ini masih sebatas mengolah bijih nikel (ore nickel) menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. “Lalu, itu 90 persen diekspor ke China. Jadi, hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Kita hanya menikmati 10 persennya saja, 90 persennya ke China," katanya.
Kepala Center of Trade Investment and Industry Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, industrialisasi seharusnya tidak hanya berfokus pada sisi hilir, melainkan juga menguatkan sisi hulu. “Tidak bisa dipukul rata seolah semua masalah ada di hillir, seperti hilirisasi, karena di beberapa sektor, misalnya di kokoa, itu problemnya bukan di hilir, tetapi di hulunya,” katanya.
Di sisi lain, pendekatan industrialisasi juga seharusnya bisa mendorong pendalaman struktur industri. Sebagai contoh, nikel tidak sekadar diolah menjadi feronikel atau NPI, tetapi dijadikan produk turunan lain seperti produk baja tahan karat (stainless steel). Dengan demikian, hilirisasi nikel tidak hanya diarahkan untuk membangun ekosistem baterai kendaraan listrik, tetapi juga menggerakkan industri lain.
"Mengingat saat ini Indonesia pun masih harus mengimpor bahan baku stainless steel untuk memproduksi barang seperti jarum suntik dan sendok," ujar dia.
Lebih menguntungkan
Menanggapi hal itu, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Firman Hidayat mengatakan, sebenarnya hilirisasi yang dilakukan saat ini sudah lebih menguntungkan. Sebab, sebelumnya, Indonesia selalu mengekspor nikel dalam bentuk mentah atau bijih nikel.
Dengan strategi hilirisasi nikel saat ini, ekspor turunan nikel bisa ditingkatkan hingga 6,6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan ketika masih mengekspor bijih nikel. Perekonomian juga tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas mentah yang gejolaknya dinamis karena bergantung pada pergerakan harga dunia.
“Dulu kita benar-benar ekspor dalam bentuk tanah dengan kandungan nikel yang hanya kurang dari 2 persen. Jadi, secara literal kita selama ini melakukan ekspor tanah air. Sekarang memang kita hanya menikmati 10 persen dari hilirisasi nikel, tapi sebelumnya kita bahkan hanya mendapat 0 persen, karena 100 persennya diambil China,” katanya.
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti menambahkan, pemerintah telah menyusun peta jalan industrialisasi baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Strategi baru itu akan dituangkan dalam RPJPN 2025-2045 yang kini sedang disusun Bappenas.
“Ke depan kita harus memberikan fokus pada industri prioritas. Salah satunya, hilirisasi SDA yang akan kita lanjutkan, tetapi bukan hanya SDA mineral dan tambang, melainkan industri lain seperti perkebunan seperti sawit dan hilirisasinya, rumput laut, dan kokoa,” kata Amalia.
Pemerintah juga telah memetakan potensi industri prioritas yang fokus pada industri dasar atau ibu dari segala industri (mother of all industries), seperti sektor kimia dasar dan baja.
“Ini penting, karena suatu negara akan memiliki industri kokoh jika memiliki basic industry yang kuat juga, seperti kimia dasar dan baja yang menjadi suplai penyedia bahan baku bagi industri lainnya,” ujarnya.