Berkaca pada kondisi saat ini, kebutuhan elpiji, khususnya ukuran 3 kg, diyakini akan terus meningkat. Tak hanya murah, tetapi juga praktis. Namun, jangan lupa bahwa 77 persen pasokan elpiji nasional dipenuhi impor.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Berulangnya problem kelangkaan elpiji 3 kilogram di sejumlah daerah dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan kian mendesaknya pembenahan tata kelola elpiji bersubsidi. Dengan sistem pendistribusian terbuka, celah subsidi salah sasaran akan selalu ada. Makin besar jumlah penerima yang tak tepat sasaran, makin sulit pembenahannya.
Merespons ramainya kabar kelangkaan elpiji 3 kg di sejumlah daerah, seperti di Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara, beberapa waktu terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meminta PT Pertamina (Persero) memantau distribusi hingga ke konsumen akhir. Bukan hanya hingga pangkalan, sebagaimana kewenangan Pertamina.
Apalagi, berdasarkan catatan Kementerian ESDM, penyaluran elpiji bersubsidi 2019-2022 meningkat 4-5 persen per tahun. Sebaliknya, pada periode yang sama, penyaluran elpiji nonsubsidi justru menurun 10,9 persen per tahun.
Sementara itu, Pertamina memastikan pasokan elpiji 3 kg aman dan ketersediaan terus dijaga. Berdasarkan data Pertamina, di tingkat nasional, saat ini ada 699 stasiun pengisian bulk elpiji (SPBE), 5.200 agen, dan 244.000 pangkalan. Penambahan jumlah pangkalan terus diupayakan guna mempermudah masyarakat memperoleh elpiji bersubsidi.
Adapun pendataan pelanggan elpiji 3 kg dilakukan pemerintah dan Pertamina pada tahun ini, sebagai upaya transformasi menuju subsidi tepat sasaran. Tahun depan, ditargetkan hanya warga yang terdaftar yang bisa membeli elpiji 3 kg. Komitmen dalam implementasi menjadi ujian di tengah tren peningkatan konsumsi ”gas melon”.
Dipenuhi impor
Ketergantungan masyarakat Indonesia pada elpiji semakin tidak terhindarkan. Selain harganya murah, penggunaannya pun praktis serta mudah dipindahkan.
Namun, jangan lupa bahwa pemenuhan kebutuhan elpiji dalam negeri mayoritas dipenuhi dari impor. Berdasarkan data Kementerian ESDM 2022, total pasokan nasional elpiji 2022 sebanyak 8,72 juta metrik ton. Rinciannya, 6,74 juta metrik ton atau 77,3 persen dipenuhi dari impor dan sisanya dari hasil produksi dalam negeri.
Volume impor elpiji pun meningkat dalam lima tahun terakhir, dari 5,57 juta metrik ton (2018) ke 6,74 juta metrik ton (2022). Adapun produksi dalam negeri justru menurun dari 2 juta metrik ton (2018) ke 1,98 juta metrik ton (2022). Alhasil, proporsi impor elpiji pun meningkat dari 73,6 persen pada 2018 menjadi 77,3 persen pada 2022.
Dilihat dari sisi keamanan ataupun ketahanan energi, saat ketergantungan pada satu jenis energi yang mayoritas dipenuhi dengan impor tinggi, sinyal darurat harusnya berbunyi. Upaya mencari pengganti elpiji pun sudah dilakukan, seperti dengan menyiapkan proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME). Namun, situasi berubah pelik saat perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products, Maret 2023, menyatakan mundur dari dua proyek gasifikasi batubara di Indonesia, termasuk coal to DME.
Hal itu menjadi pukulan telak, terlebih peletakan batu pertama proyek DME di Muara Enim, Sumatera Selatan, yang digarap bersama PT Bukit Asam Tbk dan Pertamina, dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Januari 2022. Pengganti Air Productspun dicari.
Program konversi dari kompor gas ke kompor induksi juga digulirkan pemerintah tahun lalu. Namun, reaksi publik tak seperti yang diharapkan, antara lain karena tetap memerlukan peningkatan daya. Program pun dibatalkan.
Potensi besar pengganti elpiji sebenarnya ada pada jaringan gas bumi untuk rumah tangga. Namun, pengembangannya secara nasional relatif kecil. Perlu pembangunan infrastruktur masif untuk memacu jaringan gas (jargas) rumah tangga ini.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2022 realisasi pemanfaatan gas bumi untuk jargas ialah 10,93 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) atau kedua terkecil setelah bahan bakar gas yang 4,21 BBTUD. Pemanfaatan gas bumi masih didominasi industri, ekspor gas alam cair, pupuk, kelistrikan, dan ekspor gas pipa.
Pembenahan tata kelola penyaluran elpiji 3 kg menjadi keharusan. Sebab, makin besar penyaluran subsidi tidak tepat sasaran, makin besar pula potensi hak warga miskin terampas. Lebih jauh, upaya pencarian substitusi elpiji memerlukan akselerasi karena proses konversi yang kompleks dan memakan waktu.