CCS/CCUS ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tidak terlepas ke atmosfer. Selain untuk menekan emisi, akan ada penambahan produksi migas serta monetisasi kredit karbon.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan usaha yang menerapkan penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon dalam industri hulu minyak dan gas bumi bisa mendapat keuntungan finansial tambahan dari monetisasi karbon. Bisnis tersebut diyakini akan berkembang pada perusahaan-perusahaan minyak dan gas setelah tahun 2030.
Carbon capture, utilization, and storage (CCS/CCUS) ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tidak terlepas ke atmosfer. Karbon kemudian juga dimanfaatkan untuk peningkatan produksi migas.
Manajer Institut Teknologi Bandung (ITB) Centre of Exellence for CCS dan CCUS Muhammad Rachmat Sule, dihubungi dari Jakarta, Selasa (1/8/2023), mengatakan, pengembangan CCS/CCUS banyak diterapkan di Indonesia sejak 2020. Pihaknya pun melakukan studi bersama dengan bp, perusahaan migas, yang mengelola proyek Tangguh LNG di Papua Barat.
Dari studi itu diketahui bahwa menginjeksikan karbondioksida (CO2) memerlukan biaya (cost) besar. ”Namun, ternyata juga memberi incremental (tambahan) produksi gas. Selain itu, keuntungan finansial juga berpotensi didapat dari monetisasi carbon credit (kredit karbon),” kata Rachmat.
Ia menambahkan, saat perusahaan migas berhasil menekan emisi CO2 di bawah batas yang ditetapkan oleh pemerintah, maka akan ada voluntary kredit karbon. Kredit karbon itulah yang bisa dimonetisasi melalui bursa karbon yang saat ini mekanisme dan infrastrukturnya disiapkan pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
”Itulah yang akan menjadi main bisnis utama perusahaan migas setelah tahun 2030. Jadi, bukan hanya menghasilkan migas, melainkan juga memberi servis menginjeksikan CO2 dan mereka akan mendapat revenue (pemasukan). Saat ini bp menjadi yang terdepan dalam CCS/CCUS, untuk menginjeksikan CO2,” kata Rachmat.
Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan CCS dan CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas. Peraturan tersebut untuk memenuhi kebutuhan emisi, untuk ditangkap dan diinjeksikan dalam mendukung produksi migas serta pengurangan emisi karbon dioksida.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, akhir pekan lalu, menjelaskan, Permen ESDM No 2/2023 mengakomodasi semua aktivitas terkait CCS/CCUS di hulu migas. Sementara Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menyebut CCS/CCUS oleh bp akan mulai beroperasi pada 2026.
Rachmat mengemukakan, dengan adanya permen tersebut, setidaknya ada kepastian bagi badan usaha terkait apa yang mereka dapatkan dengan menerapkan CCS/CCUS. Artinya, meski tanpa ada insentif dari pemerintah, badan usaha mendapat keuntungan ekonomi dengan peningkatan produksi minyak atau gas bumi serta voluntary kredit karbon.
Pengamat migas sekaligus dosen teknik perminyakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Topan Herianto, menuturkan, CCS/CCUS di wilayah kerja (WK) migas sudah diminati beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di Indonesia. Selain Tangguh, ada lapangan migas Gundih, Sukowati, Arun, Sakakemang, dan East Kalimantan.
Menurut dia, secara sederhana, dari kumulatif produksi gas alam di lapangan tersebut pada kurun produksinya dapat diperkirakan berapa besaran daya tampung CO2. ”Apabila dijumlahkan dengan daya tampung CO2 di reservoir lain, tak dapat disangkal lagi kalau itu akan menjadi ladang bisnis di Asia Tenggara, bahkan dia Asia,” kata Topan.
Daya tarik
Topan menambahkan, potensi besar pada reservoir gas yang telah decline (produksi menurun atau habis), akan menjadi wadah yang ideal untuk proyek CCS. Terlebih, kapasitas potensi penyimpanan juga terbilang besar, salah satunya lapangan gas Arun di Aceh. Menurut dia, itu akan sangat menarik bagi investor asing untuk studi maupun pelaksanaannya.
Namun, menurut dia, mesti ada dukungan pada sejumlah aspek agar CCS/CCUS dapat diimplementasikan secara optimal. ”Seperti terkait regulasi dan masalah-masalah teknis antara lain transportasi, injeksi, kebocoran, perihal keamanan (safety), dan lingkungan. Hal-hal itu bisa menambah hambatan dalam CCS/CCUS,” lanjutnya.
Permen ESDM No 2/2023, imbuh Topan, akan mendukung rencana pengembangan CCS/CCUS di Indonesia. Namun, untuk sampai ke tahap implementasi, perlu ada hubungan antarindustri penghasil CO2 untuk ikut memikirkan serta memberi dukungan finansial. Di sisi lain, besarnya pendanaan proyek CCS/CCUS juga menjadi tantangan.
Pada 2021, SKK Migas menyetuju rencana pengembangan proyek Tangguh LNG oleh bp, yaitu Lapangan Ubadari dan Vorwata CCUS di Papua Barat. Dikutip dari laman bp, potensi penambahan gas dari kedua lapangan itu mencapai 1,3 triliun kaki kubik.
Pengembangan lapangan Ubadari ialah percepatan setelah melalui program appraisal dan diproduksi melalui instalasi tanpa awak yang terhubung dengan pipa lepas pantai ke fasilitas LNG Tangguh. Sementara CCUS Vorwata akan menginjeksikan kembali sekitar 25 juta ton CO2 ke reservoir Vorwata untuk mengurangi emisi karbon dan memberi tambahan produksi melalui enhanced gas recovery (pengurasan gas tingkat lanjut).