Jenama Tak Melulu Andalkan ”Cookie” Pihak Ketiga untuk Aktivitas Pemasaran
Sekitar 90 persen praktisi pemasaran digital di Asia Pasifik, sesuai riset Twilio, percaya bahwa penghapusan ”cookie” pihak ketiga dapat membantu memperkuat kepercayaan iklan di antara konsumen untuk jangka panjang.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengumpulan data untuk kepentingan pemasaran barang dan jasa kepada konsumen tidak selalu harus tergantung dengan cookie pihak ketiga dari aplikasi peramban. Apalagi, cookie pihak ketiga dilingkupi isu pelanggaran data pribadi. Jenama bisa memakai metode pengumpulan yang dikembangkan sendiri oleh perusahaan dengan tetap menjunjung tinggi perlindungan privasi.
Secara teknis, cookie merupakan file teks berisi potongan kecil data yang dibuat oleh laman yang warganet kunjungi. Dengan demikian, cookie pada peramban (aplikasi browser) adalah data berisi rekam jejak aktivitas daring warganet selama berselancar. Karena dibuat khusus untuk memudahkan menyimpan data aktivitas seperti itu, keberadaan cookie dapat dipakai untuk melacak hingga membuat referensi personal pengguna di suatu laman.
Cookie pihak ketiga dikabarkan tidak akan bisa digunakan lagi sepenuhnya untuk pengguna peramban Google Chrome mulai triwulan I-2024. Google berencana memindahkan 1 persen pengguna Chrome ke Privacy Sandbox dan menonaktifkan cookie pihak ketiga. Privacy Sandbox bertujuan untuk mengganti cookie pihak ketiga dengan pendekatan yang lebih sadar privasi.
Penyedia platform komunikasi berbasis komputasi awan, Twilio, baru-baru ini merilis laporan survei ”When Consumers Control Data: How to Build Trust and Succeed in The New Digital Era”. Twilio menyurvei sekitar 600 praktisi pemasaran di perusahaan yang berada di Singapura, Hong Kong, Australia, Filipina, Indonesia, dan Jepang.
Sesuai isi laporan survei itu, Vice President of Marketing Twilio untuk Asia Pasifik dan Jepang Nicholas Kontopoulos mengatakan, sekitar 90 persen praktisi pemasaran digital di Asia Pasifik percaya bahwa penghapusan cookie pihak ketiga dapat membantu memperkuat kepercayaan iklan di antara konsumen untuk jangka panjang. Para praktisi itu mengakui peluang membangun kepercayaan konsumen menjadi lebih besar jika menggunakan cara lain mengumpulkan data, seperti melalui zero-party data dan first-party data.
”Dalam beberapa dekade, cookie pihak ketiga pernah dianggap sebagai elemen penting dalam periklanan digital. Akan tetapi, pada saat bersamaan, cookie pihak ketiga memicu keraguan karena masalah pelanggaran data pribadi,” ujar Nicholas, Selasa (1/8/2023), di Jakarta.
Menurut Nicholas, di tengah tekanan regulasi pemerintah terkait perlindungan data pribadi yang lebih baik, sejumlah aplikasi peramban telah menghentikan dukungan terhadap cookie pihak ketiga. Di kalangan pelaku industri periklanan mulanya timbul kecemasan. Namun, melalui survei yang dilakukan Twilio, sejumlah praktisi pemasaran digital mulai menyadari ada cara lain untuk mengumpulkan data.
”Sejumlah praktisi pemasaran digital di Indonesia telah memanfaatkan sarana pengumpulan data langsung ke konsumen (zero-party data). Dalam mengoleksi data secara langsung, pemilik merek di Indonesia menggunakan aneka cara, seperti registrasi daring, pengisian formulir di laman, poling media sosial, dan survei,” ujar Nicholas.
Sementara itu, saat ditemui di acara Vibe Martech Fest di Hotel Four Seasons Jakarta, Head of Growth and Perfomance Marketing Erajaya Digital Group Edwin Octavana Mahaditya berpendapat, pemakaian cookie pihak ketiga yang dimiliki aplikasi peramban semakin kurang relevan dengan kebutuhan jenama. Data penelusuran (tracking) rekam jejak warganet selama berselancar (browsing) kerap kurang akurat.
Jika menggunakan first-data party atau data pelanggan yang dikumpulkan dan dimiliki oleh perusahaan sendiri melalui laman atau aplikasinya sendiri, jenama bisa mengumpulkan data yang paling penting buat mereka. Dia menyebutkan, salah satu cara mengumpulkan first-data party yang Erajaya lakukan melalui program poin loyalitas pelanggan. Program ini telah terintegrasi dengan berbagai unit usaha Erajaya.
”Melalui program poin loyalitas pelanggan yang terintegrasi, kami juga bisa meningkatkan kedekatan kami dengan pelanggan. Brand promises kami dapat dijaga,” katanya.
Edwin menambahkan, ketika aplikasi peramban utama mulai mengurangi dukungan terhadap cookie pihak ketiga, satu jenama dengan jenama lain bisa saling bekerja sama. Misalnya, kampanye pemasaran bersama. Selanjutnya, jenama tersebut dapat mengumpulkan data konsumen dan membuat produk yang sesuai preferensi konsumen.
Head of Data Analytics, Research, and Digital Products Jakarta Smart City, Juan Kanggrawan, menambahkan, dari sisi penyedia layanan, publik pemerintahan cenderung lebih ketat dalam urusan mengumpulkan data konsumen. Penyedia layanan publik pemerintahan juga dituntut harus selalu transparan kepada konsumen.
”Sebenarnya, selama proses menyediakan pemasaran layanan kepada konsumen, baik dari sisi swasta maupun instansi pemerintahan, harus memahami perilaku konsumen. Setelah itu baru mengumpulkan data yang sesuai obyektif tiap-tiap instansi,” ucapnya.
Juan memandang, setelah Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, kesadaran atas perlindungan data pribadi semestinya semakin meningkat di kalangan swasta ataupun penyedia layanan publik. Maka, sistem keamanan siber tiap-tiap instansi perlu diperkuat supaya meminimalkan risiko kebocoran data.
”Apa pun metode pengumpulan datanya, saya rasa privasi konsumen harus dijaga,” kata Juan, menambahkan.