Keberadaan standar baterai kian krusial di tengah perkembangan ekosistem kendaraan listrik. Dengan demikian, jenis baterai akan lebih seragam dan cocok untuk segala stasiun pengisian ulang daya kendaraan listrik.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jenis bateraikendaraan listrik yang beredar di Indonesia cukup beragam dan berpotensi memicu masalah. Standar nasional berupa regulasi untuk menyeragamkan jenis baterai kian krusial. Kendati begitu, acuan tersebut dinilai perlu fleksibel dan mampu menyesuaikan dengan teknologi yang tersedia.
Pendiri National Battery Research Institute (NBRI), Evvy Kartini, berpandangan, lebih dari 20 jenis baterai litium-ion digunakan oleh kendaraan listrik Indonesia. Keragaman jenis baterai yang ada membuat modal atau investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan kendaraan listrik semakin besar.
”Jangan menunggu investor dulu, lebih baik tetapkan standarnya. Hal ini bisa berupa regulasi. Kalau tidak ada standar, semua company (perusahaan) kendaraan listrik harus membangun stasiun pengisian daya masing-masing,” ujarnya saat jumpa pers International Battery Summit 2023 di Jakarta, Selasa (1/8/2023).
Standar jenis baterai, lanjut Evvy, berlaku dari tingkat sel sehingga battery pack—yang terdiri atas kumpulan battery cell—sudah otomatis seragam. Dengan demikian, mulai dari ukuran hingga volume jenis baterai yang beredar akan sama dan bisa digunakan di berbagai stasiun pengisian daya.
Indonesia baru memiliki standar baterai yang tergolong dasar sehingga masih bisa dikembangkan. Kondisi ini sama seperti di Korea Selatan dan India pada periode awal pengembangan baterai. Namun, saat ini, India mulai memiliki standar dan Korea Selatan telah menerbitkan dua standar baterai kendaraan listrik.
”RI bisa belajar dari Korea Selatan untuk standardisasi. Jadi, standar perlu dibuat untuk material baterai, battery cell, dan battery pack. Perusahaan-perusahaan baterai juga akan lebih mudah mengembangkan produknya ketika ada standar,” ucap Evvy.
Standar jenis baterai dinilai perlu disesuaikan dengan tipe kendaraan yang cenderung berbeda-beda, misalnya mobil dari Asia dan Eropa. Jadi, standar baterai ke depan harus sedikit fleksibel karena teknologi di satu kendaraan tidak bisa digabungkan dengan kendaraan lain.
Sementara itu, Sekretaris Kementerian Investasi atau Sekretaris Utama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Ikmal Lukman menuturkan, baterai sebetulnya bisa dibuat sesuai dengan permintaan. Ia pun menyambut baik usulan Evvy terkait pengembangan standar baterai untuk kendaraan listrik Indonesia.
Standar jenis baterai dinilai perlu disesuaikan dengan tipe kendaraan yang cenderung berbeda-beda, misalnya mobil dari Asia dan Eropa. Jadi, standar baterai ke depan harus sedikit fleksibel karena teknologi di satu kendaraan tidak bisa digabungkan dengan kendaraan lain.
”Walaupun begitu, saya sudah mendengar ada pabrik sel baterai yang bisa menyesuaikan dengan semua kendaraan. Sekitar dua tahun lagi akan datang (ke Indonesia),” ungkap Ikmal.
Menurut Evvy, baterai itu simpel, tetapi krusial bagi semua negara. Topik seputar baterai kerap berhubungan dengan kendaraan listrik. Padahal, baterai telah digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan militer suatu negara.
Baterai jenis litium-ion, misalnya, telah digunakan Jepang untuk mengoperasikan kapal selam terbarunya, Hakugei. Tenaga baterai memungkinkan kapal selam tersebut menyelam lebih lama, meminimalkan jejak panas, dan bergerak hampir tanpa suara.
Asisten Deputi Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Tubagus Nugraha menilai, pemanfaatan baterai Indonesia akan tumbuh ke arah produk yang lebih kompleks. Semakin tinggi tingkat kompleksitas produk, hal itu akan berkontribusi lebih besar terhadap produk domestik bruto (PDB).
Merujuk The Observatory of Economic Complexity (OEC) tahun 2021 yang dikembangkan Media Lab MIT, tiga peringkat teratas indeks kompleksitas ekonomi ditempati Jepang, Swiss, dan Taiwan. Sementara itu, Indonesia berada pada peringkat ke-64, tertinggal dari Vietnam (ke-61) dan Thailand (ke-23).
”Ketika berbicara baterai, spektrumnya memanjang dari hulu ke hilir. Indonesia masih bergerak dari sisi yang agak hulu, kemudian mengembangkannya menjadi berbagai produk,” kata Tubagus.
Secara spesifik untuk nikel sudah ada dua jalur pemanfaatan, yakni baja ringan (stainless steel) dan komponen pembentuk baterai. Kini mulai banyak investor masuk untuk mengembangkan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) guna meningkatkan kemurnian mineral nikel dan kobalt.
Seiring meningkatnya kebutuhan akan baterai, permintaan komponen dasarnya turut naik. Saat ini, kapasitas produksi nikel nasional baru 1,6 juta ton per tahun dan akan terus meningkat hingga mencapai 4 juta per tahun pada 2030.