EUDR Dinilai Hambat Perdagangan dan Rugikan Petani
Keputusan Uni Eropa menerapkan regulasi antideforestasi berpotensi menghambat perdagangan dan dinilai bakal merugikan petani. Tak terkecuali petani beberapa komoditas ekspor RI, seperti sawit, karet, kopi, dan kakao.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain dinilai diskriminatif, Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR dianggap bakal menghambat perdagangan. Regulasi tersebut juga diyakini akan berdampak langsung bagi petani sawit, kakao, kopi, dan komoditas lain di Tanah Air. Padahal, komoditas tersebut justru dapat menjadi solusi atas isu penggundulan hutan yang menjadi dasar EUDR.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Selasa (1/8/2023), mengatakan, selain persaingan dagang antara Amerika Serikat dan China serta dampak konflik Rusia-Ukraina, Indonesia menghadapi tantangan berupa proteksionisme perdagangan, antara lain terkait isu lingkungan dan perubahan iklim melalui EUDR. Proteksionisme yang diterapkan oleh negara-negara maju di Uni Eropa ini bersifat diskriminatif, terutama terhadap komoditas ekspor Indonesia.
”Kebijakan ini berpotensi diskriminatif, terutama atas ketentuan kriteria negara yang berisiko (high risk), kita bisa di-blacklist (masuk daftar hitam). Kami juga melihat kebijakan ini menciptakan hambatan perdagangan yang tidak perlu melalui kewajiban uji tuntas dan sanksi atas pelanggaran,” katanya dalam ”FoodAgri Insight on Location: Melawan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa” yang diselenggarakan oleh Kementerian Perdagangan dan CNBC Indonesia.
Sebagaimana diketahui, EUDR mewajibkan produk yang diekspor atau diimpor oleh Uni Eropa harus bebas dari deforestasi atau penggundulan hutan. Saat ini, regulasi tersebut sedang memasuki masa transisi dan akan berlaku per Januari 2025.
Oleh karena itu, pemerintah kini tengah mencari jalan tengah agar saat regulasi tersebut diberlakukan, tidak ada pihak yang dirugikan. Zulkifli menambahkan, EUDR berdampak negatif terhadap produk-produk ekspor Indonesia dan merugikan para petani.
”Kami merasa keberatan dan akan memanfaatkan momentum Indonesia-EU CEPA (perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa) ke-15 pada pertengahan Juli 2023 ini untuk mengklarifikasi aturan dan kebijakan antideforestasi yang sifatnya multiinterpretasi. Uni Eropa ini tidak konsisten, tanaman kopi dianggap merusak lingkungan, tetapi mereka juga beli batubara dari kita,” ujarnya.
Meski tidak terlalu signifikan, kata Zulkifli, EUDR cukup berdampak bagi kinerja ekspor Indonesia. Pada tahun 2022, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa tercatat hampir 7,2 miliar dollar AS, terdiri dari komoditas sawit, karet, kakao, kopi, dan kayu.
Jika hasil pertanian tidak tertampung, tentu ini akan menimbulkan gejolak sosial. Artinya, tidak mengentaskan kemiskinan, tetapi justru menambah kemiskinan.
Di sisi lain, kebijakan tersebut justru akan berdampak langsung bagi petani komoditas terkait, seperti kelapa sawit, kakao, dan kopi. Sebab, tercatat ada 8 juta petani kecil yang berkecimpung dalam komoditas-komoditas tersebut.
Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menjelaskan, EUDR terutama akan berdampak bagi petani. Ini karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang memperbolehkan para petani menanam semua komoditas yang diinginkan.
”Petani tidak ada moratorium untuk sawit karena ada UU No 12/1992 yang membebaskan mereka untuk menanam semua komoditas yang diinginkan. Di sisi lain, jika hasil pertanian tidak tertampung, tentu ini akan menimbulkan gejolak sosial. Artinya, tidak mengentaskan kemiskinan, tetapi justru menambah kemiskinan,” tuturnya.
Selain itu, kebijakan EUDR juga mewajibkan para petani yang memiliki lahan lebih dari 4 hektar untuk melakukan geolocation atau menentukan koordinat lokasi guna pemantauan deforestasi. Hal ini tentu akan menyulitkan petani.
Menurut Eddy, sertifikasi lahan bebas deforestasi yang menjadi mandat dalam EUDR sebenarnya telah dirumuskan dalam Roundtable Sustanaible Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustanaible Palm Oil (ISPO). Namun, RSPO sebagai produk yang juga dibuat oleh Uni Eropa justru tidak diakui dalam EUDR.
Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 menyebut, terdapat sekitar 6,9 juta petani di hulu dan 16,2 juta pekerja di hilir. ”Semua tidak diakui oleh EUDR, baik RSPO maupun ISPO. Hanya saja, RSPO kemungkinan bisa diterima sebagai acuan karena lebih dulu dibuat. Sekarang sedang diperjuangkan oleh pemerintah melalui Indonesia-EU CEPA,” kata Eddy.
Ketua Departemen Sosialisasi dan Industri Badan Pengurus Pusat Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Moelyono Soesilo menambahkan, para eksportir kopi juga telah mengikuti sertifikasi sehingga rata-rata kopi yang diekspor telah bersertifikat Common Good for Coffee Community. Terkait dengan isu deforestasi, penanaman kopi sudah tidak lagi merambah daerah hutan.
Dampak
Penerapan kebijakan EUDR, kata Moelyono, justru akan memengaruhi kebutuhan impor kopi di negara-negara Uni Eropa. Secara keseluruhan, total ekspor kopi dari Indonesia ke Uni Eropa mencapai 25 persen atau 85.000 ton per tahun.
”Mereka sebenarnya lebih membutuhkan kita daripada kita membutuhkan mereka mengingat di sana tidak ada penghasil kopi. Apalagi, Uni Eropa bukan satu-satunya tujuan ekspor, (melainkan ada tujuan lain) seperti Eropa Timur, Timur Tengah, dan negara-negara di Asia,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Kakao Arif Zamroni memaparkan, sebagian industri kakao besar skala multinasional berada di Indonesia. Pemberlakuan EUDR justru akan berdampak pada pelaku usaha coklat asal Uni Eropa lantaran sebagian besar bahan bakunya dipasok oleh Indonesia.
Deforestasi yang digaungkan dalam EUDR, kata Arif, tidak berhubungan dengan tanaman kakao. Sebab, selama ini kakao tidak pernah ditanam dengan cara membabat hutan.
”Cokelat (kakao) adalah tanaman sela dan tanaman kedua setelah tegakan. Artinya, kakao membutuhkan penaung sehingga kakao justru menjadi solusi atas deforestasi. Jadi, salah sasaran kalau kakao dianggap sebagai deforestasi,” katanya.