Studi Bank Dunia tahun 2017 melaporkan, jumlah pekerja migran Indonesia di luar negeri mencapai 9 juta orang. Padahal, data resmi Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) terkini mencatat jumlahnya hanya 4,7 juta orang. Selisih data pun dianggap sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja secara nonprosedural di luar negeri.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, sekitar 2.200 jenazah—sebanyak dua sampai tiga peti jenazah per hari—pekerja migran dipulangkan dari luar negeri. Sebanyak 3.500 pekerja migran pulang dalam kondisi sakit, depresi ringan hingga berat, hilang ingatan, bahkan cacat fisik. Adapula 103.000 pekerja migran dideportasi karena kasus keimigrasian.
”Jenazah yang dipulangkan serta pekerja migran yang sakit ini, sebesar 95 persen dari mereka berangkat secara ilegal. Ini alarm bahwa penempatan ilegal sangat berbahaya. Negara tak boleh kalah melawan sindikat dan mafia penempatan ilegal,” ujarnya dalam peluncuran Portal Satu Data Pekerja Migran Indonesia dan Anjungan Informasi Mandiri, di Jakarta, Senin (31/7/2023).
Acara itu turut dihadiri perwakilan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Integrasi data pekerja migran dengan portal data nasional, kata Benny, akan membantu penanggulangan penempatan ilegal. Data milik BP2MI kini terintegrasi dengan kementerian dan lembaga lainnya sehingga tata kelola pekerja migran kian komprehensif.
Perlawanan terhadap mafia dan sindikat penempatan ilegal bisa berlangsung dari berbagai sisi. Penempatan ilegal yang membuat pekerja migran Indonesia terpapar risiko kekerasan seksual dan fisik, ketidakpastian upah, pemutusan hubungan kerja sepihak, diperjualbelikan dari majikan ke majikan, hingga eksploitasi jam kerja.
”Kolaborasi data antar-kementerian dan lembaga akan memperkuat tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Apalagi, saat ini merupakan era digitalisasi dan modernisasi data menjadi single big data,” tuturnya.
Selain itu, hingga hari ini BP2MI telah menerima sedikitnya 45.000 pengaduan yang sangat beragam dari pekerja migran Indonesia. Setiap kementerian dan lembaga dapat mengambil peran dan berkolaborasi menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini mengingat portal data menyediakan identitas pekerja migran, atasan, titik koordinat lokasi pekerjaan, dan lainnya.
Dengan demikian, perlawanan terhadap mafia dan sindikat penempatan ilegal bisa berlangsung dari berbagai sisi. Penempatan ilegal yang membuat pekerja migran Indonesia terpapar risiko kekerasan seksual dan fisik, ketidakpastian upah, pemutusan hubungan kerja sepihak, diperjualbelikan dari majikan ke majikan, hingga eksploitasi jam kerja.
Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Oktorialdi menuturkan, setiap kementerian dan lembaga bisa berkontribusi serta berkolaborasi dalam pertukaran data. Ketersediaan data yang masif terkait pekerja migran diharapkan mampu menjadi bahan untuk melahirkan kebijakan nasional ke depan.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, data pekerja migran Indonesia sudah seharusnya terintegrasi, termasuk pengelolaannya. Hal ini mencakup data BP2MI, Kementerian Luar Negeri, Kemenaker, hingga Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri.
”Kalau kementerian dan lembaga punya data masing-masing dan tak terkoneksi, merupakan hal yang sia-sia. Pengelolaan data harus kolektif, mulai dari penempatan, pemulangan, hingga mobilitas pekerja migran di luar negeri,” jelasnya.
Selanjutnya, mafia atau sindikat penempatan ilegal pekerja migran juga meliputi oknum-oknum pemerintahan yang menyalahgunakan wewenang mereka. Digitalisasi perlu dilanjutkan hingga metode pembayaran penempatan yang selama ini cenderung manual.
Proses manual dalam penempatan pekerja migran membuka ruang terjadinya suap hingga pungutan liar. Kalau persoalan ini belum terselesaikan, ungkap Wahyu, mafia atau sindikat penempatan ilegal akan terus berkolaborasi dengan oknum pegawai pemerintahan. Dalam kondisi ini, calon pekerja migran adalah pihak yang paling dirugikan.