Di Balik Program Perdagangan untuk Pangan dan Perdamaian WTO
Dalam 15 tahun terakhir, dampak kekerasan terhadap ekonomi global meningkat 6,9 persen dari 16,4 triliun dollar AS pada 2008 menjadi 17,5 triliun dollar AS pada 2022. PDB global yang hilang juga meningkat 45 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Dalam dua forum berbeda, Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO menyerukan dua program perdagangan penting yang perlu digarap setiap negara. Kedua program itu adalah Perdagangan untuk Pangan dan Perdagangan untuk Perdamaian.
Program Perdagangan untuk Pangan kembali diserukan WTO dalam Konferensi Tingkat Tinggi Sistem Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Roma, Italia, 24-26 Juli 2023. Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, perdagangan harus mampu membantu orang dan negara mengatasi krisis ketahanan pangan yang tengah terjadi.
”Upaya itu dimulai dengan melonggarkan restriksi dan meningkatkan akses ekspor pangan dan pupuk,” ujarnya melalui siaran pers, Rabu (26/7/2023).
Adapun program Perdagangan untuk Perdamaian kembali ditekankan WTO dalam diskusi panel bertajuk ”Measuring Peace in an Interconnected and Unstable World” di Geneva, Swiss, pada 20 Juli 2023. Wakil Direktur Jenderal WTO Zhang Xiangchen menyatakan, setiap negara di dunia perlu membuat sistem perdagangan multilateral bekerja untuk rakyat, terutama di negara-negara terdampak konflik.
Program itu menekankan peran integrasi perdagangan dan ekonomi setiap negara dan kawasan untuk mempromosikan perdamaian dan keamanan. Program tersebut menargetkan terciptanya kolaborasi antara komunitas perdagangan, perdamaian, dan kemanusiaan untuk meningkatkan peluang memanfaatkan sistem perdagangan multilateral.
Setiap negara di dunia perlu membuat sistem perdagangan multilateral bekerja untuk rakyat, terutama di negara-negara terdampak konflik.
WTO kembali menekankan pentingnya kedua program itu setelah Rusia menarik diri dari Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam (Black Sea Grain Initiative) pada 17 Juli 2023. Konflik tersebut telah menyebabkan dampak dan biaya ekonomi bertambah besar. Tentu tidak hanya bagi kedua negara, tetapi juga dunia.
Pada 28 Juni 2023, Institut Ekonomi dan Perdamaian (IEP) menyebutkan, dampak kekerasan, termasuk perang dan konflik internal, terhadap ekonomi global sangat besar. Dampak kekerasan itu mencakup dampak langsung, tidak langsung, dan berganda.
Dalam 15 tahun terakhir, 2008-2022, dampak kekerasan terhadap ekonomi global meningkat 6,9 persen dari 16,4 triliun dollar AS pada 2008 menjadi 17,5 triliun dollar AS pada 2022. Produk domestik bruto (PDB) global yang hilang juga meningkat 45 persen dari 194,1 miliar dollar AS pada 2008 menjadi 280,8 miliar dollar AS pada 2022.
Dari 15 indikator, pengeluaran militer pada 2022 tumbuh paling pesat sebesar 16,8 persen secara tahunan. Pertumbuhan biaya menjaga dan membangun perdamaian justru terkontraksi masing-masing -44,9 persen dan -25,9 persen secara tahunan.
Dalam 15 tahun terakhir, 2008-2022, dampak kekerasan terhadap ekonomi global meningkat 6,9 persen dari 16,4 triliun dollar AS pada 2008 menjadi 17,5 triliun dollar AS pada 2022.
IEP juga menyebutkan, invasi Rusia di Ukraina menyebabkan dampak kekerasan terhadap ekonomi negara tersebut mencapai 543,4 miliar dollar AS pada 2022. Nilainya setara dengan 63 persen PDB Ukraina dan terbesar dari 162 negara lain.
Tentu saja IEP tidak hanya mencatat perang Rusia-Ukraina yang memengaruhi peningkatan dampak kekerasan terhadap ekonomi global. Konflik di kawasan Timur Tengah; Asia, termasuk Myanmar; dan blokade China terhadap Taiwan turut disinggung.
Peran Indonesia
IEP juga mencatat, dampak kekerasan terhadap ekonomi di Indonesia pada 2022 sebesar 144,65 miliar dollar AS. Biaya ekonomi yang dikeluarkan Indonesia untuk meredam atau memitigasi dampak kekerasan itu sebesar 76,8 miliar dollar AS. IEP tidak mengulas secara mendalam, baik penyebab maupun pengeluaran biaya Indonesia. IEP hanya sedikit menyinggung terjadinya peningkatan kekerasan di Papua Barat.
Terlepas dari itu, dampak kekerasan terhadap ekonomi global turut dirasakan Indonesia. Perang Rusia-Ukraina yang berimbas pada lonjakan harga pangan dan energi global merembet ke Indonesia. Harga bahan bakar minyak dan gas nonsubsidi, gula, jagung, pupuk, dan gandum melonjak. Biaya logistik, terutama pengapalan barang, juga turut naik.
Di tengah ancaman El Nino terhadap sektor pangan global dan domestik, Rusia justru menarik diri dari Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam. Hal tersebut bakal menjadi momok bagi negara-negara pengimpor pangan dan pupuk, termasuk Indonesia, karena berpotensi kembali mendorong kenaikan inflasi pangan global.
Tidak hanya itu, tren negara mengamankan pasokan pangan demi kepentingan domestik juga tengah menguat. India, misalnya. Setelah pada Mei 2022 melarang ekspor gandum, India mengurangi separuh ekspor beras putih nonbasmati sejak 20 Juli 2023. Padahal, tahun ini, Indonesia berencana mengimpor 1 juta ton beras dari India.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan, inflasi global diperkirakan turun dari 8,7 persen pada tahun lalu menjadi 6,8 persen pada tahun ini. Kendati turun, tingkat inflasi itu masih tinggi. Rusia yang menarik diri dari Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam dan pembatasan ekspor beras India berpotensi meningkatkan inflasi.
”Langkah India membatasi ekspor jenis beras tertentu dapat memperburuk inflasi harga pangan. Pembatasan ekspor itu akan menimbulkan efek yang sama dengan penangguhan kesepakatan ekspor biji-bijian Laut Hitam Ukraina, yakni menaikkan harga komoditas tersebut di negara lain. Harga biji-bijian global bisa naik 10-15 persen tahun ini,” kata Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas Selasa (25/7/2023).
Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi berpendapat, dalam keketuaan ASEAN 2023, Indonesia perlu merespons kondisi dunia terkini. Selain berupaya menjaga perdamaian kawasan, Indonesia diharapkan dapat membawa negara-negara anggota ASEAN lain menjaga ketahanan pangan regional.
”Indonesia dapat menginisiasi negara-negara anggota ASEAN lain untuk membangun lumbung pangan regional,” kata Fithra.
ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) telah menyerukan pentingnya kerja sama antarnegara ASEAN untuk meningkatkan produktivitas pangan, antara lain, sorgum, padi, jagung, dan kedelai. Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan juga Ketua ASEAN-BAC Arsjad Rasjid mengatakan, hal itu perlu dilakukan di tengah upaya pemerintah setiap negara menangani inflasi dan memperkuat ketahanan pangan.
ASEAN-BAC akan mendukung ASEAN Integrated Food Security Framework (AIFS). Salah satunya melalui program strategis 2021-2025, yakni mempromosikan pasar makanan yang kondusif dan perdagangan yang lebih berfokus pada usaha kecil menengah dan teknologi pertanian.