Sampai triwulan I-2023, jumlah nominal transaksi QRIS mencapai Rp 49,65 triliun. Adapun jumlah pengguna sebanyak 37 juta dan jumlah ”merchant” 26,7 juta, yang sebagian besar adalah UMKM.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia merevisi besaran pengenaan tarif pembayaran pindai cepat kode unik QRIS untuk pedagang skala mikro dari sebelumnya 0,3 persen untuk semua transaksi menjadi nol persen untuk transaksi sampai dengan Rp 100.000. Tarif 0,3 persen dikenakan untuk transaksi di atas Rp 100.000. Pihaknya beralasan ini merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi usaha mikro dan penyedia jasa pembayaran secara bersamaan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan, besaran merchant discount rate (MDR) atau tarif pembayaran menggunakan metode QRIS segmen usaha mikro (UMI) diterapkan secara progresif. Transaksi sampai dengan Rp 100.000 dikenai MDR nol persen. Adapun transaksi di atas Rp 100.000 dikenai MDR 0,3 persen.
”Masa berlaku efektif secepat-cepatnya 1 September 2023 dan selambat-lambatnya 30 November 2023 sesuai dengan kesiapan sistem industri,” ujar Perry dalam jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, Selasa (25/7/2023).
Ia menjelaskan, perubahan ini untuk mengakomodasi semua pihak, mulai dari pelaku usaha mikro hingga penyedia jasa pembayaran (PJP). Selain itu, kebijakan ini untuk melanjutkan program digitalisasi sistem pembayaran dalam negeri dengan cepat, mudah, dan murah.
Pihaknya akan terus mengakselerasi pengembangan fitur QRIS, yakni QRIS Tuntas (Tarik Tunai Setor). Ke depan, penggunaan QRIS bisa untuk tarik dan setor tunai. Pihaknya juga tengah mengembangkan QRIS antarnegara. Dengan demikian, warga negara Indonesia bisa menyelesaikan pembayaran di negara yang bekerja sama dengan Indonesia cukup dengan memindai QRIS.
Mengutip data BI, sampai dengan triwulan I-2023, jumlah nominal transaksi QRIS mencapai Rp 49,65 triliun atau bertumbuh 104,64 persen secara tahunan. Adapun jumlah pengguna sebanyak 37 juta dan jumlah merchant sebanyak 26,7 juta, yang sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Industri UMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny menyambut baik revisi tarif itu. Setidaknya ada sedikit keringanan bagi pelaku usaha mikro apabila menangani transaksi dengan jumlah hingga Rp 100.000.
Namun, menurut dia, batasan transaksi bebas tarif sebesar Rp 100.000 itu masih terlalu kecil. Ia mengatakan, kemungkinan jumlah orang berbelanja melebihi Rp 100.000 sangat besar sehingga masih memungkinkan pedagang terkena beban tarif 0,3 persen.
Ia menambahkan, angka 0,3 persen terlihat kecil. Namun, jika dikali dengan tiap transaksi dan dihitung per bulan, nilainya akan menjadi cukup besar.
Dia memahami, PJP tentu memerlukan sejumlah uang untuk perawatan jaringan dan investasi lanjutan dari tarif MDR itu. Namun, besaran 0,3 persen untuk transaksi di atas Rp 100.000 tetap dirasa memberatkan UMKM. Ia mengatakan, lebih baik tarif MDR itu diturunkan saja seluruhnya menjadi 0,1 persen per transaksi.
Selain itu, dia juga mengusulkan biaya tarif itu dibayar saja dari biaya program pengembangan UMKM dari bank-bank besar yang juga merupakan bagian dari PJP. Alternatif lain, pemerintah bisa memberikan subsidi agar tarif itu tidak menjadi beban baru bagi UMKM.