Realisasi Investasi Semester I-2023 Mencapai Rp 678,7 Triliun
Selama enam bulan, realisasi investasi di Indonesia mencatatkan hasil yang positif. Walakin, investasi tetap perlu memperhatikan terciptanya serapan lapangan kerja.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi investasi pada semester I-2023 tercatat tumbuh 16,1 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Stabilitas ekonomi dan politik diharapkan tetap terjaga selama semester II-2023 agar target investasi bisa tercapai.
Kementerian Investasi melaporkan, total investasi selama semester I-2023 terealisasi senilai Rp 678,7 triliun atau naik 16,1 persen secara tahunan. Sementara pada kuartal II-2023 realisasi investasi mencapai Rp 349,8 triliun atau naik 15,7 persen secara tahunan dan 15,7 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Perolehan selama satu semester ini mencapai 48,5 persen dari target investasi yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2023 senilai Rp 1.400 triliun. Adapun selama tahun 2022, realisasi investasi mencapai Rp 1.207,2 triliun atau melebihi target sebesar Rp 1.200 triliun.
Penanaman modal selama satu semester ini tercatat masih didominasi oleh investor asing (penanaman modal asing/PMA) yang mencapai Rp 363,3 triliun, atau 53,5 persen dari total realisasi investasi. Sementara penanaman modal yang berasal dari pelaku usaha dalam negeri (penanaman modal dalam Negeri/PMDN) senilai Rp 315,4 triliun.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pihaknya optimistis dapat mencapai target investasi pada tahun 2023 lantaran realisasi satu semester tumbuh positif. Selain itu, pertumbuhan investasi tersebut juga mencerminkan tingginya tingkat kepercayaan investor, baik global maupun dalam negeri, terhadap prospek perekonomian Indonesia.
”Tahun ini, Kementerian Investasi diberikan tanggung jawab untuk menghimpun Rp 1.400 triliun tanpa sektor hulu minyak dan gas bumi serta sektor keuangan sebagai syarat untuk pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Ini karena defisit anggaran kita sudah kembali normal, yakni di bawah 3 persen sehingga investasi dibutuhkan untuk menutupi kekurangan itu,” ujar Bahlil dalam konferensi pers Jumat (21/7/2023) di Kantor Kementerian Investasi Jakarta.
BKPM juga mencatat, jumlah investasi pada periode Januari-Juni 2023 secara akumulatif paling besar berada di luar Jawa, yakni senilai Rp 354,9 triliun atau 52,3 persen dari total investasi, sedangkan investasi di Jawa tercatat senilai Rp 323,8 triliun. Investasi di kedua wilayah tersebut sama-sama bertumbuh 16,1 persen secara tahunan.
Pemerataan pembangunan terus didorong dan pemerintah memberikan insentif secara adil bagi daerah-daerah yang infrastrukturnya belum bagus. Ke depan, ketika semua sudah bagus, tentu insentifnya dicabut.
Walakin, lima provinsi dengan jumlah investasi terbesar mayoritas berada di Jawa. Kelima provinsi tersebut ialah Jawa Barat senilai Rp 53,7 triliun, DKI Jakarta senilai Rp 43 triliun, Jawa Timur senilai Rp 31,1 triliun, Sulawesi Tengah senilai Rp 26,6 triliun, dan Banten senilai Rp 24,9 triliun.
Bahlil menambahkan, persentase penanaman modal di wilayah luar Jawa terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan, pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan pemerataan pembangunan di Indonesia.
”Pemerataan pembangunan terus didorong dan pemerintah memberikan insentif secara adil bagi daerah-daerah yang infrastrukturnya belum bagus. Ke depan, ketika semua sudah bagus, tentu insentifnya dicabut,” lanjutnya.
Pada semester pertama tahun 2023 ini, para investor cenderung menanamkan investasi ke sektor padat modal dan padat teknologi. Kelima sektor padat modal tersebut, ialah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya (Rp 89 triliun); transportasi, gedung dan telekomunikasi (Rp 79,1 triliun); industri pertambangan (Rp 71,4 triliun); perumahan, kawasan industri dan perkantoran (Rp 58,3 triliun), serta sektor kimia dan farmasi (Rp 48,1 triliun).
Padahal, saat ini Indonesia tengah membutuhkan banyak lapangan pekerjaan guna mengurangi tingkat pengangguran. Kecenderungan penanaman modal terhadap sektor padat modal dan padat teknologi, menurut Bahlil, tidak lepas dari arah perkembangan dunia yang semakin maju.
”Ke depannya, pemerintah akan melakukan blending antara tenaga kerja pada sektor padat karya dan keterampilan yang lebih tinggi. Kita perlu menyiapkan jurusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar,” tutur Bahlil.
Pemerintah tetap perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor padat karya. Sektor padat karya diperlukan untuk mengakomodasi tenaga kerja yang secara keterampilan belum cukup mumpuni. Namun, lanjut Bahlil, tidak bisa dimungkiri jika di masa yang akan datang, sektor padat karya akan hilang karena perkembangan teknologi.
Menurut Bahlil, tenaga kerja yang diserap berkat investasi sepanjang semester I-2023 mencapai 849.181 orang atau naik sekitar 33 persen secara tahunan.
Bahlil menambahkan, pihaknya optimistis target investasi pada tahun 2023 dapat tercapai. Hal ini didukung dengan realisasi investasi yang dalam setengah tahun telah mencapai hampir separuh dari target.
”Sekarang, realisasi kita, kan, sudah mencapai hampir 50 persen dan biasanya, titik puncaknya itu ada di kuartal keempat. Jadi, yang penting, gejolak politiknya tidak terlalu kencang,” tuturnya.
Secara terpisah, peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menjelaskan, investasi pada sektor padat modal cenderung dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi. Sebaliknya, investasi terhadap sektor padat karya cenderung memiliki nilai tambah yang rendah.
”Jadi, pemerintah perlu mendorong investasi sebanyak-banyaknya, terutama ke sektor manufaktur. Sebab, sektor manufaktur mampu menyerap tenaga kerja dengan lebih optimal,” ujarnya.
Namun, hal itu tergantung dari stabilitas ekonomi dan politik negara bersangkutan. Stabilitas merupakan salah satu faktor yang berdampak signifikan atas keputusan investor menanamkan modalnya.
”Apa yang perlu dilakukan pemerintah adalah menjaga iklim investasi tetap baik, melanjutkan reformasi kebijakan yang sudah dibangun, dan mendukung iklim usaha. Terkait dengan tahun politik, ada kecenderungan dari para investor untuk wait and see dan diharapkan akan kembali tumbuh pesat pascapemilu,” ucapnya.