Indonesia Bisa Kembangkan Karet Sintetis secara Masif
Pengembangan karet sintetis dari karet alam bisa mendongkrak perekonomian nasional. Sebagai penghasil karet alam terbesar nomor dua di dunia, Indonesia juga bisa menjadi pemain global karet sintetis.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Modifikasi karet alam menjadi karet sintetis mampu meningkatkan nilai ekonomi karet. Hal ini mengingat pamor karet alam kian tergerus dan dominasi karet sintetis pada industri ban. Kendati begitu, pengolahan karet sintetis dari bahan baku karet alam butuh penelitian dan inovasi lebih lanjut.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Kementerian Perindustrian (Kemenperin), impor karet sintetis Indonesia meningkat dari 304.923 ton pada 2020 menjadi 370.609 ton pada 2021. Sebagian kebutuhan karet sintetis nasional masih dipenuhi melalui impor.
Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Azis Pane mengatakan, karet sintetis umumnya terbuat dari minyak bumi, batubara, minyak, gas alam, dan asetilena. Kondisi ini membuat karet sintetis menjadi produk tidak ramah lingkungan dan berkelanjutan.
”Kalau bisa mengembangkan karet sintetis dari karet alam, Indonesia bisa menjadi pemain karet alam dan sintetis kelas dunia,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (19/7/2023).
Pembuatan karet sintetis dari karet alam, lanjut Azis, tidak mustahil dan bisa menjadi metode alternatif dalam menyiasati keterbatasan sumber daya. Sebab, keduanya memiliki sifat yang cenderung sama meski karet sintetis lebih ringan ketimbang karet alam.
Sebagai negara penghasil karet alam terbesar nomor dua di dunia, Indonesia juga bisa berkontribusi pada komoditas karet sintetis. Walakin, campuran bahan kimia yang diperlukan dalam produksi karet sintetis dari karet alam butuh penelitian lebih lanjut. Sejumlah negara di Asia Tenggara telah memulainya.
Permintaan karet mayoritas berasal dari industri ban. Sementara industri ban banyak menggunakan karet sintetis. Akibatnya, pamor karet alam terus-menerus tergerus. Jadi, karet sintetis merupakan masa depan karet alam.
Secara spesifik, lembaga penelitian dan riset tingkat nasional hingga kampus bisa mulai mendalami, khususnya pada bidang kimia. Modifikasi karet alam menjadi karet sintetis, kata Azis, sempat menjadi topik pembahasan sejumlah kampus.
”Permintaan karet mayoritas berasal dari industri ban. Sementara industri ban banyak menggunakan karet sintetis. Akibatnya, pamor karet alam terus-menerus tergerus. Jadi, karet sintetis merupakan masa depan karet alam,” tutur Azis yang juga selaku Ketua Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI).
Berdasarkan catatan Kompas, sebelum dikenal karet sintetis, karet alam merupakan bahan baku industri karet dunia. Namun, sejak Perang Dunia II, produksi karet sintetis berkembang pesat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kebutuhan karet dunia yang tak mampu dipenuhi oleh karet alam pun telah dipenuhi oleh karet sintetis.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Merrijantij Punguan Pintaria menuturkan, industri karet hilir seperti ban memerlukan karet sintetis sebesar 11-12 persen dari total bahan baku. Akan tetapi, Indonesia baru mampu memproduksi tiga jenis karet sintetis, yakni styrene butadiene rubber (SBR), polybutadiene rubber (PBR), dan styrene butadiene latex (SBL).
Indonesia memiliki kapasitas produksi SBR sebesar 155.000 ton per tahun, PBR sebesar 40.000 ton per tahun, dan SBL sebesar 98.000 ton per tahun. Meski mampu memproduksi beberapa jenis, data BPS yang diolah Kemenperin mencatat, sekitar 66 persen impor karet sintetis pada 2021 merupakan SBR, PBR, dan SBL.
”Saat ini, kebutuhan industri karet sintetis nasional masih dipenuhi melalui impor. Pada 2021, impor karet sintetis Indonesia mencapai 370.000 ton dengan nilai 840 juta dollar AS,” kata Merrijantij.
Selain ketiga jenis karet sintetis yang bisa diproduksi dalam negeri, Indonesia juga mengimpor jenis lainnya, seperti nytrite butadine rubber (NBR), isobutene isoprene rubber (IIR), isoprene rubber (IR), dan etylene propylene rubber (EPR).
Kebutuhan karet sintetis nasional mayoritas atau 57 persen digunakan untuk industri ban. Adapun untuk memenuhi industri kertas kemasan sebesar 12 persen, industri manufacture rubber goods (MRG) sebesar 9 persen, industri sarung tangan karet sebesar 4 persen, industri vulkanisir ban sebesar 3 persen, industri sol sepatu sebesar 1 persen, dan industri lainnya sebesar 11 persen.