Siasat Ekspor Tak Optimal Sebabkan Surplus Menurun
Kendati neraca perdagangan Juni 2023 masih surplus, ada kecenderungan kinerja ekspor produk bernilai tambah dari Indonesia terus melemah. Hal ini perlu diantisipasi lebih lanjut.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan ekspor pada semester I-2023 akibat tertekannya permintaan pasar dunia turut menyebabkan anjloknya surplus neraca perdagangan Indonesia. Padahal, apabila mampu menyiasati tekanan tersebut dengan diversifikasi produk dan tujuan ekspor, neraca perdagangan Indonesia dapat lebih berdaya tahan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, neraca perdagangan Indonesia sepanjang semester I-2023 tercatat surplus sebesar 19,93 miliar dollar AS atau anjlok 20,24 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Adapun surplus tersebut terbentuk dari nilai ekspor total sebanyak 128,66 miliar dollar AS dan total impor 108,73 miliar dollar AS
Nilai ekspor total itu melorot 8,86 persen dibandingkan dengan semester I-2022. ”Penurunan sejumlah komoditas ekspor industri pengolahan cukup dalam, seperti besi dan baja, kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, minyak kelapa sawit mentah, sepatu olahraga, dan pupuk,” kata Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta, Senin (17/7/2023).
Berdasarkan sektornya, ekspor industri pengolahan yang senilai 91,47 miliar dollar AS berkontribusi 71,09 persen terhadap nilai total ekspor sepanjang semester I-2023. Nilai ekspor industri itu merosot 10,19 persen dibandingkan dengan periode sama di tahun sebelumnya. Nilai ekspor pertambangan dan lainnya juga turun 6,72 persen menjadi 27,21 miliar dollar AS, sedangkan kelompok pertanian turun 3,41 persen menjadi 2,13 miliar dollar AS.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani, kinerja ekspor Indonesia pada semester I-2023 sangat dipengaruhi oleh permintaan global. Padahal, Indonesia mampu menciptakan kinerja ekspor yang lebih berdaya tahan dengan diversifikasi produk dan pasar tujuan.
”Kami juga mengkhawatirkan kinerja ekspor produk bernilai tambah yang terus melemah, khususnya yang bersifat padat karya, seperti garmen dan sepatu,” ujarnya saat dihubungi, Senin.
Data BPS menunjukkan, nilai ekspor produk industri tekstil sepanjang semester I-2023 sebanyak 1,83 miliar dollar AS dan anjlok 23,3 persen secara tahunan. Nilai ekspor produk industri pakaian jadi juga jeblok 21,2 persen menjadi 3,93 miliar dollar AS. Ekspor produk industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki merosot 17,35 persen menjadi 3,81 miliar dollar AS.
Agar kinerja ekspor dapat meningkat, Shinta berpendapat, Indonesia perlu deregulasi sejumlah aturan ekspor dengan beban prosedural atau birokrasi yang efisien. Penyederhanaan regulasi ini dibutuhkan untuk persyaratan ekspor sejumlah produk yang tidak berlaku di negara tujuan, tetapi diminta di Indonesia.
Masih surplus
Sementara itu, berdasarkan kelompok penggunaannya, angka impor bahan baku/penolong sepanjang semester I-2023 berada di posisi 80,06 miliar dollar AS dengan proporsi 73,63 persen terhadap nilai impor total. Kelompok impor itu merosot 11,14 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Menurut Atqo, komoditas yang impornya turun pada semester I-2023 antara lain mesin peralatan mekanik dan elektronik. Di sisi lain, impor barang modal naik 13,97 persen menjadi 18,89 miliar dollar AS, sedangkan barang konsumsi meningkat 2,81 persen menjadi 9,77 miliar dollar AS.
Shinta mengatakan, kinerja impor Indonesia tertekan inflasi tinggi sepanjang semester I-2023 yang baru mereda pada Mei 2023. Inflasi ini membebani langkah ekspansi pelaku industri dalam berproduksi di tengah melambatnya permintaan. Selain itu, iklim usaha yang semakin kental dengan suasana pergantian pemimpin di Tanah Air turut membuat pelaku industri menunggu dan melihat dalam berekspansi.
Dengan kinerja ekspor dan impor itu, neraca perdagangan pada Juni 2023 masih mencatatkan surplus senilai 3,45 miliar dollar AS atau melonjak drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang sekitar 430 juta dollar AS. ”Surplus meningkat tajam dibandingkan dengan bulan sebelumnya, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan Juni 2022 yang senilai 5,14 miliar dollar AS,” kata Atqo.