Pipa Gas Cisem Tahap I Capai 96 Persen, Infrastruktur Lain Terus Dipacu
Kemajuan pembangunan pipa transmisi gas bumi Cirebon-Semarang pada Tahap I hingga pertengahan Juli 2023 telah mencapai 96 persen. Industri-industri ditargetkan menerima gas melalui jalur tersebut pada Agustus 2023.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah sempat tanpa kejelasan selama beberapa tahun, pembangunan pipa transmisi gas bumi Cirebon-Semarang yang dimulai pada Mei 2022 kini telah mencapai 96 persen untuk tahap I, yakni ruas Semarang-Batang. Hal itu menjadi langkah positif yang mesti terus diikuti pembangunan infrastruktur gas bumi lain, baik di dalam maupun luar Jawa.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (16/7/2023), memandang positif kemajuan proyek pipa transmisi gas Cirebon-Semarang (Cisem). Pasalnya, dengan potensi cadangan gas bumi melimpah, distribusi pipa gas seharusnya segera dirampungkan agar tersambung dari barat hingga timur Pulau Jawa.
”Pemerintah perlu memastikan infrastruktur pendukung (Cisem) optimal. Pemerintah juga mesti mempercepat pembangunan pipa-pipa gas baik di di dalam maupun luar Jawa. Sebab, gas ialah sumber energi yang dapat menunjang transisi energi di Indonesia (emisi gas bumi lebih rendah dari energi fosil lainnya),” kata Daymas.
Kemajuan pembangunan pipa transmisi gas bumi Cisem Tahap I hingga pertengahan Juli 2023 telah mencapai 96 persen.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji menyampaikan, kemajuan pembangunan pipa transmisi gas bumi Cisem Tahap I hingga pertengahan Juli 2023 telah mencapai 96 persen. Industri ditargetkan menerima gas melalui jalur tersebut pada Agustus 2023.
”Kita manfaatkan dulu untuk industri di Batang dan Kendal yang membutuhkannya. Sementara pasokan gas berasal dari Jambaran Tiung Biru dan lapangan gas yang dikelola Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), ” kata Tutuka melalui keterangan pers, Minggu (26/7/2023).
Setelah Cisem Tahap I sepenuhnya rampung dan beroperasi penuh, Cisem Tahap II, yakni ruas Batang-Kandang Haur Timur, direncanakan mulai dibangun pada 2024 dengan biaya sekitar RP 3,3 triliun. Saat ini pembiayaan tengah disiapkan untuk dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan kontrak tahun jamak 2024-2025. Proses lelang dimulai pada 2023.
Tutuka menambahkan, pasokan gas pada pipa Cisem bisa bertambah mengingat adanya cadangan migas besar di Wilayah Kerja (WK) Agung I dan II di utara Bali dan Lombok. ”Harapannya kalau sudah berkembang, 10 tahun lagi bisa menggunakan gas dari lapangan-lapangan tersebut,” lanjutnya.
Pasokan gas pipa Cisem telah dinanti oleh sejumlah kawasan industri. Di antaranya, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal dengan kebutuhan gas 39,4 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) hingga 2026 serta Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) fase I dengan proyeksi kebutuhan gas 25,83 MMSCFD hingga 2028.
Sebelumnya, Direktur Sales dan Operasi PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN Faris Aziz mengatakan, permintaan di KIT Batang Fase I, yang telah berproses menuju perjanjian jual beli gas (PJBG) ialah PT KCC Glass Indonesia dengan kebutuhan sekitar 8 billion British thermal unit per day (BBTUD) dan PT Rumah Keramik Indonesia sekitar 4 BBTUD.
”Gas untuk KIT Batang dapat meningkatkan market share PGN baik itu peningkatan volume dan omzet penjualan, serta jumlah pelanggan segmen komersial dan industri khususnya di area SOR 3 Jateng Jatim Bali Nusra,” kata Faris dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Di samping itu, gas untuk KIT Batang juga akan mengoptimalkan implementasi inisiatif marketing PGN 360 Integrated Solution yang merupakan layanan terintegrasi PGN. Itu meliputi pembangunan infrastruktur gas bumi, pemanfaatan gas bumi di berbagai sektor, hingga layanan engineering, operasi dan pemeliharaan.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Rofik Hananto, menuturkan, rampungnya pipa gas Cisem tahap I berarti akan ada peningkatan pemanfaatan gas bumi domestik. Dengan sumber yang melimpah di dalam negeri, gas bumi haruslah dimanfaatkan untuk kepentingan nasional dan rakyat.
Ia menambahkan, pipa itu harus betul-betul dimanfaatkan dengan jumlah volume penyaluran yang optimal. ”Mengenai harga gas, tarif (pengangkutan), hingga biaya niaga, perlu ada sinergi. Harus ada efisiensi baik dari sisi hulu maupun hilir. Semua harus mendapatkan manfaat,” kata Rofik.
Menurut Tutuka, dengan pembangunan yang bersumber dari APBN, harga jual gas kepada industri bisa lebih murah. Di sisi lain, pipa transmisi gas Cisem ke depan juga diharapkan dapat diakses masyarakat dengan harga terjangkau.
”Toll-fee (tarif pengangkutan)-nya bisa murah karena biaya APBN. Kalau gas murah, industri membeli gas dengan harga yang murah sehingga juga membantu menumbuhkan industri tersebut. Diharapkan juga nanti harga gas yang sampai ke masyarakat juga bisa lebih murah jika sudah ada infrastrukturnya,” ujarnya.
Menurut Rofik Hananto, pembangunan jaringan gas untuk rumah tangga harus terus dianggarkan, bahkan ditingkatkan. ”Oleh karena itu, pembangunan pipa gas Cisem harus diikuti dengan pembangunan jaringan gas di daerah-daerah yang dilewati pipa agar masyarakat ikut menikmati,” katanya.
Menurutnya, perlu ada komitmen lebih dari pemerintah. Apalagi, ada target 4 juta sambungan rumah jaringan gas pada 2020-2024.
Daymas berpendapat, jaringan gas perkotaan akan lebih mudah dibangun jika jalur pipa gas utama Cisem telah sepenuhnya rampung. Hal tersebut penting dalam peningkatan aksesibilitas bagi masyarakat.
Apabila dapat dikembangkan, hal itu juga dapat berkontribusi positif sebagai pengganti elpiji, yang pemenuhan kebutuhannya saat ini mayoritas dipenuhi melalui impor. ”Dengan harga yang lebih murah ketimbang elpiji nonsubsidi, masyarakat akan mendapatkan manfaat yang paling besar,” ucap Daymas.
Sejumlah upaya pembangunan infrastruktur gas bumi juga dimaksudkan untuk memacu pemanfaatan gas bagi domestik. Menurut data Kementerian ESDM, sejak 2017, volume gas bumi untuk ekspor terus berkurang, dari 2.736 BBTUD (2017) menjadi 1.759 BBTUD (2022). Namun, serapan domestik relatif stagnan, bahkan turun dari 3.880 BBTUD (2017) menjadi 3.686 BBTUD (2022). Pada 2023, serapan domestik ditargetkan naik menjadi 3.881 BBTUD.