Persoalan ketidakcocokan antara pasokan dan permintaan gas bumi untuk industri masih menjadi kendala. Infrastruktur pipanisasi gas bumi dinilai perlu dipacu agar pemanfaatan energi itu kian masif.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Adanya ketidakcocokan antara pasokan dan permintaan gas untuk industri menjadi problem yang belum terselesaikan. Terkait infrastruktur, pipanisasi gas perlu dipacu agar bisa menjangkau lebih banyak industri.
Praktisi energi gas industri Achmad Widjaja, di Jakarta, Rabu (21/6/2023), mengatakan, di sejumlah wilayah, termasuk Jawa Barat, sejumlah industri masih tertatih. Pasalnya, masih ada industri yang menerima gas bumi dengan harga fluktuatif dan tidak menikmati harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk tujuh bidang industri yang ditetapkan pemerintah.
Menurut dia, saat ini secara umum kondisi infrastruktur untuk logistik dan kelistrikan sudah baik, tetapi ketersediaan gas bagi industri masih jadi masalah. ”Tinggal bagaimana energi gas ini (perlu dipacu) untuk mendukung industri. Persoalannya bolak balik masalah infrastruktur, sedangkan industri diarahkan untuk wajib pakai gas (energi dengan emisi lebih rendah). Perlu ada kepastian,” kata Achmad.
Ia juga mencontohkan, terdapat permintaan dan kesediaan industri di Jawa Timur untuk menyerap gas. Namun, pelaku industri di sana membutuhkan kepastian harga dan pasokan. ”Mau menaikkan dari 6 dollar AS per MMBTU (juta metrik british thermal unit) hingga berapa pun, yang terpenting ketersediaannya dulu,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah menaikkan HGBT untuk tujuh industri yang tertuang dalam lampiran Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 91 Tahun 2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan HGBT di Bidang Industri yang ditetapkan 19 Mei 2023. Aturan itu mencabut Kepmen ESDM Nomor 134 Tahun 2021.
Salah satu penekanan pada ketentuan ini ialah pertimbangan ketersediaan pasokan gas bumi dan/atau kecukupan penerimaan bagian negara. Sebelumnya, dalam lampiran Kepmen ESDM No 134/2021, mayoritas industri pengguna dikenai harga 6 dollar AS per MMBTU. Dalam aturan baru, harga menjadi lebih tinggi meski ada pula yang tetap. Sebagian besar masih di bawah 7 dollar AS per MMBTU.
Mengenai kenaikan HGBT itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto menuturkan, harus ada perbaikan kelancaran pasokan gas di Jatim. Selama triwulan I-2023, mereka hanya mendapat alokasi 65 persen. Industri keramik di Jatim pun harus membayar 6,3-6,5 dollar AS per MMBTU.
”Kenaikan (HGBT) menjadi 6,32 dollar AS per MMBTU tentu akan semakin memberatkan dan memengaruhi daya saing jika masih dikenai pembatasan volume gas 65 persen. (Hal itu) akan mengakibatkan industri keramik harus membayar pada rentang 6,8-7 dollar AS per MMBTU,” ucap Edy, beberapa waktu lalu.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pekan lalu, mengatakan, saat ini kondisi sumur-sumur migas semakin tua (mature). Sejumlah masalah pun muncul terkait, antara lain, air, yang membuat biaya (cost) operasi meningkat.
”Otomatis, kami juga tak bisa memotong lebih banyak. Kasarannya, dari 6 dollar AS itu, 4 dollar AS nya untuk (industri) hulu. Namun, sekarang hulunya 5 dollar AS (sisanya ditanggung negara). Itu terjadi karena dengan berjalannya waktu, di lapangan (migas), cost-nya lebih tinggi,” ujar Tutuka.
Dengan kondisi tersebut, imbuh Tutuka, pihaknya menjadi sangat berhati-hati terkait penetapan HGBT. ”Bagaimana agar bagian penerimaan negara dikurangi (dan) tak mengurangi penerimaan KKKS (kontraktor kontrak kerja sama). Dengan demikian, harga (ditetapkan) masih paling minim dan bisa dijangkau,” lanjutnya.
Perlu prioritas
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berpendapat, harga gas untuk industri idealnya ditekan serendah mungkin. Untuk meningkatkan daya saing industri, harga gas seharusnya tidak dinaikkan atau setidaknya dipertahankan.
Namun, di sisi lain, ia juga melihat ada pertimbangan tertentu dari pemerintah hingga akhirnya menaikkan HGBT. Misalnya, terkait ketersediaan pasokan dari pemasok gas bumi.
Ia pun mendorong pemerintah mengambil jalan tengah. ”Misalnya, kebijakan harga gas hanya diperuntukkan untuk industri strategis yang benar-benar butuh pertolongan dan kinerjanya bagus. Menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengidentifikasi sektor industri mana saja yang membutuhkan harga gas kompetitif,” kata Yusuf.
Mengenai pengembangan infrastruktur, pemerintah saat ini tengah membangun proyek pipa transmisi gas bumi Cirebon-Semarang (Cisem) tahap I, yakni ruas Semarang-Batang. Menurut data Kementerian ESDM, per 25 Mei 2023, kemajuan proyek itu mencapai 91,35 persen. Sistem itu ditargetkan siap menerima gas pada Agustus 2023.
”Progres pembangunan pipa gas dari Semarang sampai ke lokasi ini (Batang) tinggal 1,8 km lagi. Masih ada dua titik yang belum tersambung karena harus dibor di bawah fondasi dan di bawah jalan. Itu akan selesai akhir bulan ini. Nanti yang akan pakai (gas) terlebih dahulu adalah PT Rumah Keramik Indonesia,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif melalui siaran pers, Rabu (7/6/2023).