Kewajiban memarkir devisa hasil ekspor di dalam negeri dibutuhkan untuk mengamankan cadangan devisa dan memperkuat nilai tukar rupiah. Namun, langkah itu perlu disertai insentif yang kuat agar tidak merugikan eksportir.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kapal kontainer meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, setelah melakukan bongkar muat peti kemas, Kamis (2/2/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban menempatkan devisa hasil ekspor sumber daya alam di sistem keuangan dalam negeri perlu diiringi pemberian insentif yang menarik dan jaminan yang kuat. Pemerintah akan menggodok skema insentif agar pelaku industri tidak terbebani dengan kewajiban memarkir hasil pendapatannya di Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA), skema insentif dan fasilitas bagi eksportir yang patuh menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri belum diatur secara detail.
Pasal 10 dalam PP tersebut hanya menyebut bahwa penghasilan dari penempatan devisa hasil ekspor di dalam negeri dapat diberikan fasilitas perpajakan sesuai ketentuan undang-undang perpajakan. Keuntungan lain yang didapat eksportir adalah ditetapkan sebagai ”eksportir bereputasi baik” sesuai ketentuan undang-undang perdagangan.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan, Minggu (16/7/2023), memaklumi ada banyak protes dari pelaku industri atas kewajiban penempatan DHE di sistem keuangan dalam negeri.
Akan tetapi, ia menegaskan, kebijakan itu mutlak dibutuhkan untuk memperkuat ketersediaan cadangan devisa di pasar keuangan dalam negeri, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan mengoptimalkan pembangunan ekonomi.
Pemerintah pun akan menggencarkan sosialisasi dengan para eksportir mengenai urgensi kebijakan tersebut, termasuk kompensasi yang akan diterima eksportir jika patuh menjalankannya. ”Kami akan menjelaskan bahwa kewajiban ini pastinya akan diimbangi dengan insentif yang sekarang sedang kami siapkan,” kata Ferry saat dihubungi.
Meski PP No 36/2023 belum memperjelas insentif yang dimaksud, Ferry mengatakan, ada beberapa skema yang sedang disiapkan pemerintah, seperti tarif pajak khusus terhadap DHE SDA yang ditempatkan pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan bank devisa.
”Ketentuan detail mengenai tarif pajak khusus itu nanti akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Intinya, imbal hasil yang didapat eksportir di dalam negeri akan bersaing dengan menempatkan dana di luar negeri,” katanya.
Kewajiban ini pastinya akan diimbangi dengan insentif yang sekarang sedang kami siapkan.
Terkait pemberian predikat eksportir bereputasi baik, sejauh ini masih mengacu pada aturan di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Eksportir dan Importir yang Bereputasi Baik.
Eksportir yang menjalani kewajiban akan diberikan kemudahan dalam perizinan berusaha tertentu. Misalnya, penerbitan izin berusaha di bidang ekspor dan impor yang otomatis disetujui. ”Tetapi, ada pula rencana insentif lain yang akan diatur untuk mereka yang ditetapkan sebagai eksportir bereputasi baik,” kata Ferry.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Petugas mendata uang yang masuk dan keluar di cash center Bank Mandiri di Plaza Mandiri, Jakarta, Selasa (7/3/2023). Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Februari 2023 mencapai 140,3 miliar dollar AS, lebih tinggi dari posisi Januari 2023 yang sebesar 139,4 miliar dollar AS.
Belum jelas
Peneliti Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kewajiban penempatan DHE di dalam negeri memang dibutuhkan untuk mengamankan cadangan devisa dan memperkuat nilai tukar rupiah. ”Ini juga bukan hal baru karena negara lain sudah menerapkan kewajiban yang sama, bahkan dengan aturan yang lebih berat,” kata Yusuf.
Namun, langkah itu tetap perlu diiringi dengan insentif dan jaminan yang kuat agar tidak merugikan eksportir dan mengganggu iklim berusaha. Insentif yang tertera di dalam PP No 36/2023 dinilai belum cukup jelas untuk ”menenangkan” pelaku industri.
Menurut Yusuf, setidaknya ada empat hal yang perlu dipastikan sebagai insentif bagi pelaku industri. Pertama, besaran suku bunga deposito valuta asing (valas) di instrumen Term Deposit Valas harus dijamin kompetitif dibandingkan besaran bunga deposito valas di negara lain agar eksportir berminat menyimpan DHE-nya di perbankan dalam negeri.
”Ini harus dipastikan benar-benar kompetitif dan menguntungkan karena kalau masih kalah dari negara lain, eksportir bisa saja memilih tetap menaruh DHE-nya di perbankan luar negeri, lalu membayar denda atau menanggung sanksi, selama itu bisa terkompensasi dengan menaruh devisa mereka di luar,” kata Yusuf.
Kedua, pemberian fasilitas pajak yang perlu diperluas dengan pemberian tarif yang disesuaikan dengan jumlah nominal DHE yang disetorkan atau lama tenor penyimpanan DHE bersangkutan di sistem keuangan dalam negeri. ”Semakin lama DHE disimpan di dalam negeri, atau semakin besar nilai DHE yang disimpan di dalam negeri, seharusnya tarif pajak semakin kecil,” katanya.
Selama ini, pemerintah sudah memberikan diskon pajak bagi eksportir SDA yang menaruh DHE-nya di dalam negeri, yaitu pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final untuk bunga deposito yang dananya bersumber dari DHE. Semakin lama DHE disimpan di dalam negeri, semakin kecil tarifnya, bahkan bisa bebas pajak jika disimpan selama lebih dari 6 bulan.
Dua hal lain yang perlu dipastikan pemerintah adalah menjaga daya saing rupiah dan kedalaman pasar keuangan. ”Ini konteksnya jangka panjang. Kalau rupiah bergerak stabil, bahkan menguat, dan instrumen pasar keuangan di dalam negeri semakin bervariasi, tanpa diwajibkan pun, pengusaha otomatis mau menaruh DHE di dalam negeri,” katanya.