Industri Perikanan Keluhkan Kewajiban Parkir Devisa
Pelaku industri perikanan meminta pemerintah mengkaji ulang kewajiban penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam sebesar 30 persen. Hal itu dinilai akan menghambat pertumbuhan ekspor perikanan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri perikanan mengeluhkan kewajiban eksportir menempatkan devisa hasil ekspor sumber daya alam ke dalam sistem keuangan Indonesia. Kewajiban itu dinilai membebani permodalan pelaku usaha dan dapat berimbas menurunkan ekspor komoditas perikanan nasional.
Pemerintah mewajibkan eksportir yang memiliki devisa hasil ekspor sumber daya alam, yakni dengan nilai ekspor pada pemberitahuan pabean ekspor minimal 250.000 dollar AS atau ekuivalen, untuk memasukkan 30 persen di antaranya dalam sistem keuangan Indonesia. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
PP yang diteken Presiden Joko Widodo pada 12 Juli 2023 itu akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2023. Regulasi yang menggantikan PP No 1/2019 itu berlaku bagi devisa hasil ekspor sumber daya alam yang berasal dari hasil barang ekspor di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Ketua Umum Asosiasi Produsen, Pengolahan, dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo menilai pemerintah perlu memahami bahwa sektor perikanan berbeda dengan pertambangan. Eksportir perikanan memerlukan devisa hasil ekspor untuk membeli ikan dan bahan baku guna diolah dan diekspor kembali.
”Pola bisnis perikanan sangat berbeda dengan pertambangan meskipun sama-sama sumber daya alam. Kami mau menangkap ikan saja belum tentu ada karena tergantung cuaca dan musim. Budidaya perikanan juga bergantung penyakit. Industri perikanan risikonya besar,” ujar Budhi saat dihubungi, pekan lalu.
Kewajiban mengendapkan devisa hasil ekspor sebesar 30 persen menyebabkan modal yang tersisa hanya tinggal 70 persen. Modal pelaku industri perikanan tergerus sehingga pembelian bahan baku ikan akan menurun. Imbasnya, pemasaran hasil tangkapan nelayan berkurang dan ekspor perikanan akan turun. Devisa negara dari sektor perikanan ikut terlibas. ”Situasi ini berdampak sangat gawat bagi industri perikanan,” kata Budhi.
Budhi menambahkan, pelaku industri perikanan yang sudah merupiahkan hasil devisa diharapkan tidak dikenai retensi lagi. Penahanan devisa hanya akan menekan ekspor perikanan. Apabila pemerintah menghendaki devisa masuk ke dalam negeri, kewajiban memasukkan 30 persen devisa ekspor dapat diterapkan untuk devisa yang disimpan dalam bentuk dollar AS. ”Dana hasil devisa yang sudah dirupiahkan digunakan untuk keperluan bahan baku dan upah pekerja seharusnya tidak perlu lagi dikenai retensi,” katanya.
Hal senada dikemukakan Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Haris Muhtadi. Menurut dia, sekitar 85 persen produksi tambak udang nasional diperuntukkan bagi pasar ekspor. Devisa hasil ekspor yang wajib dimasukkan ke sistem keuangan sebanyak 30 persen dan mengendap selama 3 bulan menyebabkan industri pengolahan akan terbebani tambahan biaya modal hampir 2 kali lipat sehingga berisiko terhadap industri udang nasional.
Empat tahun terakhir, kompetisi pemasaran udang di pasar internasional semakin ketat sehingga margin keuntungan bisnis udang makin kecil. Beban tambahan modal usaha dinilai akan memberatkan pelaku industri pengolahan dan eksportir udang. Pihaknya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang pemberlakukan PP No 36/2023.
”Kami khawatir industri pengolahan akan mengurangi kapasitas produksinya. Ini tentu akan sangat berpengaruh pada penyerapan hasil panen udang dan penurunan harga jual udang” ujarnya, saat dihubungi, akhir pekan lalu.
Haris menambahkan, beban tambahan biaya modal yang sulit ditanggung industri pengolahan dan penurunan serapan panen udang berpotensi berimbas pada pemutusan hubungan kerja di sektor hulu, seperti tambak, perbenihan dan pabrik pakan, serta sektor hilir, seperti industri pengolahan udang. Pemberlakuan PP No 36/2023 dinilai lebih tepat diterapkan pada industri ekstraksi yang memiliki margin keuntungan lebih besar.
Direktur Pemasaran Kementerian Kelautan dan Perikanan, Erwin Dwiyana, mengakui, keberatan muncul dari asosiasi atau eksportir industri perikanan sewaktu sosialisasi rancangan PP No 36/2023. Dalam rapat sosialisasi tanggal 27 Februari 2023, pelaku industri perikanan telah mengusulkan agar retensi 30 persen dari dana pemberitahuan pabean ekspor (PPE) dapat ditunda. Namun, pengaturan PP sudah diputuskan di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Erwin mengemukakan, kewajiban eksportir dengan nilai ekspor pada pemberitahuan pabean ekspor minimal 250.000 dollar AS atau ekuivalennya untuk memasukkan DHE SDA paling sedikit 30 persen atau sekitar Rp 3,7 miliar tersebut menunjukkan bahwa aturan terkait dengan perusahaan/eksportir besar.
PP No 36/2023 dilatarbelakangi terus menurunnya posisi cadangan devisa Indonesia meskipun kinerja ekspor dan perdagangan Indonesia tumbuh baik.
PP No 36/2023 dilatarbelakangi oleh terus menurunnya posisi cadangan devisa Indonesia meskipun kinerja ekspor dan perdagangan Indonesia tumbuh baik. Presiden telah memberikan arahan, dalam rapat terbatas, untuk mendorong penempatan penerimaan DHE di dalam negeri. Meski demikian, PP No 36/2023 akan memberikan insentif atas DHE SDA yang ditempatkan eksportir.
”PP tersebut juga memberikan peluang bagi eksportir untuk menggunakan dana SDE SDA yang ditempatkan pada rekening khusus untuk beberapa kepentingan ekportir dengan mekanisme tertentu yang akan diatur lebih lanjut,” ujar Erwin.