Danau Kaolin, dari Bekas Tambang ke Destinasi Wisata
Tidak sedikit aktivitas tambang berdampak pada kerusakan lingkungan. Walakin, jika dikelola dengan baik, kulong tambang bisa menjadi potensi pariwisata unik, seperti Danau Kaolin.
Tidak ada yang benar-benar baik ataupun buruk seutuhnya di dunia ini. Dari sesuatu yang buruk sekalipun, terdapat secercah kebaikan di baliknya, begitu pula sebaliknya. Kalimat itu telontar dari mulut Maryadi, Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Nibung Jaya Abadi, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepualauan Bangka Belitung, saat menceritakan kilas balik terciptanya Danau Kaolin.
Sembari menyisakan sedikit gemuruh, gumpalan awan mendung yang bergelayutan mulai meninggalkan kolong langit Desa Nibung. Syahdan, hamparan biru kubangan air berhias gundukan putih tampak jauh lebih biru ketimbang langit di siang itu. Orang-orang sekitar biasa menamai tempat itu Kulong Biru.
Istilah kulong atau kolong merujuk pada bekas galian tambang. Sementara itu, warna biru pada air di dalamnya tercipta oleh perpaduan antara mata air dan air hujan yang bercampur dengan kaolin di sekelilingnya. Adapun kaolin merupakan batuan putih yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah.
”Danau Kaolin ini tercipta dari ketidaksengajaan. Dulunya adalah bekas galian tambang timah yang kemudian ditinggalkan begitu saja. Lama-lama, air hujan dan mata air memenuhi bekas tambang itu,” kata Maryadi di loket pintu masuk Danau Kaolin, Minggu (9/7/2023).
Dari permukaan air, kedalaman kulong tersebut diperkirakan mencapai 14 meter. Lalu, jika dihitung dari permukaan tanah, dasar Danau Kaolin mencapai 24 meter. Luas danau itu kira-kira lebih dari dua kali ukuran lapangan sepak bola.
Seketika, ingatan Maryadi kembali pada masa-masa kecilnya yang kala itu banyak menemui proyek tambang timah. Kulong Biru menjadi salah satu tempat eksplorasi PT Koba Tin, yakni perusahaan timah berbentuk patungan antara PT Tambang Timah yang memiliki saham 25 persen dan Kajuara Mining Corporation, anak perusahaan Renison Gold Field Consolidated Ltd, perusahaan asal Australia.
PT Koba Tin mendapatkan izin eksplorasi atau pengeboran pada tahun 1971 dengan pekerjaan operasional yang dimulai pada tahun 1973 di Lubuk Besar. Berdasarkan perjanjian Kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia, PT Koba Tin menambang di area 61.855 hektar.
Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah sangat mendukung pengembangan pariwisata. Pemerintah beberapa kali mengadakan pelatihan tata kelola wisata setiap tahunnya dan mereka juga berinisiatif untuk membuat paket wisata. Tapi, itu saja belum cukup. Tempat wisata berbasis masyarakat membutuhkan investasi dalam pengelolaan agar lebih maju.
Terkait dengan aktivitas tambang PT Koba Tin, Kompas (6/9/1979) sempat memberitakan, hampir seluruh sumber air minum penduduk di Desa Nibung, Airbara, dan Perlang, Kecamatan Koba, terkontaminasi dan tak dapat diminum akibat pencemaran dari galian timah PT Koba Tin. Selain itu, pencemaran membuat para petani tidak lagi dapat menggunakan air sungai dan kolam untuk mencuci serta merendam lada (merica) yang merupakan mata pencarian terbesar penduduk di Pulau Bangka.
Berdasarkan data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Baturusa Cerucuk pada tahun 2018, sedikitnya terdapat 12.607 lubang tambang di Provinsi Kepulauan Babel pada 2018. Total luas lubang tambang tersebut 15.579 hektar.
Semenjak ditinggalkan oleh PT Koba Tin, Maryadi ingat betul, masyarakat setempat mulai dapat mengambil bijih timah di Kulong Biru pada tahun 1999. Menurut pria paruh baya itu, aktivitas tambang inkonvensional (TI) tersebut berlangsung hingga tahun 2010.
Mukti (27), warga Desa Nibung, menjadi salah satu yang menikmati hasil dari aktivitas TI. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, Mukti dapat meraup uang dengan jerih payahnya sendiri hingga Rp 2 juta dalam seminggu.
”Banyak yang tidak tahu kalau awalnya timah itu berwarna hitam. Hanya bermodal piring untuk mengoyak pasir yang mengandung timah, waktu kecil saya tahu rasanya pegang uang banyak. Rasanya jadi lebih suka cari uang daripada sekolah,” ucapnya.
Meski di satu sisi membantu perekonomian warga setempat, aktivitas TI yang tak pandang usia itu menjadi keprihatinan tersendiri. Mukti menceritakan, teman-teman sebayanya banyak yang putus sekolah lantaran lebih memilih untuk mengeruk pasir timah.
Namun, pada tahun 2010, aktivitas TI di Kulong Biru terhenti karena biaya operasional dirasa jauh lebih besar dari harga yang didapatkan. Selain itu, penertiban oleh aparat turut membuat warga tidak lagi menambang.
”Barulah pada tahun 2015 Karang Taruna dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nibung mulai merintis pengelolaan wisata Danau Kaolin. Pada tahun 2016, lahan itu menjadi milik desa sebagai tempat wisata hingga sekarang sudah dikelola oleh BUMDes. Sejak 2019, harga tiket masuk ditetapkan sebesar Rp 2.000 sebagai biaya retribusi yang nantinya masuk ke kas desa,” kata Maryadi.
Sejak dijadikan sebagai destinasi wisata, tercatat sudah lebih dari puluhan ribu orang menyambangi obyek wisata seluas kira-kira 8 hektar itu, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Sebelum pandemi Covid-19 melanda, jumlah wisatawan pada hari biasa bisa mencapai 700-an sehingga dalam setahun pendapatan kas desa mencapai lebih dari Rp 200 juta.
Baca juga: Danau Kaolin, Pesona Bekas Tambang di Bangka Tengah
Potensi pariwisata
Selain memberikan dampak ekonomi, kehadiran Danau Kaolin turut mengharumkan Desa Nibung. Pada tahun 2019, Danau Kaolin bertengger di peringkat ketiga dalam nominasi Anugerah Pesona Indonesia (API) kategori destinasi wisata unik.
Menurut Maryadi, potensi pariwisata Danau Kaolin belum sepenuhnya dimanfaatkan. Kehadiran Danau Kaolin ternyata turut mendorong berbagai obyek wisaya di sekitarnya menjamur, seperti pantai dan bukit.
”Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah sangat mendukung pengembangan pariwisata. Pemerintah beberapa kali mengadakan pelatihan tata kelola wisata setiap tahunnya dan mereka juga berinisiatif untuk membuat paket wisata. Tapi, itu saja belum cukup. Tempat wisata berbasis masyarakat membutuhkan investasi dalam pengelolaan agar lebih maju,” ujar Maryadi.
Beberapa potensi yang masih bisa dikembangkan untuk mendorong pariwisata setempat, antara lain wahana air, tempat penginapan, serta camping ground. Hal ini, lanjut Maryadi, tentu membutuhkan biaya yang besar. Oleh sebab itu, pihaknya membuka diri terhadap investasi, khususnya terkait dengan pengelolaan Danau Kaolin.
Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Suganda Pandapotan Pasaribu, dalam kunjungannya ke Danau Kaolin, mengatakan, wisata Danau Kaolin perlu dipromosikan lebih luas. Harapannya, promosi akan mengundang semakin banyak wisatawan datang ke sana.
”Semakin banyak yang datang ke sini bisa mendongkrak perekonomian. Selain itu, Danau Kaolin ini perlu ditata lebih baik lagi, mungkin bisa pemerintah provinsi dan kabupaten berkolaborasi memikirkan hal ini, dengan melakukan studi kelayakan juga, agar wisatawan yang berkunjung juga terjaga keamanannya,” kata Suganda dalam keterangan resminya (20/4/2023).
Danau Kaolin merupakan salah satu potret kecil dari puluhan ribu kolong tambang di Indonesia yang berhasil disulap menjadi destinasi wisata. Di sisi lain, kolong tambang juga menjadi sorotan sejumlah kalangan lantaran dinilai membahayakan dan berdampak buruk terhadap lingkungan.
Tak jarang jika beberapa kali dijumpai sejumlah kasus korban tewas di lubang galian tambang. Beberapa penelitian juga menunjukkan, air di kolong tambang mengandung logam berat, seperti mangan, besi, merkuri, kromium, kobalt, seng, arsenik, selenium, kadmium, barium, timbal, dan talium yang mengancam kesehatan.
Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Regulasi tersebut mengamanatkan, kolong tambang wajib direklamasi.
Kini, keberadaan Danau Kaolin memberikan secercah harapan bagi masyarakat sekitar akan bangkitnya perekonomian daerah. Di sisi lain, hal ini mendorong pemerintah daerah tidak lagi sepenuhnya menggantungkan pendapatan daerah pada aktivitas tambang yang bersifat ekstraktif, tetapi mulai beralih ke sektor lain, seperti pariwisata berbasis pemberdayaan masyarakat.
Baca juga: Meraih Mimpi ”Hijau-Biru” Bangka Belitung