Kita sebaiknya tak lupa bahwa narasi yang menguat tiap beban subsidi BBM meninggi atau menjelang kenaikan harga BBM adalah soal ketidaktepatsasaran subsidi. Revisi Perpres Nomor 191/2014 dianggap mendesak.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Melesetnya realisasi dengan asumsi harga minyak mentah dalam APBN 2022 memaksa pemerintah merogoh kocek lebih dalam untuk pembiayaan energi. Pada tahun ini, setidaknya hingga semester I, situasinya terbalik. Harga asumsi justru lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi.
Pada triwulan I-2022, di tengah tren peningkatan harga-harga komoditas seiring pulihnya pandemi Covid-19, konflik bersenjata Rusia-Ukraina meletus. Harga energi, termasuk minyak mentah, pun kian bergejolak.
Pada kurun Maret-Juli 2022, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), selalu di atas 100 dollar AS per barel. Puncaknya terjadi pada Juni 2022, yakni 117,62 dollar AS per barel. Bandingkan dengan asumsi ICP pada APBN 2022 yang hanya 63 dollar AS per barel. Di tengah harga minyak mentah yang membumbung tinggi kala itu, pemerintah coba menahan harga jual eceran solar (disubsidi) dan pertalite (dikompensasi) demi menjaga daya beli masyarakat.
Pada 26 Agustus 2022, dengan kurs Rp 14.700 per dollar AS, Kementerian Keuangan mencatat, harga jual solar Rp 5.150 per liter atau hanya 37 persen dari harga keekonomian. Sementara harga pertalite Rp 7.650 per liter atau 53 persen dari harga keekonomian. Artinya, selisihnya ditanggung kas negara.
Akan tetapi, oleh karena keterbatasan anggaran serta kenaikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM), pemerintah akhirnya menaikkan harga kedua jenis BBM itu pada 3 September 2022. Harga pertalite dinaikkan menjadi Rp 10.000 per liter, sementara harga solar jadi Rp 6.800 per liter.
Setelah itu, di tengah harga dan situasi yang belum pasti, pemerintah dan DPR RI menyepakati asumsi ICP dalam APBN 2023 sebesar 90 dollar AS per barel. Namun, harga ICP justru cenderung turun. Pada April 2023, misalnya, ICP tercatat 79,12 dollar AS per barel, lalu turun menjadi 70,12 dollar AS per barel pada Mei 2023 dan 69,36 dollar AS per barel pada Juni 2023. Harga ICP pada Juni 2023 tercatat sebagai yang terendah sejak Mei 2021 (65,49 dollar AS per barel).
Di tingkat global, harga minyak mentah masih dinamis, tapi bergerak pada level yang lebih rendah dibandingkan tahun lalu atau awal 2023. Menurut data Trading Economics, pergerakan harga minyak mentah jenis Brent sejak Mei 2023 hingga 7 Juli 2023 berkisar 71-78 dollar AS per barel.
Kendati berada di level yang lebih rendah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, pekan lalu, mengisyaratkan bahwa pemerintah belum akan menurunkan harga BBM bersubsidi dalam waktu dekat. Selain kurs rupiah yang masih sekitar Rp 15.000 per dollar AS, sementara konflik Rusia-Ukraina belum jelas kapan mereda.
Di sisi lain, keputusan itu bisa jadi sebagai antisipasi jika harga energi kembali bergejolak. Jika memang ada kelebihan antara asumsi dan realisasi ICP APBN 2023, hal itu bisa jadi tabungan pemerintah jika sewaktu-waktu harus kembali menanggung tingginya beban subsidi BBM.
Sementara dari sisi penerimaan negara, realisasi ICP yang di bawah asumsi APBN 2023 juga bisa menjadi indikator nilai ekspor migas, termasuk minyak mentah, tak sebesar sebelumnya. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, nilai ekspor migas melonjak dari 8.251 juta dollar AS ( tahun 2020) menjadi 12.247 juta dollar AS (2021) dan 15.998 juta dollar AS (2022).
Kualitas subsidi
Namun demikian, kita sebaiknya tidak lupa bahwa narasi yang menguat tiap beban subsidi BBM sedang meninggi atau menjelang kenaikan harga BBM adalah ketidaktepatsasaran subsidi. BBM subsidi lebih banyak dinikmati warga mampu. Oleh karena itu, bentuk kesiapan seharusnya tak hanya soal pengelolaan anggaran, tetapi bagaimana membenahi kualitas penyaluran subsidi.
Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM belum juga jelas. Padahal, para pemangku sudah menanti regulasi yang bakal mengatur kriteria konsumen pertalite itu. Sebab, kendati sudah ada pendataan oleh Pertamina, saat ini, kalangan mana pun bisa membeli pertalite tanpa batas.
Perbaikan regulasi demi penyaluran BBM bersubsidi/kompensasi tepat sasaran seharusnya jadi prioritas. Bukankah tren penurunan harga minyak mentah bisa menjadi momentum tepat untuk melakukannya? Ataukah kita harus menunggu gejolak harga lagi hingga narasi subsidi salah sasaran kembali menggaung?
Sebagai komoditas yang diperdagangkan di tingkat global, naik-turunnya harga minyak mentah ialah hal lumrah dan pasti berulang. Asumsi dan prediksi harga yang meleset dari realisasi juga bukan hal baru. Namun, kesiapan menghadapi kemungkinan itulah yang diperlukan. Jangan sampai, kebijakan bersifat pereda sejenak, sedangkan permasalahan utama masih terabaikan.
Sayangnya, saat ini kita berhadapan dengan tahun politik menjelang Pemilu 2024. Masa di mana segala hal berkait kebijakan subsidi kerap dianggap sensitif. Padahal, sejatinya tujuan pembenahan itu sederhana: membuat apa yang selama ini salah sasaran menjadi tepat sasaran.