Mengejar Hibah dari Komitmen JETP
Indonesia membutuhkan porsi hibah yang lebih besar untuk mendanai proyek transisi energi guna mengejar sederet target. Sebab, jika dengan skema pendanaan biasa, RI dinilai justru bakal ketambahan beban utang.
Tak hanya soal mementaskan Indonesia di panggung dunia, Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, November 2022, menyisakan ”oleh-oleh” berupa komitmen pendanaan internasional guna mendukung transisi energi. Namun, Indonesia membutuhkan dana yang amat besar untuk membiayai transisi itu, sementara porsi hibah masih belum pasti.
Komitmen pendanaan yang disepakati itu salah satunya adalah Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) senilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun. Kesepakatan dan pernyataan bersama itu melibatkan Indonesia dan sejumlah negara maju.
Dari total komitmen tersebut, 10 miliar dollar AS di antaranya berasal dari dana publik atau anggaran negara-negara maju, meliputi Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Inggris, Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa, yang tergabung dalam International Partners Group (IPG). Pendanaan bisa berupa hibah, pinjaman lunak, dan penjaminan (guarantee).
Baca juga: Program JETP Harus Bisa Cegah Pengangguran
Sementara 10 miliar dollar AS lainnya berasal dari pendanaan oleh bank-bank internasional yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Bentuknya berupa pinjaman komersial.
Spesialis Komunikasi Sekretariat JETP Adhityani Putri, dalam diskusi yang digelar Center of Economic and Law Studies (Celios) di Jakarta, Rabu (5/7/2023) menjelaskan, porsi hibah yang dibutuhkan Indonesia memang besar. Sebab, jika skema pendanaan biasa-biasa saja (business as usual), sejatinya Indonesia tak perlu ada JETP.
Menurut Dhitri, sapaan Adhityani, sedikitnya ada tiga kebutuhan yang hanya bisa dipenuhi dengan hibah. Ketiganya adalah technical assistant (bantuan teknis), pengurangan risiko pada proyek-proyek yang belum pernah dilakukan di Indonesia, dan penerapan just (prinsip keadilan) dalam program JETP yang tak bisa ditalangi dana proyek.
Pada proyek pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, misalnya, sektor pekerja yang terkoneksi langsung dengan proyek bisa saja didanai dengan dana proyek. Namun, tidak dengan masyarakat rentan di sekitar lokasi, seperti pemilik warung hingga kos-kosan. Mereka pun perlu kompensasi.
Selain itu, bakal diperlukannya reskilling (persiapan menjalani peran baru) bagi mereka yang terdampak. ”Kita butuh porsi hibah yang lebih besar untuk kebutuhan-kebutuhan yang sangat krusial dan harus terpenuhi,” ujar Dhitri.
Sebelumnya, sempat mengemuka bahwa dari total komitmen JETP, porsi hibah hanya 160 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,4 triliun, ditambah bantuan teknis dengan nominal yang kurang lebih sama. Dhitri menegaskan belum ada angka pasti meskipun ia juga mengakui porsi hibah sementara ini masih kecil. ”Tidak ada angka-angka. Saat ini sedang dalam proses identifikasi, verifikasi, dan negosiasi. Tunggu sampai 16 Agustus 2023,” kata Dhitri.
Saat ini tengah disusun Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) atau panduan teknis, yang juga akan terkait proyek-proyek yang akan didanai dalam JETP. CIPP, yang akan diluncurkan ke publik pada 16 Agustus 2023, bersifat living document.
Adapun sejumlah target dalam JETP ialah memastikan puncak emisi sebesar 290 juta ton karbon dioksida pada 2030 atau lebih rendah dari business as usual yang 357 juta ton CO2. Lalu, 34 persen energi terbarukan dalam bauran ketenagalistrikan pada tahun 2030. Selain itu, penurunan emisi menuju emisi nol bersih (NZE) setelah 2030.
Upaya pemenuhan target itu ditempuh antara lain dengan pengakhiran dini operasi PLTU batubara dan membangun pembangkit energi terbarukan. Apabila saat ini masih dalam proses identifikasi proyek hingga memastikan prinsip keadilan diterapkan, dana JETP baru akan dimobilisasi pada tahun 2025, lewat berbagai jalur.
Sebesar mungkin
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menuturkan, porsi hibah yang mesti didapat Indonesia harus sebesar mungkin. Bahkan, idealnya lebih dari 40 persen. Itu sebagai bagian kewajiban negara maju kepada negara berkembang, sebagai bentuk tanggung jawab akan mitigasi risiko.
Menurut dia, hibah sebesar 160 juta dollar AS atau Rp 2,4 triliun (0,8 persen dari total komitmen 20 miliar dollar AS) merupakan jumlah yang sangat kecil. ”Kalau benar Rp 2,4 triliun, dana hibah akan habis hanya untuk rapat administrasi. Untuk berinvestasi (proyek) energi terbarukan pun tidak cukup,” ujar Bhima.
Bhima menambahkan, porsi hibah yang amat kecil akan mencederai komitmen negara-negara maju yang sejatinya memiliki tanggung jawab lebih sehingga harus memberi dukungan kepada negara-negara berkembang. Itu sejalan dengan narasi bahwa negara-negara maju jauh lebih dulu berkontribusi pada polusi udara global.
Baca juga: Kepastian Regulasi Penting bagi Implementasi JETP
Sementara di luar hibah, pihaknya tidak mendorong concessional loan, melainkan debt cancellation atau debt swap untuk iklim. Dengan demikian, utang-utang Indonesia dapat berkurang dan transisi energi dapat berjalan. Sebab, JETP seharusnya tidak menambah jumlah pinjaman baru.
”Setahun ini, pemerintah sudah menanggung Rp 440 triliun dan estimasi Rp 480 triliun tahun depan untuk beban bunga (interest payment) dari total utang pemerintah. Itu bunganya saja, belum pokok utangnya. Jadi, kami harapkan JETP mengurangi pokok utang tadi, dalam bentuk pertukaran dengan program,” katanya.
Pinjaman lunak pun, kata Bhima, bunganya harus di bawah bunga pinjaman proyek bilateral Indonesia dengan negara maju yang sudah berjalan selama ini. Nantinya, lantaran CIPP bersifat living document, ia menilai masih akan ada ruang bagi pemerintah untuk mempertahankan kepentingan nasional, termasuk dengan menekan sekecil mungkin bunga pinjaman.
Tidak memadai
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengemukakan, jika ingin sejalan dengan Persetujuan Paris (berupaya maksimal untuk mencegah suhu global tak bertambah 1,5 derajat celsius), akumulatif investasi yang dibutuhkan Indonesia mencapai 1,3 triliun dollar AS hingga 2050.
Sementara hingga 2030, dari kajian IESR, dibutuhkan sekitar 130 miliar dollar AS. Itu antara lain untuk pensiun dini PLTU serta membangun pembangkit-pembangkit energi terbarukan.
Bagaimanapun, dana hibah akan sangat dibutuhkan dalam mewujudkan hal tersebut. ”Kalau sekarang hibah hanya 160 juta dollar AS, sangat tak memadai. Menurut saya dana dari IPG, minimal 10-15 persennya dalam bentuk hibah untuk memenuhi kebutuhan proyek JETP,” kata Fabby.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, pada acara JETP Convening for Exchange and Learning, di Jakarta, Selasa (27/6/2023), mengatakan, pengakhiran dini operasi PLTU batubara menjadi proyek yang disiapkan dalam implementasi JETP.
Total kapasitas PLTU batubara yang disiapkan untuk dihentikan operasinya hingga 2030 adalah 4,8 gigawatt dengan potensi pengurangan emisi sebesar 36 juta metrik ton CO2. Peta jalan didesain di antaranya untuk penghentian operasi PLTU Pelabuhan Ratu di Sukabumi, Jawa Barat, dan PLTU Pacitan di Jawa Timur.