Jika Anda khawatir dengan perkembangan kecerdasan artifisial (AI) belakangan ini, barangkali kita teman satu gerbong. Saat mencoba sejumlah alat berbasis AI, ada perasaan yang segera muncul, yakni takjub sekaligus cemas!
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Saya mencoba beberapa alat berbasis teknologi kecerdasan artifisial untuk mengatasi salah tik atau typo, menggali tema atau isu, meringkas naskah, membikin transkripsi wawancara dan diskusi, membuat gambar ilustrasi tulisan, mempresentasikan berita dalam format video, bahkan membuat teka-teki silang. Ada perasaan yang berbaur segera: takjub sekaligus cemas!
Jika Anda khawatir dengan perkembangan teknologi kecerdasan artifisial (AI) belakangan ini, barangkali kita teman satu “gerbong”. Kekhawatiran itu terkait dampak yang bakal diciptakannya, terutama soal masa depan pekerjaan dan kemanusiaan kita. Bagaimana jika AI semakin cerdas, cepat, dan produktif melampaui manusia sebagai penciptanya? Apakah pekerjaan kita akan benar-benar diambil alih oleh AI? Akankah ia kelak mengakali dan menjajah kita?
Dengan segenap kemampuannya, AI juga bisa dengan mudah disimpangkan untuk memudahkan produksi konten hoaks atau menipu guna menggelembungkan pundi-pundi. Pada tahun politik, AI juga bisa jadi alat yang mumpuni untuk menyerang lawan politik dan meyakinkan publik dengan teks, foto, atau video yang seolah-olah benar.
Diskusi tentang bagaimana menyikapi perkembangan AI masih hangat di berbagai belahan dunia. Para penentu kebijakan tengah menggali pendapat dari para ahli, pengembang AI, serta publik untuk merumuskan aturan yang tepat: tidak membunuh inovasi sekaligus memastikan AI bermanfaat bagi umat manusia. Sementara investor dan perusahaan pengembang AI terus berlomba untuk memenangkan “pertempuran” yang makin sengit sejak kemunculan ChatGPT, bot percakapan (chatbot) yang dikembangkan oleh OpenAI, sebuah perusahaan rintisan.
OpenAI dengan ChatGPT amat fenomenal dengan capaian 100 juta pengguna, dua bulan sejak peluncurannya pada November 2022. Kehadirannya dianggap sebagai momen tak terduga di industri teknologi dalam beberapa dekade terakhir. Ada pula yang menyamakannya dengan kemunculan peramban web (web browser) pada awal tahun 1990-an. Sejak itu, demam AI menjangkiti penduduk dunia. Alat-alat (tools) berbasis AI pun berkembang biar bak jamur di musim hujan.
Mengesankan
Dengan gegap gempita itu, ChatGPT menjadi alat pertama yang saya coba. Sebelum versi gratisannya menjadi sibuk tiga bulan lalu, saya memulai percakapan dengan bot dengan mengajukan beberapa pertanyaan tentang apa itu AI, ChatGPT, dan dampak AI. Sekilas mencermati jawabannya, alat ini cukup mengesankan. Barangkali itu pula yang membuat banyak orang berbondong-bondong mencoba dan menggunakannya.
Beberapa bulan terakhir, beberapa fitur hasil pembaruannya berkembang cukup signifikan. Belakangan saya coba menggunakannya untuk mengatasi salah ejaan atau saltik (typo), menggali isu/tema, dan membuat ringkasan (excerpt) tulisan. Hasilnya secara umum cukup membantu dan memenuhi harapan. ChatGPT secara akurat memperbaiki ejaan, meringkas naskah menjadi lebih pendek dengan jumlah kata atau karakter sesuai permintaan, serta bisa dimanfaatkan untuk menggali tema, mencari referensi, dan menerjemahkan naskah berbahasa asing.
Akan tetapi, pengguna ChatGPT versi gratisan mesti bersabar karena proses “generating”-nya kadang terputus. Bot juga kadang tidak berfungsi saat lalu lintas sedang sibuk atau sedang banyak orang menggunakannya. Dengan keterbatasan itu, OpenAI menawarkan versi berbayar, yakni 20 dollar AS atau sekitar Rp 300.000 per bulan, dengan tawaran akses yang lebih lancar, respon yang lebih cepat, dan prioritas pembaruan fitur.
Saya juga mencoba Otter.ai untuk membuat transkripsi hasil wawancara dan diskusi, Midjourney untuk membuat gambar ilustrasi, D-ID untuk membuat presentasi video, serta ChatGPT untuk membuat teka-teki silang. Jika dibandingkan dengan perangkat lunak (software) dengan fungsi serupa, alat-alat berbasis AI itu menawarkan kemudahan, kecepatan, serta fitur dan tampilan ramah pengguna.
Selain beberapa kebutuhan itu, ada sederet pekerjaan sehari-hari kita yang kini sudah bisa dikerjakan oleh alat-alat berbasis AI yang lain. Seabrek aplikasi dan platform AI telah tersedia. Kini tinggal apakah kita akan menggunakannya atau tidak. Apakah tidak berbahaya? Seperti banyak sisi lain dalam hidup, selalu ada hitam dan putih, ada baik dan buruk. AI bisa menjadi alat untuk mewujudkan keduanya.
Tak seperti manusia, AI tidak memiliki daya kreatif untuk menemukan hal baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Lalu kita mesti bagaimana? Seperti kata Sam Altman, CEO OpenAI, saat berkunjung ke Jakarta, 14 Juni 2023 lalu, tentang hal apa yang sangat penting bagi umat manusia, tetapi belum bisa dilakukan AI, yakni kemampuan menghasilkan ide baru. Tak seperti manusia, AI tidak memiliki daya kreatif untuk menemukan hal baru yang belum pernah ada sebelumnya. Mendengar jawaban Altman itu, saya merasa tidak perlu cemas lagi.