Ekonomi Tumbuh di Bawah Potensi, Industrialisasi Dipetakan Ulang
Guna mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai potensi dan lebih solid, pemerintah akan mendesain ulang kebijakan industrialisasi yang dituangkan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Oleh
agnes theodora, ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski telah kembali menyandang status sebagai negara berpendapatan menengah atas, ekonomi Indonesia masih tumbuh di bawah potensi sebenarnya. Untuk mengejar pertumbuhan yang lebih berkualitas, desain industri yang selama ini sporadis dipetakan ulang dari hulu ke hilir. Bonus demografi pun diharapkan menjadi aset, alih-alih beban.
Dalam acara diskusi terbatas Kompas Collaboration Forum Afternoon Tea yang diselenggarakan Kompas di Jakarta, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, Indonesia telah terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap) selama 30 tahun terakhir, tepatnya sejak 1993.
Itu melampaui standar paling lama sebuah negara menyandang status berpendapatan menengah, yaitu 28 tahun. “Selama ini, pertumbuhan riil ekonomi kita berada di bawah potensi sesungguhnya, dan itu terutama disebabkan oleh gejala deindustrialisasi yang belakangan ini terjadi,” kata Suharso, Jumat (7/7/2023).
Dalam beberapa tahun terakhir, industri manufaktur memang selalu tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2022, misalnya, pertumbuhan sektor manufaktur adalah 4,89 persen, masih di bawah pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,31 persen.
Itu membuat kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 18,34 persen, jauh di bawah kontribusi ideal yaitu 28-30 persen terhadap PDB. “Kita butuh transformasi ekonomi, dan syarat mutlaknya adalah lompatan industrialisasi. Tanpa itu, akan susah untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi kita sesuai potensinya,” katanya.
Baru-baru ini, Indonesia kembali menyandang status sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country), setelah sebelumnya sempat terpeleset menjadi negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income country) akibat pandemi Covid-19.
Pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita Indonesia pada 2022 tercatat 4.580 dollar AS, membuat Indonesia kembali masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah atas yang PNB per kapita-nya adalah 4.466 dollar AS-13.845 dollar AS.
Namun, lepas dari capaian itu, Suharso menilai, posisi Indonesia masih sangat berisiko. Sebab, standar kesejahteraan terus bergerak. Apalagi, jika tidak ada terobosan untuk melakukan transformasi ekonomi dan meredefinisi kebijakan industrialisasi.
“Ada yang memperkirakan tahun depan standar PNB per kapita untuk negara menengah atas itu 5.050 dollar AS. Untuk bertahan, PNB kita harus di atas 5.000 dollar AS. Artinya, posisi kita masih sangat risky,” kata Suharso.
Keterlibatan swasta
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang sesuai potensi dan lebih solid, pemerintah akan mendesain ulang kebijakan industrialisasi, yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Rancangan undang-undang itu sedang disusun oleh Bappenas dan akan disahkan paling lambat Oktober ini.
Peta jalan industrialisasi selama 20 tahun ke depan akan difokuskan pada industri prioritas, yakni industri berbasis sumber daya alam (SDA), berteknologi menengah-tinggi, barang konsumsi berkelanjutan, serta industri yang berbasis inovasi dan riset. Industrialisasi juga akan dirancang berdasarkan tematik wilayah dengan pembentukan koridor-koridor ekonomi di tujuh kelompok wilayah Indonesia.
Suharso mengatakan, melalui peta jalan industrialisasi yang baru, pemerintah ingin mengerek kontribusi sektor manufaktur dari 18-19 persen menjadi 28-30 persen. Harapannya, pertumbuhan ekonomi pada 2025-2045 bisa mencapai 6-7 persen dan Indonesia naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi.
Meski demikian, pemerintah tidak bisa mengandalkan APBN semata karena ruang fiskal semakin terbatas. Oleh karena itu, keterlibatan sektor swasta sangat dibutuhkan untuk membangkitkan kembali industrialisasi.
“RPJPN ini bukan hanya dimiliki pemerintah. Dalam berbagai proyek besar, kami menawarkan pelibatan dari pihak swasta. Untuk industrialisasi ini kami membuka peluang di berbagai sektor manufaktur generasi kedua sampai keempat. Semoga dengan arah yang lebih fokus, kita bisa kembali ke industrialisasi yang sesungguhnya,” katanya.
Kebijakan sinergis
Dalam kesempatan yang sama, sejumlah pelaku usaha memberikan masukan ke pemerintah. CEO Citi Indonesia Batara Sianturi, misalnya, menekankan perlunya kebijakan yang lebih sinergis antara Kementerian Investasi, perwakilan RI di luar negeri, serta perusahaan global, untuk menarik lebih banyak investasi asing dan menggerakkan industri.
“Kalau kita menghitung proyeksi pertumbuhan ekonomi 6-7 persen sampai tahun 2045, tidak akan cukup jika kita hanya bergantung pada modal domestik. Kita butuh investasi asing, tetapi jangan lupa kalau kompetisi untuk menarik investasi asing saat ini juga semakin ketat,” katanya.
Investasi asing pun tidak bisa berdiri sendiri, tetapi rantai pasoknya harus dihubungkan dan melibatkan usaha mikro kecil menengah (UMKM) di dalam negeri. “Perlu ada kesinambungan dengan UMKM yang adalah tulang punggung ekonomi masyarakat,” ucap Batara.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menekankan pentingnya kebijakan energi yang terintegrasi dari hulu-hilir dalam RPJPN. Transisi energi dan hilirisasi juga perlu disesuaikan dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
"Di Asia, narasi target transisi energi tak harus sama di semua negara, tetapi disesuaikan dengan yang kita miliki. Misalnya, migas (minyak dan gas bumi), hilirisasinya ke petrochemical (petrokimia), karena hari ini impor (bahan baku petrokimia) kita masih besar sekali," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W Kamdani menuturkan, waktu yang tersisa menuju Indonesia Emas 2045 tidak lama lagi. Implementasi nyata dari rencana-rencana yang ada mesti bisa terwujud. Jika tidak, mimpi menjadikan Indonesia negara dengan perekonomian nomor empat terbesar di dunia bisa kandas.
Ia secara khusus menegaskan pentingnya industrialisasi yang diarahkan pada sektor-sektor padat karya demi menciptakan banyak lapangan kerja, ketimbang industri padat modal.
"Itulah sebabnya, kita perlu spesifik lagi, khususnya soal ketenagakerjaan. Melihat kondisi sekarang, saya mulai khawatir bonus demografi bisa menjadi liability (beban), bukan aset, karena penciptaan lapangan pekerjaan yang ada sekarang tidak cukup," kata Shinta.